Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.104.0
Konten dari Pengguna
Alergi Kritik: Mengubur Kreativitas, Menumbuhkan Perilaku Anti Perubahan
12 Mei 2025 12:37 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari MJ Trisna Adrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Kritik, dalam bentuknya yang konstruktif, seharusnya menjadi bagian penting dari dinamika sosial, organisasi, dan individu. Sayangnya, masih banyak orang yang menunjukkan “alergi” terhadap kritik. Reaksi seperti menolak, membela diri secara berlebihan, bahkan menyerang balik pemberi kritik, merupakan gejala umum dari sikap ini. Dalam jangka panjang, sikap semacam ini bisa membunuh potensi kreativitas dan menjauhkan masyarakat dari perubahan yang progresif.
ADVERTISEMENT
Menurut psikolog sosial Brené Brown, keberanian untuk rentan yang termasuk menerima kritik adalah salah satu syarat utama untuk tumbuh dan berkembang. Dalam bukunya "Daring Greatly", ia menyebut bahwa orang yang takut terhadap kritik cenderung membangun pertahanan yang justru menghalangi mereka dari pengalaman belajar yang bermakna. Sikap alergi kritik ini bukan hanya persoalan emosional, tetapi juga menjadi hambatan psikologis dalam pembentukan pribadi dan komunitas yang tangguh.
Dalam konteks organisasi, budaya kerja yang tidak menerima kritik biasanya dibarengi dengan pola kepemimpinan otoriter atau feodal. Pemimpin yang tidak bisa menerima masukan akan menciptakan lingkungan kerja yang pasif dan penuh kepura-puraan. Daniel Goleman, pakar kecerdasan emosional, menyatakan bahwa pemimpin yang tidak memiliki self-awareness dan empati akan cenderung menolak kritik karena menganggapnya sebagai ancaman terhadap otoritas mereka. Padahal, kritik adalah cermin yang bisa menunjukkan arah perbaikan.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya di level individu dan organisasi, alergi terhadap kritik juga bisa mengakar dalam sistem sosial yang lebih luas. Budaya hierarkis yang menempatkan senioritas atau kekuasaan sebagai hal mutlak sering kali mematikan ruang dialog. Dalam masyarakat seperti ini, kritik dianggap sebagai bentuk pembangkangan. Profesor komunikasi Stanley Deetz dari University of Colorado menegaskan bahwa masyarakat demokratis yang sehat ditandai oleh adanya ruang untuk diskusi terbuka dan kritik yang membangun.
Ketika kritik dimusuhi, kreativitas akan terpenjara. Individu akan takut mengemukakan ide karena takut disalahkan jika idenya dikritik atau tidak diterima. Kreativitas, seperti dikatakan oleh Sir Ken Robinson, memerlukan keberanian untuk salah. Jika kita menciptakan sistem yang menghukum kesalahan dan menolak kritik, maka kita membunuh proses inovatif itu sendiri bahkan sebelum dimulai.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, sikap alergi terhadap kritik membentuk perilaku anti-perubahan. Perubahan membutuhkan keberanian untuk meninjau ulang kebijakan, strategi, bahkan nilai-nilai lama yang tidak lagi relevan. Tanpa kritik, perubahan tidak memiliki titik tolak. Profesor John Kotter, pakar perubahan organisasi dari Harvard Business School, mengatakan bahwa resistensi terhadap perubahan biasanya bersumber dari ketidakmauan untuk mengakui bahwa ada yang perlu diperbaiki—dan itu dimulai dari ketidakmauan menerima kritik.
Fenomena ini juga tampak dalam dunia pendidikan. Sekolah yang tidak membuka ruang kritik dari siswa akan menghasilkan lulusan yang patuh tapi tidak kritis. Padahal, seperti yang diungkapkan oleh Paulo Freire, pendidik asal Brasil, pendidikan seharusnya membebaskan, bukan menindas. Kritik adalah bagian dari proses kesadaran kritis (conscientization) yang menjadikan siswa mampu memahami dan mengubah realitas sosialnya.
ADVERTISEMENT
Untuk membangun budaya yang sehat terhadap kritik, dibutuhkan kesadaran bersama bahwa kritik bukan ancaman, tetapi kebutuhan. Individu perlu belajar memilah kritik yang membangun dari yang merendahkan, serta mengembangkan mentalitas pembelajar. Di sisi lain, para pemimpin dan pembuat kebijakan juga harus membuka ruang aman untuk dialog dan evaluasi terbuka.
Budaya kritik yang sehat juga menuntut pemberi kritik untuk menyampaikannya secara etis, jelas, dan berbasis data. Kritik yang disampaikan dengan empati akan lebih mudah diterima dan berdampak positif. Seperti diungkapkan oleh Simon Sinek, pemimpin sejati adalah mereka yang menciptakan rasa aman, termasuk aman untuk gagal dan belajar dari kesalahan dan di sinilah peran kritik menjadi krusial.
Dengan menghilangkan alergi terhadap kritik, kita membuka jalan bagi kreativitas dan perubahan yang sejati. Kritik bukanlah akhir dari kehormatan atau kepercayaan diri, tapi permulaan dari sesuatu yang lebih baik. Jika ingin berkembang sebagai individu, organisasi, atau bangsa, maka kita harus belajar bukan hanya memberi kritik, tetapi juga menerima dan mengolahnya dengan bijaksana.
ADVERTISEMENT