Konten dari Pengguna

Asyiknya Menikmati Surabi Enhai di Bandung

Untsi Khairi
Journalist Student at Politeknik Negeri Jakarta
15 Juli 2021 18:27 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Untsi Khairi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi foto jalanan kota Bandung oleh pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi foto jalanan kota Bandung oleh pixabay.com
ADVERTISEMENT
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 ketika aku turun dari Vios hitam metaliknya. Setengah berlari aku menduluinya menuju salah satu café yang berada di Jalan Setiabudi, Bandung. Mataku menyusuri ruangan yang penuh dengan makhluk bumi, aku melihat ke sekeliling untuk mencari tempat duduk yang ku anggap nyaman.
ADVERTISEMENT
Surabi Enhai, tempat yang sangat terkenal di kalangan remaja Bandung, siapa yang tidak tahu Surabi Enhai, tempat ini sudah banyak menjadi saksi bisu kisah kasih antara sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta. Jadi tidak heran jika di setiap sudut ruang terdapat pasangan yang sedang bercengkrama sambil menikmati lezatnya Surabi Enhai.
Ruangan berukuran tak lebih dari enam kali lima meter tampak lebih ramai dari biasanya, barangkali karena sedang malam minggu dan waktu menjelang tengah malam membuat tempat ini ramai pengunjung. Alunan lagu-lagu lawas berbahasa Inggris membuat suasana tempat ini kian tentram.
Di sebuah meja berbentuk persegi panjang, aku menunggu pelayan datang untuk menawarkan pesanan, pelayan laki-laki menghampiri dan memberikan daftar menu kepadaku. Setelah mengucapkan terima kasih, pelayan itupun berlalu. Raihan yang sedari tadi sibuk merapihkan rambut di toilet akhirnya tiba. “kamu pesan apa?” tanyanya, “aku belum pesan apa-apa, aku masih menunggumu tau” jawabku sambil memandanginya. Ia tampak merogoh saku baju, mengambil handphone dan meletakkannya di meja. Di bawah tamaran lampu café, aroma parfumnya semakin tercium shaydu, rupanya ia tidak berubah, dia tetaplah seorang Raihan yang menggilai parfum bermerek. Harum, wangi yang sungguh khas itu membuatnya begitu membiusku.
ilustrasi surabi oleh pixabay
“mas” Raihan melambaikan tangan kepada seorang pelayan.
ADVERTISEMENT
“surabi durian satu dan surabi coklat keju satu ya” ucap Raihan.
“minumnya apa, a?”
“hm wedang jahe aja ya mas dua”
“baik a, ditunggu ya”.
“kamu kenapa tidak tanya aku dulu mau pesan minum apa?” tanyaku.
“loh kan aku sudah tahu minuman kesukaanmu, jadi buat apa aku tanya lagi” Raihan berusaha membela diri dihiasi dengan senyum manisnya.
Surabi Enhai Bandung pertama kali didirikan pada tahun 2009 oleh dua orang pengusaha yaitu Yasmar dan Andri. Dimulai dari keinginannya untuk membuat usaha dengan prospek yang menjanjikan, maka dipilihlah bisnis makanan. Mereka memilih surabi Bandung sebagai menu utama karena perkembangannya yang signifikan sebagai makanan ringan yang bisa disantap kapanpun, baik pagi, siang maupun malam hari dan disukai oleh kalangan tua dan muda.
ADVERTISEMENT
Nama Surabi Enhai tidaklah memiliki arti khusus, nama Enhai diambil dari NHI Bandung yang memang menjadi awal mula tempat berkembangnya surabi di tanag pasundan. Selain itu, nama Surabi Enhai dianggap tepat untuk mempermudah pengenalan surabi khas Sunda kepada khalayak luas. Seiring berjalannya waktu orang memiliki interpretaso sendiri atas nama Enhai yaitu “enak aduhai”.
Hening. Tidak ada yang memulai obrolan, sesaat kami pun terdiam, terdengar langkah kaki sang pelayan mengantarkan pesanan kami dan sayup-sayup lagu Beautiful in White-nya Westlife yang terdengar lewat pengeras suara di tempat ini menyempurnakan keheningan kami.
“Dimakan atuh! Nanti keburu dingin.” Ucapan Raihan mengagetkanku, membuat mataku berkedip begitu saja. Sontak aku mengarahkan satu suapan potongan surabi rasa coklat keju ke mulutku, aku menikmati manisnya coklat berkolaborasi dengan keju yang gurih. “hm enak sekali” ucapku kagum. Wedang jahe yang Raihan pesan pun sedikit melepaskan hawa dingin Bandung yang kurasakan.
ADVERTISEMENT
“Sudah puas?” tanyanya tak kumengerti.
“Apanya?” kukerutkan dahi sengaja kutunjukan ketidakmengertianku.
“Memandangiku, ya bukan lah, makan surabinya sudah puas?” jawabnya sambil tersenyum narsis.
Ku akui, malam ini Raihan tampak jauh lebih dewasa dari sebelumnya, setelah dua tahun tidak bertemu, ia terlihat lebih gemuk dan berisi, lebih tepatnya ia tampak lebih tampan. Dia terus membuatku malu, inilah yang tidak bisa disembunyikan, dia tetap pemilik ruang khusus yang ada di hatiku.
“Pulang yuk, sudah larut” ucapnya memecah kebisuan kami.
Tidak terasa dua jam berlalu, wedang jaheku masih lebih dari setengah, aku tidak selera untuk menghabiskannya, aku masih mau berlama-lama denga Raihan. Bagiku, Raihan dan Bandung bagaikan magnet yang terus-menerus menarikku, Bandung seperti kesenangan yang tak berpijar.
ADVERTISEMENT
“Terima kasih, ya”
“Terima kasih untuk apa, Rai?”
“Karena sudah menemaniku makan Surabi Enhai”
“Iya”
Setelah Raihan membayar billing pesananan, kami meninggalkan café, suara merdu Krispati dalam alunan “Mengenangmu” menjadi penutup kisah kami malam ini. Kebetulan, lantunan musik yang diputar seakan berharap ada malam-malam lain yang akan kami ukir menjadi kisah indah. Di luar, gerimis turun, langit Bandung semakin gelap, suasana semakin dingin, lampu pijar yang berada di sepanjang jalan kota Bandung menjadi saksi betapa bahagianya aku berada di kota Bandung, kota yang dicintai oleh semua umat manusia.
(Untsi Khairi, mahasiswi Jurnalistik, Politeknik Negeri Jakarta)