Gagal SBMPTN, Jangan Galau, Berikut Solusi dari Praktisi

Konten Media Partner
9 Juli 2019 19:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi peserta mengikuti ujian SBMPTN Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi peserta mengikuti ujian SBMPTN Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
ADVERTISEMENT
TUGUMALANG-Pengumuman resmi Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) diumumkan oleh Kemenristekdikti, Selasa siang (9/7). Dari hasil rilis kemenristekdikti, ada 168.742 calon mahasiswa yang diterima.
ADVERTISEMENT
Jumlah mahasiswa yang diterima tersebut hanya 23,61 % dari seluruh pendaftar SBMPTN yakni 713.652 pendaftar. Lantas bagaimana dengan pendaftar yang belum diterima? Hal ini menjadi perhatian dari Dr. Muslihati, M.Pd.
Perempuan yang menjabat menjadi Ketua Jurusan Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang (UM) itu menjelaskan, jika orangtua siswa atau pendaftar harus legowo dengan hasil yang belum menyenangkan tersebut. Akan tetapi, orang tua bisa memberikan support kepada anak untuk terus berusaha masuk seleksi mandiri di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). "Galau wajar, tapi jangan putus asa. Kalau masih berminat masuk PTN masih ada jalur mandiri, asal motivasi dirinya dalam memilih jurusan atau peminatan lebih diperhatikan," ungkap Muslihati kepada Tugumalang.id.
Alternatif lainnya, kata Muslihati, masih bisa dilirik. Seperti orang tua dan anak dapat melihat beberapa kualitas perguruan tinggi swasta (PTS) yang bagus. Atau bahkan, mendiskusikan ulang dengan anak hal apakah yang perlu diperbaiki ketika memilih tidak melanjutkan ke PTN/PTS. Ia memberikan contoh aktivitas pendidikan kursus juga harus menjadi pertimbangan orangtua. Karena, lembaga tersebut dapat meningkatkan skill anak untuk menyambut masa depannya."Mungkin bisa dalam hal IT atau kursus bahasa Inggris. Kan juga penting untuk kedepannya," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Disisi lain, Dr. Sakban Rosidi, M.Si, Direktur Pascasarjana IKIP Budi Utomo Malang menanggapi fenomena tahunan ini. Ia menjelaskan jika selama ini terkesan ada persaingan antara negara dengan rakyatnya. Dalam konteks ini, PTN versus PTS. Sehingga, masyarakat seolah ketakutan jika tidak masuk PTN. Menurutnya, selama ini PTS justru mempunyai sikap yang tegas. Yakni berprinsip pada responshipness dan customers driven. "Jangan dibuat seolah PTS tidak berkualitas, jadi semua harus negaraisme. Padahal kami yang diswasta ini justru lebih patuh terhadap regulasi," ungkap Sakban.
Mengapa demikian? Sakban mengakui untuk melanjutkan eksistensi dan kualitas, PTS harus mengikuti semua regulasi dari pemerintah. Sehingga, PTS selalu memberikan inovasi untuk memperbaiki kualitasnya. Jika tidak demikian, PTS bisa dinonaktifkan oleh negara. "Berarti kami kan yang paling patuh, karena sewaktu-waktu kita bisa dinonaktifkan jika tidak sesuai standar dan inovatif," terang pria 56 tahun ini.
ADVERTISEMENT
Artinya, orangtua bisa mulai melek dalam hal tersebut. PTS selalu mengikuti apa keinginan masyarakat. Dari situlah, Sakban menerangkan jika orangtua tidak perlu terlalu risau jika anaknya tidak diterima di PTN. "Masih banyak PTS yang bisa melayani, berbahagialah karena mungkin bakat anak malah bisa diwadahi karena kita punya prinsip customer driven," katanya.
Selain itu, Sakban menyarankan orangtua bisa menghitung secara logis terhadap akreditasi jurusan dan pembiayaan. "Jika akreditasinya jurusan antara PTN dan PTS sama, tapi lebih murah di PTS, mengapa tidak memilih PTS saja," pungkas Sakban.
Reporter : Rino Hayyu Setyo
Editor : Irham Thoriq