Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
Konten dari Pengguna
Memahami Kekerasan: Sebuah Pendekatan Normatif
31 Maret 2022 10:27 WIB
Tulisan dari Umar Mubdi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Serangan Rusia ke Ukraina yang berlangsung sejak akhir Februari lalu telah mengabikatkan korban jiwa sebanyak 726 jiwa dan arus pengungsi yang dahsyat sebanyak 3,1 juta orang (United Nations, 03/2022). Kondisi ini kian diperparah dengan intensifikasi keberadaan alutsista Rusia di Ukraina yang tak terbendung dan minimalnya intervensi yang dapat dilakukan untuk meredakan tensi di Ukraina.
ADVERTISEMENT
Kecaman terhadap serangan Rusia tersebut perlu digaungkan karena telah melibatkan kekerasan (violence) dalam semua bentuknya dan pada akhirnya dapat mengancam sustainibilitas kehidupan manusia. Dalam perspektif studi perdamaian dan konflik, kekerasan secara umum terbagi menjadi tiga bentuk (Galtung, 1969).
Pertama, kekerasan langsung (direct violence) berkaitan dengan tindakan yang dimaksudkan untuk mengancam atau menghilangkan nyawa manusia sekaligus menghilangkan kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Contohnya adalah pembunuhan, penyiksaan, atau teror. Serangan Rusia yang agresif dengan mengincar titik-titik vital di Ukraina, bukan hanya berdampak pada kondisi militer Ukraina tetapi juga pada keselamatan dan nyawa warga sipil. Akses warga sipil Ukraiana terhadap pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan pangan juga menjadi terhambat.
Kedua, kekerasan struktural (structural violence) merepresentasikan upaya sistematis untuk menghalang-langi kelompok tertentu untuk memperoleh hak-hak fundamental. Tarik-menarik faktor politik yang melintangi konflik Rusia-Ukraina juga menjadi sinyalemen bahwa kekerasan struktural termanifestasi.
ADVERTISEMENT
Ketiga, kekerasan kultural (cultural violence) merujuk kepada justifikasi kultural untuk melakukan kekerasan langsung atau struktural. Adanya narasi-narasi kesejarahan yang menyatakan bahwa Ukraina pada awalnya adalah subjek dari Rusia telah menjustifikasi serangan Rusia tersebut.
Kekerasan yang tengah berlangsung itu mau tak mau mendesak semua pihak untuk segera merespon. Sebab, kekerasan yang terjadi bukan lagi bersifat latent (terpendam) tetapi juga telah manifest (nyata). Bukan hanya kekerasan psikologis semata tetapi juga kekerasan fisik. Berbagai aktor terkait harus terus menyatakan komitmen bahwa kekerasan apapun bentuknya tidak dapat dibenarkan.
Salah satu yang terpenting adalah komitmen para middle level actor yakni akademisi, peneliti, pemerhati, dan aktivis. Sejumlah penyelesaian konflik internasional justru berhasil didudukkan pada meja perundingan karena inisiasi middle level actor yang bergrilya membuka kemungkinan (Katarzyna, 2022). Lebih jauh lagi, pergerakan middle level actor seringkali lebih fleksibel karena dapat menjangkau masyarakat secara langsung dan memiliki akses kepada pengambil keputusan dan kebijakan.
ADVERTISEMENT
Transformasi Konflik
Oleh sebab itu, untuk mengakhiri kekerasan dalam konflik Rusia-Ukraina, transformasi konflik (conflict transformation) adalah sebuah keharusan. Dalam beberapa literatur, transformasi konflik berkonotasi dengan rekonsiliasi (Lederach, 1995) yang mengandung pengertian pemulihan relasi ke dalam kondisi semula. Paling tidak ada tiga tahapan yang dapat ditempuh untuk mencapai transformasi konflik ini.
Pertama, memberikan respons terhadap situasi mendesak (immediate situation). Serangan bertubi-tubi Rusia adalah situasi genting yang perlu dihentikan. Pertanyaannya kemudian adalah apakah penghentian tersebut dilakukan dengan melakukan intervensi militer juga? Jika iya apakah kekerasan harus diakhiri dengan kekerasan dan adakah upaya lainnya?
Johansen (2007) telah lama menyatakan bahwa ketika kekerasan digunakan untuk menyelesaikan suatu konflik maka seringkali akan berkahir dengan kekerasan yang lebih besar dan tak bisa dikendalikan. Dalam kata lain, violent means result in violent ends. Apabila kekerasan digunakan akan sulit dilakukan pemulihan khususnya ketika alasan untuk melakukan kekerasan tersebut salah.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pemahaman tersebut, kekerasan yang dilakukan oleh Rusia bersifat meluas (wide-ranging) tanpa bisa membedakan peran pihak yang berkonflik. Akibatnya, warga sipil menjadi korban, pers internasional tewas ditembak, dan orang-orang yang tidak terkait langsung (indirect victim) harus menderita. Selain itu, konflik Rusia tersebut lebih bersifat personal dalam artian keputusan untuk melakukan kekerasan ada pada satu pihak tertentu. Sehingga, penggunaan kekerasan untuk menghentikan kekerasan bukanlah jalan terbaik karena mengandung risiko yang tak kecil.
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui gerakan tanpa kekerasan (non-violent movement) sebagaimana yang telah dilakukan pada aksi pro demokrasi di Polandia, kemerdekaan India, maupun konflik ras di Amerika Serikat. Meskipun memiliki karakteristik kekerasan yang berbeda, namun gerakan tanpa kekerasan pada konflik Rusia-Ukraina perlu didukung. Adanya kesamaan kepentingan warga negara dan aktor lainnya, partisipasi yang luas, tindakan resistensi melalui sanksi, boikot, protest oleh warga dunia merupakan elemen keberhasilan gerakan tanpa kekerasan. Pada titik tertentu, terbukanya ruang dialog akan membawa penghentian kekerasan dan memindahkan tensi kekerasan ke dalam forum perundingan.
ADVERTISEMENT
Kedua, memberikan respon terhadap situasi yang lebih luas untuk mewujudkan upaya damai. Pada fase ini, kekerasan langsung sudah tidak terjadi dan perjanjian damai telah disetujui. Yang harus dilakukan adalah penguatan komunikasi antar para pemangku kepentingan untuk mencapai rekonsiliasi. Rekonsiliasi memiliki dua makna. Masing-masing adalah reparasi bagi korban dan penegakan keadilan.
Ketiga, menjaga dan memelihara stabilitas untuk memulihkan kembali kondisi korban, layanan publik yang mendasar, dan pelaksanaan perjanjian damai. Dialog perlu terus dilakukan untuk memastikan bahwa kepentingan kedua pihak diakomodasi atau dikompromikan.
Implementasi tiga tahapan tersebut menjadi bagian krusial dari transformasi konflik. Hal itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan tetapi bukan berarti mustahil. Yang dibutuhkan adalah dukungan, komitmen, dan partisipasi semua warga dunia.
ADVERTISEMENT
Terakhir, sustainibilitas hidup bersama harus dijaga dengan meyakini bahwa tidak tempat untuk kekerasan. Bukan hanya dalam konteks Rusia-Ukraiana, tetapi juga kekerasan di timur-tengah, keselamatan warga Palestina dan sekitarnya, dan seluruh penjuru dunia.