Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Wiji Thukul: Perjalanan Hidup
21 Mei 2017 12:21 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Tutur Literatur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tubuhnya terlihat ceking, pakaiannya lusuh dan kusut seperti tak mengenal sabun dan setrika. Akan tetapi kata-katanya yang diracik lewat karya sastra mampu menggetarkan jiwa dan membuat pemerintahan saat itu dilanda ketakutan luar biasa. Widji Widodo, atau yang lebih dikenal dengan nama Widji Thukul kita kenali sebagai sastrawan sekaligus hak aktivis hak asasi manusia yang melawan dengan keras penindasan rezim Order Baru.
ADVERTISEMENT
Wiji Thukul, lahir di Kampung Sorogenen, Solo dalam lingkungan para tukang becak dan buruh. Seperti mayoritas para tetangganya, Ayah Thukul berprofesi sebagai penarik becak, dan ibunya terkadang menjajakan ayam bumbu. Lahir dan tumbuh dalam lingkungan kaum marjinal, menjadi salah satu inspirasi Tukul dalam berkarya. Ia merekam realitas sosial itu menggunakan caranya sendiri, kemudian menumpahkannya dalam bentuk puisi.
Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, Thukul sudah mulai menulis puisi dan ketika menginjak bangku SMP, ia mulai tertarik untuk menekuni dunia teater. Ia pun meneruskan sekolahnya ke Sekolah Menengah Karawitan jurusan tari, namun kemudian memutuskan untuk berhenti karena keluarganya dilanda kesulitan keuangan. Sebagai anak sulung dari 3 bersaudara, Thukul merasa memiliki tanggung jawab terhadap keluarga terutama kedua adiknya. Setelah berhenti sekolah ia berjualan koran dan menjadi buruh serabutan. Berhenti dari sekolah bukan berarti ia bergenti belajar. Pengetahuan terus masuk ke dalam otaknya melalui pengamatannya terhadap lingkungan sekitar dan kegemarannya membaca.
Melalui teman sekolahnya, ia kemudian bergabung dalam sebuah kelompok teater bernama Teater Jagalan Tengah (Jagat). Bersama rekan-rekannya di Teater Jagat itulah ia pernah keluar masuk kampung tak hanya wilayah Solo namun juga hingga ke Yogyakarta, Klaten dan Surabaya untuk mengamen puisi dengan iring-iringan musik seperti rebana, gong, suling, kentongan gitar dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1989, Thukul menikah Siti Dyah Surijah atau kita kenal dengan sebutan Thukul dan Sipon bertemu di Sanggar Teater Jagat, Solo tempat mereka sama-sama aktif berkegiatan seni, dan keduanya kerap tampil bersama dalam sebuah lakon teater. Melalui pernikahannya dengan Sipon, ia dikaruniai dua orang anak yaitu Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah. Thukul dan Sipon yang sama-sama berasal dari keluarga marjinal, tinggal di kampung Kalangan yang terkenal langganan banjir bila musim hujan tiba dan lingkungannya padat oleh rumah-rumah petak sempit yang berjejal sehingga terkesan kumuh.
Thukul bersama temannya Samsar Siahaan memutuskan untuk membentuk jaringan kerja seniman, bernama Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker). Saat itu, Jaker tak hanya beranggotakan empat seniman, akan tetapi terdapat pula empat nama anggota ingi Persatuan Rakyat Demokratik, yang kemudian berubah nama menjadi Partai Rakyat Demokratik. Sejak awal, Jaker sudah berkomitmen tak akan bergerak di bidang politik. Akan tetapi seiring makin bergejolaknya politik di Indonesia, akhirnya Thukul pun memilih bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik dan terlibat dalam politik praktis dan menyisakan rasa kecewa di benak rekan-rekannya.
ADVERTISEMENT
Berlanjut ke bagian 2: Wiji Thukul: Sastra Adalah Alat Perjuangan