Sekolah Olahraga: Menjaga Kobar Api Para Atlet Muda

3 Mei 2017 9:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Latihan atlet gulat SMA Ragunan. (Foto: Nur Syarifah/kumparan)
Between the devil and the deep sea.
Begitulah kurang lebih kegalauan anak-anak muda yang bercita-cita menjadi atlet profesional. Mereka berada dalam dilema.
ADVERTISEMENT
Jika fokus pada olahraga, sekolah akan terbengkalai. Jika fokus bersekolah, cita-cita menjadi atlet akan sulit tercapai. Umumnya, mereka akhirnya harus mengorbankan salah satunya.
Bagi mereka yang mencintai olahraga dan memiliki gairah untuk menjadi atlet, tak perlu berpikir lama untuk memutuskan menelantarkan sekolah demi mengikuti kejuaraan.
Namun bagaimana jika kemampuan olahraga mereka menurun di kemudian hari? Bagaimana jika mereka dtimpa kejadian pahit yang tak terduga, saat bakat mereka tak lagi dibutuhkan --katakanlah cedera yang membuat sang atlet tak lagi bisa meneruskan bakatnya.
Sekolah sudah dikorbankan, profesi atlet tak bisa diteruskan. Bak memakan buat simalakama.
Ini pula sebabnya banyak mantan atlet yang memiliki kehidupan memprihatinkan. Sebut saja Leni Haeni, mantan atlet dayung yang pernah menyumbangkan 3 medali emas dalam SEA Games 1997.
ADVERTISEMENT
Leni belakangan dikabarkan menjadi buruh cuci karena ia tak memiliki ijazah. Dahulu saat masih berprofesi sebagai atlet, ia mengorbankan pendidikan formalnya.
Nama atlet lain yang menjalani kehidupan kurang beruntung ialah petinju Ellyas Pical, pebulu tangkis Tati Sumirah, dan pesepak bola Anang Ma’ruf.
Ellyas Pical, petinju Indonesia pertama yang merebut gelar juara IBF kelas bantam junior di perhelatan internasional, kini menjadi satpam di sebuah kelab malam di Jakarta. Tragis, pada Juli 2005 ia ditangkap polisi karena melakukan transaksi narkoba.
Sementara Tati Sumirah sempat menjadi kasir apotek --hingga pebulu tangkis Rudy Hartono yang tak tega melihat Tati hidup serbakekurangan, meminta dia bekerja di perusahaannya.
Tak kalah sedih, Anang Ma’ruf --pemain bek kanan legendaris timnas sepak bola Indonesia-- kini menjadi tukang ojek untuk menghidupi keluarganya sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Maka demi melihat nasib nahas nama-nama di atas, tak sedikit atlet yang kemudian memilih untuk mengorbankan bakatnya ketimbang mempertaruhkan masa depan dan hari tuanya.
Hal tersebut, mau-tak mau, menjadi kerugian besar bagi negara.
Syabri atlet Gulat andalan SKO. (Foto: Dok. Syabri)
Pada titik ini, pemerintah menyadari dilema para atlet muda dan mendirikan Sekolah Khusus Olahraga di Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Kepala Sekolah SMP/SMA Khusus Olahraga Ragunan, Suharsono, bercerita kepada kumparan (kumparan.com), Selasa (25/4), tentang sekolah yang didirikan untuk siswa berprestasi di bidang olahraga itu.
“Sekolah khusus ini bertujuan untuk menjaga harapan para atlet muda. Mengantisipasi masa depan mereka saat prestasi turun,” kata Suharsono di Sekolah Olahraga Ragunan.
Mata pelajaran yang diberikan sama dengan sekolah lain, sesuai kurikulum yang berlaku saat ini. Hanya, bobot pelajaran dan waktu belajar dikurangi.
ADVERTISEMENT
“Durasi waktunya berbeda karena kekhususan sekolah ini. Bukan 45 menit (per mata pelajaran), tapi 30 menit,” kata Suharsono.
Siswa memulai kegiatan belajar mengajar pada 08.30 WIB dan selesai pukul 12.00 WIB.
Di luar jam belajar itu, siswa difokuskan untuk meningkatkan kemampuan olahraga mereka.
Meski waktu belajar sedikit, sekolah tetap menyediakan fasilitas lengkap sesuai standar kompetensi yang dibutuhkan pendidikan.
“Lengkap, ada lab (laboratorium) kimia, lab fisika, lab biologi, perpustakaan. Semua disediakan, termasuk konselingnya,” ujar Suharsono.
[Simak ]
Atlet Voli SKO Ragunan. (Foto: Nur Syarifah/kumparan)
Saking padatnya jadwal kompetisi, siswa sering kali meninggalkan sekolah.
“Bisa satu bulan penuh tidak pulang ke asrama,” kata Septi, Ibu Kepala Asrama Putri, saat di halaman asrama putri.
ADVERTISEMENT
Bahkan saat ada pemusatan latihan nasional (pelatnas) untuk persiapan kompetisi internasional, siswa bisa tidak datang di sekolah selama satu tahun, dan hanya hadir ke sekolah untuk mengikuti ulangan umum.
“Terkadang gurunya yang nyamperin ke lokasi pelatnas, tapi sekarang lebih sering online,” ujar Septi yang biasa dipanggil “bunda” oleh anak-anak asramanya.
Dengan kondisi seperti itu, tak heran jika siswa yang menghadiri kegiatan belajar di kelas hanya sedikit. Itu bukan masalah, sebab yang membuat siswa sekolah olahraga bertahan adalah prestasi olahraganya.
[Simak ]
Tim pertandingan gulat Junior Asean (Foto: Dok. Syabri)
Sekolah Olahraga memiliki sistem degradasi, dalam artian, jika prestasi olahraga seorang siswa turun, ia akan diganti oleh siswa lain yang prestasi olahraganya cemerlang namun belum bersekolah di sekolah khusus olahraga, atau siswa yang pernah mengikuti seleksi namun belum terpilih.
ADVERTISEMENT
Penyaringan siswa untuk masuk Sekolah Olahraga Ragunan tak dilakukan oleh pihak sekolah, namun melalui seleksi Kementerian Pemuda dan Olahraga atau Dinas Olahraha DKI Jakarta.
Baik via Kemenpora dan Dinas Olahraga DKI Jakarta, calon siswa akan melalui 4 tahap seleksi. Tahap pertama, seleksi administrasi meliputi berkas-berkas informasi pribadi, catatan pendidikan formal, dan bukti prestasi olahraga tingkat nasional dan internasional.
Tahap kedua, seleksi kesehatan dan psikologis, di dalamnya termasuk tes psikologi untuk mengetahui apakah calon siswa memiliki mental juara.
Tahap ketiga, tes fisik. Beratnya tes fisik tergantung dari cabang olahraga. Semakin berat cabang olahraganya, makin berat pula tes fisik yang diberikan.
Tahap keempat sekaligus terakhir adalah tes kemampuan olahraga di cabangnya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Setiap tahun, siswa yang diterima Sekolah Olahraga Ragunan adalah yang sesuai dengan kebutuhan tim. Misalnya, siswa yang lulus tahun ini adalah kiper tim sepak bola, maka yang akan diterima masuk sekolah itu juga kiper.
Atlet yang terpilih nantinya akan dibina oleh pelatih untuk meningkatkan kemampuan olahraganya, diitunjang oleh fasilitas-fasilitas olahraga berstandar Olimpiade.
Dengan sistem khusus dan toleransi yang diberikan sekolah olahraga ini, para atlet muda dapat dengan tenang mengembangkan bakatnya, dan berkonsentrasi mengharumkan nama bangsa di berbagai kejuaraan.
Syabri atlet Gulat andalan SKO (Foto: Dok. Syabri)