Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Nikah Muda, dari Stigma Negatif hingga Restu Orang Tua
29 Oktober 2020 14:24 WIB
Tulisan dari Daffa Uddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, tidak ada suatu pedoman khusus yang mendasari sebuah pernikahan bisa disebut dengan pernikahan muda atau bukan. Asal sudah memenuhi syarat minimum umur yang diatur oleh negara, yaitu 19 tahun untuk pria, 16 tahun untuk wanita, serta ada pasangan yang bersedia untuk dinikahi, maka sah-sah saja pernikahan itu dilangsungkan. Masalah mau menikah di umur berapa itu adalah pilihan pribadi. Namun, seiring berjalannya waktu, muncul sebuah istilah “pernikahan muda”.
ADVERTISEMENT
Menikah muda menjadi fenomena tersendiri di tengah masyarakat. Sebagian besar dari mereka masih melihatnya dengan pandangan negatif, mulai dari anggapan bahwa menikah muda dilakukan disebabkan karena “kecelakaan”, kesiapan mental membina rumah tangga kedua pasangan yang dinilai kurang, hingga rawan terjadinya masalah pada rumah tangga yang disebabkan umur yang masih muda. Anggapan-anggapan tersebut membuat menikah muda masih dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Tak jarang pasangan yang menikah muda dijadikan bahan gosip di tengah masyarakat. Walaupun begitu, tidak sedikit ditemukan pasangan yang memberanikan diri memutuskan menikah muda. Fakhri, adalah salah satu contohnya.
Fakhri, yang memiliki nama lengkap Fakhri Dzikri Ashidiqi, memutuskan untuk menikah pada usia 19 tahun, tepatnya pada bulan Januari, dua tahun lalu. Ketika ditanya tanggapan perihal stigma negatif menikah muda, dirinya menuturkan bahwa tolak ukur umur dalam pernikahan itu relatif. Baik muda ataupun tua, keduanya sama-sama melalui proses dan kesiapan. Justru bagi orang yang melakukannya itu adalah suatu hal yang hebat, karena menunjukkan sudah ada kedewasaan pikiran dalam memandang suatu keputusan serta kesiapan atas resiko yang membersamai.
ADVERTISEMENT
“Sebagaimana islam mengajarkan bahwa pernikahan adalah ibadah yang bertujuan sebagai solusi, bukan beban,” ujar Fakhri saat ditemui di kediamannya yang beralamat di Kasihan, Bantul (28/10).
Dirinya juga menjelaskan bahwa bagi sebagian orang yang memandang menikah muda dengan sebelah mata, itu adalah hasil dari pandangan atas fakta yang tidak mengenakkan soal pernikahan, seperti pertikaian, lepas tanggung jawab, bahkan hingga perceraian, sehingga mereka meragukan pasangan yang menikah muda. Kemudian, dalam menanggapi pandangan tersebut, Fakhri lebih memilih untuk memberikan pembuktian,
“Bagi saya cukup dengan membuktikan bahwa keputusan yang telah saya lalui ini bisa dipertanggungjawabkan dengan baik, karena kunci kepercayaan orang lain, berawal dari keberhasilan sendiri,” lanjutnya lagi.
Biasanya, umur 19 tahun adalah masa dimana seseorang lebih sering menghabiskan waktunya dengan bersenang-senang, mencoba hal-hal baru, entah itu positif maupun negatif. Karena umur tersebut adalah masa transisi dari remaja menuju dewasa, perasaan bebas dan merasa tidak mempunyai beban adalah hal yang wajar dialami seseorang. Namun, hal-hal tadi sudah bukan lagi prioritas Fakhri. Saat umurnya menginjak 19 tahun, ia lebih memilih untuk meninggalkan itu semua dan mengambil suatu keputusan yang mungkin akan membuat masa mudanya sebagai remaja menjadi agak berbeda jika dibandingkan dengan remaja lain, yaitu menikah.
ADVERTISEMENT
“Sebetulnya faktor utamanya adalah karena saya sudah mendapat daya dukung yang kuat saat itu, baik dari diri sendiri, pasangan, maupun keluarga,” ujarnya saat ditanya apa alasan utama dibalik keputusannya untuk menikah.
Hal tersebutlah yang membuat dirinya akhirnya yakin untuk meminang perempuan yang sekarang ini menjadi istrinya. Namun, bukan berarti jalan yang Fakhri tempuh ini mulus-mulus saja, ada rintangan yang dia hadapi terutama soal restu dari orangtua. Fakhri bercerita bahwa sebenarnya dia mengutarakan niat ingin menikah pertama kali kepada kedua orang tuanya adalah saat umurnya 18 tahun. Tentu saja sudah bisa ditebak bagaimana reaksi dan jawaban orang tuanya saat itu, menolak mentah-mentah. Reaksi yang wajar bagi orang tua dari seorang remaja yang baru saja lulus SMA, yang bahkan tidak pernah bercerita sama sekali soal wanita mana yang sedang pacari atau bahkan didekati, tiba-tiba kok menyampaikan keinginan untuk menikah. Jadi, maklum saja orang tuanya kaget dan menolaknya.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya dari orang tuanya saja, penolakan pun juga datang dari kakeknya,
“Bahkan bisa dibilang beliaulah yang paling tegas melarang dengan alasan pendidikan, beliau khawatir menikah akan mengganggu pendidikan saya,” jelasnya lebih lanjut.
Namun, Fakhri tidak membantah, juga tidak lantas kecewa lalu mengurungkan niatnya, yang dia lakukan adalah memperbanyak doa dan salat istikharah untuk meminta petunjuk.
“Pada masa-masa itu, yang membuat saya semakin yakin terhadap keputusan saya adalah mimpi yang isinya saya menjabat tangan ayah mertua saya, dan itu terjadi sampai tiga kali, mungkin itulah jawaban petunjuk dari doa saya,” pungkasnya.
Benar saja, tidak ada setahun berselang, pihak keluarga yang awalnya menolak keras akhirnya terlunakkan hatinya dan memberikan restu kepadanya untuk melangsungkan pernikahan.
ADVERTISEMENT
Selain soal restu, hal lain yang membuat Fakhri mengalami kebimbangan adalah perbedaan domisili antara dirinya dengan istrinya yang terpaut jarak 324 km. Pada saat itu istrinya tinggal di Surabaya dan menjalani studi disana, sedangkan dirinya di Yogyakarta. Masalah jarak tersebut berlangsung selama kurang lebih satu tahun, hingga ketika mendapat lampu hijau untuk menikah dari pihak keluarga, mereka memutuskan akan tinggal dan menetap di Yogyakarta, sehingga istrinya harus berpindah tempat tinggal dan tempat studi dari Surabaya ke Yogyakarta.
Saat melangsungkan pernikahan, Fakhri dan istrinya sama-sama sedang menjalani studi sebagai mahasiswa. Fakhri sendiri adalah mahasiwa di Universitas Gadjah Mada (UGM). Itu artinya dengan menikah, beban dan tanggung jawabnya bertambah. Selain harus belajar, dirinya juga harus berperan sebagai suami dan kepala rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut tentu menjadi tantangan sendiri bagi Fakhri, bagaimana dirinya menjalani dua peran dalam satu waktu. Saat ditanya apakah itu mengganggu pendidikannya, dirinya menjawab tidak,
“Saya sama istri malah bisa saling support, tidak cuma dalam pendidikan, bahkan dalam banyak hal.” lanjut Fakhri, yang sekarang sedang memasuki semester akhir.
Fakhri adalah salah satu contoh dari sekian banyak orang yang melangsungkan pernikahan di usia yang relatif muda, dan mampu membuktikkan, setidaknya sejauh ini, bahwa tidak semua pernikahan muda mempunyai latar belakang dan alasan yang negatif. Masih banyak orang yang menikah dengan tujuan yang baik, dibarengi dengan persiapan dan pertimbangan yang matang. Bukan menikah asal menikah saja.