Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Madu Pahit, Melestarikan Hutan Pelawan Merawat Warisan Leluhur
27 Juni 2024 20:07 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Selama 16 tahun sudah sejak 2008, Muhammad Zaiwan tak henti-hentinya mengajak masyarakat Desa Namang, Kecamatan Namang, Kabupaten Bangka Tengah, dan sekitarnya untuk melestarikan Hutan Pelawan dari ancaman penambangan liar.
ADVERTISEMENT
Tak mudah memang, apalagi di tengah godaan harga timah yang tinggi membuat banyak orang lebih memilih membuka lahan di hutan untuk melakukan penambangan mineral berharga tersebut.
Di tahun 2008 itu, Zaiwan didapuk menjadi Kepala Desa Namang. Ia lantas melakukan terobosan membuat peraturan desa (Perdes) melindungi Hutan Pelawan yang memiliki luas sekitar 300-an hektare itu dari aktivitas penambangan yang dapat merusak alam.
Keputusan itu awalnya mendapatkan pro dan kontra. Apalagi hutan itu berstatus APL (Areal Penggunaan Lain) yang sifatnya boleh di jual, ditambang, dan tidak bersentuhan dengan hukum. Tapi kini justru dilindungi.
Ditambah lagi dengan kepercayaan masyarakat setempat, yaitu jika ada Pohon Pelawan maka tanah di bawahnya memiliki kandungan timah yang cukup banyak.
ADVERTISEMENT
"Ayo pak kita tambang, ini (timah) nilainya bisa mencapai miliaran rupiah," ucap Zaiwan menirukan ajakan sejumlah warga Desa Namang pada saat itu.
"Tapi dengan adanya Perdes tadi, saya dibilang stres, gila, bodoh, karena tidak mau dengan uang yang bisa didapat jika membuka tambang timah di area hutan itu," tambahnya.
Alasan Zaiwan sederhana, karena merasa sayang dengan hutan tersebut. Apalagi hutan itu menyimpan banyak kenangan masa kecilnya, ia dulu sering bermain dan menemani kakek serta orang tuanya 'ume' atau berladang di tempat itu.
Meski melarang penambangan di area hutan itu, Zaiwan tetap memikirkan cara agar bagaimana masyarakat Desa Namang bisa mendapatkan penghasilan dengan tidak merusak hutan dan alam.
Idenya, mengajak masyarakat memanfaatkan potensi yang ada dari Hutan Pelawan. Salah satunya, menjual madu pahit (madu Pelawan). Ya, madu pahit yang menurut Zaiwan berbeda dengan madu dari daerah lain di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Mencari madu di hutan sebenarnya merupakan kegiatan yang sudah turun-temurun banyak dilakukan oleh warga Desa Namang dan sekitarnya. Tapi perlahan mulai ditinggalkan karena mereka lebih memilih menambang timah.
Hanya saja permasalahan baru muncul, ide tersebut ternyata kurang diminati warga karena mereka pada saat itu masih kesulitan dalam hal pengemasan maupun pemasaran. Warga menganggap mencari dan menjual madu pahit lebih susah daripada timah.
"Dulu itu pengemasannya pakai botol bekas sirop. Jualnya juga masih susah, banyak yang belum tahu madu pahit. Bahkan ada yang bilang semanis madu, sepahit empedu. Tak ada madu pahit," sambung putra asli Desa Namang itu.
Tak jarang banyak warga mengeluh dan mencemooh upaya yang dilakukan Zaiwan. Tapi ia tetap dengan keyakinannya bahwa madu pahit Pelawan ini nantinya bisa diterima pasar.
ADVERTISEMENT
Zaiwan terus melakukan berbagai usaha agar apa yang dilakukannya itu bisa berkembang, ia juga meminta bantuan Pemerintah Daerah Bangka Tengah untuk mengenalkan mendorong penjualan madu pahit tersebut.
Sampai pada tahun 2012, Dinas Perdagangan dan Koperasi Bangka Tengah bersama Bank Sumsel Babel merangkul para pencari madu di Desa Namang menjadi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) binaan.
Dari sana, warga mendapatkan pendampingan mulai dari pengemasan, permodalan, hingga pemasaran yang lambat laun mengenalkan madu pahit Pelawan ke sejumlah daerah di luar Pulau Bangka.
Para pelaku UMKM di Desa Namang secara bertahap mulai sering dilibatkan untuk ikut berpartisipasi ke sejumlah pameran perdagangan nasional hingga semakin dikenal. Saat ini, setidaknya kini ada 4 jenis produk madu yang dihasilkan UMKM di Desa Namang.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan hal itu, penghasilan warga juga membaik. Warga yang tadinya mengandalkan tambang timah, bertahap ikut beralih mencari madu.
"Alhamdulilah ada dampaknya, yang sebelumnya mereka banding-bandingkan dengan timah kini beralih menjadi pencari madu," ujar Zaiwan.
Warga juga mulai sadar jika menambang timah di area sekitar 1 hektare dalam waktu 5 sampai 6 bulan itu sudah habis timahnya. Hanya meninggalkan warisan lubang bekas galian dan pasir ke anak cucu mendatang.
Sementara dengan mencari madu, itu bisa terus dimanfaatkan bertahun-tahun selama hutan tetap dijaga. Bahkan, kini mereka memperluas hutan yang dijaga dari aktivitas penambangan timah liar.
Pemda dan Bank Sumsel Babel juga rutin memberikan bantuan bibit tanaman berbunga untuk melestarikan hutan dan kawasan sekitar yang akan bermanfaat bagi pencari madu di Desa Namang ke depannya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, tidak hanya madu. Zaiwan juga mengajak warga desa memanfaatkan lahan untuk budidaya padi beras merah yang kini juga telah dipasarkan ke sejumlah daerah.
Jerih payah itu pun berbuah hasil, mayoritas warga kini kesehariannya memilih mengurus sawah dan mencari madu. Dari 880 Kepala Keluarga di Desa Namang, sekitar 260 di antaranya menekuni UMKM madu, dan 211 lainnya menanam padi beras merah.
Kegigihan tersebut akhirnya menghantarkan Muhammad Zaiwan mendapatkan sejumlah penghargaan di tingkat nasional. Seperti penghargaan Wana Lestari dari Menteri Kehutanan RI di tahun 2010 dan Parama Karya dari Menteri Tenaga Kerja RI di tahun 2017 karena dianggap mampu menciptakan lapangan kerja informal. (***)