Konten dari Pengguna

Pemisahan Korea: Korban Kekuatan Besar Dalam Persaingan Ideologi

Mir'atuzzaqiah
Saya merupakan mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Airlangga. Saya berpartisipasi dalam banyak perlombaan newscasting dan tertarik pada isu-isu sosial dan bersemangat untuk menulis tentangnya melalui artikel atau cerita.
6 Januari 2025 10:49 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mir'atuzzaqiah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Peta Korea Selatan dan Korea Utara (Sumber: istockphoto.com)
zoom-in-whitePerbesar
Peta Korea Selatan dan Korea Utara (Sumber: istockphoto.com)
ADVERTISEMENT
Sudah hampir 80 tahun Semenanjung Korea terbagi menjadi dua negara yang merdeka, yaitu Korea Utara dan Korea Selatan. Meskipun berasal dari satu bangsa yang sama, kedua negara tersebut memiliki ideologi dan sistem pemerintahan yang jauh berbeda. Korea Utara dikenal dengan ideologi komunis dan sistem pemerintahannya yang otoriter atau satu partai, sedangkan Korea Selatan berpegang pada ideologi kapitalis dengan sistem pemerintahan presidensiil atau multipartai. Tentu saja kedua ideologi ini merupakan salah satu faktor utama terjadinya pemisahan bahkan perang saudara di antara keduanya. Akan tetapi, perpecahan dua negara ini terkait sangat erat dengan pengaruh dua negara adidaya yang saat itu bersaing dalam Perang Dingin, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Pemisahan Korea merupakan salah satu dampak langsung dari ajang persaingan ideologi antara dua kekuatan besar yang saat itu baru saja keluar sebagai pemenang perang. Lantas, sejauh manakah Amerika Serikat dan Uni Soviet bertanggung jawab dalam pemisahan Korea?
ADVERTISEMENT
Sebelum Perang Dunia II, Semenanjung Korea merupakan wilayah yang utuh dengan sistem pemerintahan dinasti yang telah berlangsung lebih dari sepuluh abad. Dinasti terakhir yang saat itu berkuasa merupakan Dinasti Joseon yang bertahan hingga tahun 1910 sebelum akhirnya Jepang menduduki Korea pada tahun yang sama. Berakhirnya kolonialisme Jepang pasca Perang Dunia II membuat Semenanjung Korea mengalami kekosongan kekuasaan atau yang disebut dengan vacuum of power. Sebagai negara yang saling bersaing, Uni Soviet dan Amerika Serikat saling berebut pengaruh di wilayah bekas jajahan Jepang. Tanpa sepengetahuan pihak Korea, kedua negara tersebut sepakat untuk membagi Semenanjung Korea menjadi dua wilayah untuk memukul mundur sisa-sisa tentara Jepang. Wilayah tersebut terpisah di garis lintang 38° utara atau yang dikenal sebagai 38th parallel.
Garis 38th parallel pada Perang Korea. (Sumber: gettyimages.com)
Pemisahan Korea yang awalnya disepakati untuk bersifat sementara ini justru membuat masyarakat di kedua wilayah makin terikat dengan paham mereka masing-masing. Intervensi Amerika Serikat dan Uni Soviet juga menghambat kedua pihak untuk mewujudkan reunifikasi. Akhirnya, kedua pihak mendirikan pemerintahan baru pada tahun 1948. Amerika Serikat mendirikan Republik Korea di wilayah selatan dan menunjuk Syngman Rhee sebagai pemimpin. Sedangkan di wilayah utara, Uni Soviet menunjuk Kim Il Sung dan mendirikan Republik Demokrasi Rakyat Korea. Kim Il Sung dan Syngman Rhee sebenarnya memiliki niat untuk reunifikasi, namun dengan sistem pemerintahan yang dianut masing-masing pihak. Niat untuk reunifikasi yang dimiliki oleh kedua pemimpin ini terhalang oleh perbedaan ideologi yang semakin mengakar. Perselisihan dan ketegangan antar kedua negara pun juga semakin meningkat.
ADVERTISEMENT
Konflik ini mencapai puncaknya pada tahun 1950 dengan meletusnya Perang Korea. Peristiwa tersebut dimulai dengan invasi Korea Utara pada wilayah Korea Selatan dengan tujuan untuk mempersatukan kembali Korea di bawah komunisme. Perang Korea merupakan persaingan antara dua ideologi yang didukung oleh kekuatan besar di dunia. Uni Soviet dan Cina memberi bantuan berupa senjata perang dan pasukan militer kepada Korea Utara, sedangkan Amerika Serikat memberikan bantuan militer dan diplomatik kepada Korea Selatan. Keterlibatan dua negara adidaya tersebut tidak hanya memakan korban jiwa yang sangat besar, tetapi juga semakin memperlebar jarak antara Korea Utara dan Korea Selatan.
Perang Korea berlangsung selama tiga tahun dan berakhir pada tahun 1953 dengan perjanjian gencatan senjata. Perjanjian tersebut tidak mengakhiri perang secara resmi, tetapi memisahkan kedua negara dengan Zona Demiliterisasi Korea (DMZ). Oleh karena itu, kedua negara sampai saat ini masih dalam status perang tanpa adanya perjanjian damai secara resmi antara kedua belah pihak. Setelah perang, baik Korea Utara maupun Korea Selatan melanjutkan pembangunan nasional dengan pendekatan yang sangat berbeda. Dengan dukungan Amerika Serikat, Korea Selatan berhasil mengembangkan sektor industri ekonominya. Sementara itu, Korea Utara di bawah kepemimpinan Kim Il Sung cenderung menutup diri mereka dari hubungan luar sehingga menyebabkan kesulitan ekonomi dan krisis kemanusiaan.
Zona Demarkasi Militer (DMZ) yang memisahkan Korea Selatan dan Korea Utara. (Sumber: gettyimages.com)
Ketika melihat sejarah ini, jelas bahwa peran Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam pemisahan dan konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan sangat signifikan. Kedua negara adidaya tidak hanya berkontribusi terhadap pembagian wilayah, tetapi juga membentuk arah sejarah yang berbeda bagi kedua bangsa. Hingga saat ini, dampak dari perpecahan yang terjadi akibat persaingan ideologis ini masih terasa, usaha untuk reunifikasi pun tetap menjadi tantangan yang kompleks dan penuh ketegangan. Dalam konteks global, pemisahan Korea juga mencerminkan bagaimana persaingan antara kekuatan besar dapat berdampak pada negara-negara kecil dan mengubah takdir suatu bangsa selamanya.
ADVERTISEMENT
Menciptakan kondisi geopolitik yang harmonis secara global memang menjadi salah satu tantangan di antara negara-negara besar di dunia. Seringkali, kepentingan mereka tidak disertai dengan pertimbangan moral sehingga melanggar hak-hak negara kecil dan masyarakat di dalamnya. Ini merupakan tamparan bagi negara-negara besar untuk merenungkan kembali kebijakan luar negeri mereka dan mengedepankan solusi yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan dan kehormatan semua bangsa. Sejarah pada masa lalu menjadi pelajaran serta pengingat bahwa sejarah dapat berulang kembali. Ketika hal tersebut terjadi, diharapkan masyarakat dunia menanggapinya dengan lebih baik dan manusiawi agar tidak mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah lagi.