Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Asa mandiri dari Danau Siais
19 Mei 2024 9:57 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari ali rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Obrolan siang hari sambil menikmati kuliner ikan aboro dari danau siais bersama Pak Lurah memantik spirit kemandirian pangan di tingkat pedesaan. Gaung desa mandiri pangan sebenarnya sangat bisa di implementasikan secara partisipatif dan sinergis dengan Bumdes atau koperasi warga sebagai operatornya. Wilayah sekitar danau siais sebagian besar ditanami sawit dan karet selain itu ada juga tanaman jengkol, duren dan pinang. Sebagai mata pencaharian utama petani bersumber dari sawit dan karet. Kehadiran PTPN III selaku BUMN Perkebunan memiliki peran strategis dalam meng-akselerasi peningkatan kesejahteraan warga desa sekitar perkebunan dan pabrik yang dimilikinya.
Proses bisnis yang terjadi saat ini dari penjualan karet maupun buah sawit dilakukan melalui tengkulak untuk dikirim ke pabrik pengolahan. Baik pabrik yang dimiliki BUMN maupun swasta. Terlihat Bumdes atau koperasi petani belum atau tidak memiliki andil untuk masuk dalam alur bisnis kedua komoditi tersebut. Saat ini dari komoditi sawit rata rata pendapatan menurut keterangan salah sorang petani sawit dapat digambarkan sebagai berikut. Dengan rata-rata produktivitas buah sawit sebesar 700 kg per hektar untuk setiap 2 minggu panen. Adapun harga saat ini buah utuh 1700 per kg sehingga petani mendapatkan pendatapan Rp 2,38 Juta per bulan. Hal yang sama untuk karet menurut salah seorang petani karet dengan rata-rata produktivitas getah 350 kg per hektar per bulan dan harga beli oleh tengkulak sebesar Rp 10.500o/ per kg. Sehingga potensi pendapatan petani sebesar Rp 3,7 Juta per bulan. Itupun kalo tidak hujan. Kalo hujan petani karet tidak bisa menyadap karena getah yang ditampung dalam wadah sadap akan rusak jika bercampur air hujan dan tidak laku dijual atau turun mutu.
ADVERTISEMENT
Diseminasi Teknologi Pascapanen
Masalah dan isu peningkatan nilai tambah dalam rantai produk sudah menjadi perbincangan yang sangat lama. Ragam teknologi yang dihasilkan kampus, BRIN dan lembaga litbang pertanian nyaris sudah seusia NKRI berdiri. Namun tetap saja petani mengeluh karena berbagai masalah yang dihadapi di lapangan. Sebut saja teknologi sadap getah karet mulai dari design pisau sadap, teknik sadap, design wadah penampung getah sampai teknologi pengolahan lainnya sudah banyak dihasilkan balai teknologi karet maupun lembaga lainnya. Tapi ternyata masih ada sebagain petani karet yang kesulitan terkait musim hujan getah tidak bisa disadap karena wadah penampung belum bisa melindungi dari air hujan. Sungguh ini masalah yang tragis. Karena getah karet merupakan sumber pendapatan utama petani karet. Bisa dibayangkan bagaimana biaya hidup, biaya sekolah, iuran BPJS, listrik dan kebutuhan lainnya tetap berjalan. Sementara pendapatan tidak ada karena terkendala musim hujan.
ADVERTISEMENT
Masalah penyebaran teknologi menjadi penyebab utama. Peran penyuluh pertanian, agilitas kepala desa dan perangkatnya dalam mencari solusi perlu difasilitasi dengan hadirnya sumber-sumber informasi teknologi tepat guna di tingkat dinas pertanian kabupaten/ kampus disetiap kabupaten/ provinsi. Urgensi kampus merdeka khsusnya bagi mahasiswa berlatar belakang pertanian/ teknologi pertanian perlu didorong untuk masuk dan tinggal di kawasan/ desa pertanian di seluruh NKRI. Harapannya dengan semangat idealisme yang masih membara bisa menemukenali dan membawa permasalahan dari level petani untuk dicarikan solusi di forum kampus. Dan tentunya teknologi atau informasi yang sudah dibahas, diriset dan di uji coba segera dibawa kembali ke desa untuk diaplikasikan. Jika ini terjadi maka akselerasi desa mandiri dan sejehtera akan segera bisa diwujudkan.
ADVERTISEMENT
Asa Pak Lurah Sangkunur
Ketika berbicara masalah minyak goreng tercetus ide bagaimana kalo di level desa dibuat pabrik mini minyak goreng. Tentu tidak perlu sampai sekualitas pabrik-pabrik besar milik para konglomerat. Cukup setara minyak curah yang penting bisa dan aman digunakan untuk kebutuhan rumah tangga petani. Kembali lagi masalah teknologi pasca panen. Gencarnya himbauan Presiden Jokowi untuk menggunakan minyak goreng merah sebenarnya pas sekali momentumnya dengan munculnya semangat membangun desa mandiri pangan.
Namun dalam realisasinya jangan sampai pabrik minyak goreng merah dimiliki lagi oleh para pengusaha besar. Peran BUMD dan BUMDES atau koperasi petani on farm bisa di sinergikan untuk membangun idealisme pabrik minyak goreng di kantung-kantung perkebunan sawit rakyat. Apalagi jika ada BUMN perkebunan diwilayh tersebut. Sudah saatnya BUMN Perkebunan menempatkan BUMDES dan BUMD masuk dalam skema kerjasama strategis untuk menumbuhkan budaya ESG (environment, sosial dan governance) dalam proses bisnisnya.
ADVERTISEMENT
Jika kondisi tersebut terjadi, yaitu sinergi BUMN Perkebunan, BUMD dan BUMDes/ koperasi petani dalam membangun pabrik minyak goreng merah maka tidak hanya ketahanan pangan akan terwujud tetapi peningkatan pendapatan petani sawit akan terwujud. Hal ini terjadi karena petani mendapatkan income lebih dari peningkatan nilai tambah produk sawit, yang sebelumnya hanya menjual buah sawit segar menjadi menjual minyak goreng merah.
Resi Gudang dan Sumber Dana
Jika saja CPO yang dihasilkan petani sawit masuk dalam skema resi gudang bappebti, ini akan menjadi terobosan dalam mendongkrak kesejahteraan para petani sawit. Terbayang jika skema ini bisa berjalan mulus maka akan hadir di setiap BUMDES tangki penyimpanan CPO yang masuk dalam skema resi gudang. Jika harga CPO turun maka petani masih bisa menyimpan CPO di gudang-gudang milik BUMDES/ koperasi. Dan melepaskan/ menjual CPO jika harga sudah bagus. Selain itu melalui skema resi gudang petani masih tetap bisa mendapatkan pembayaran 70% (cash) dari pengelola gudang yang telah bekerjasama dengan perbankan daerah (BPD).
ADVERTISEMENT
Untuk sumber pembiayaan membangun PKS (pabrik kelapa sawit mini) baik sampai membuat produk minyak goreng merah atapun pabrik CPO mini dan gudang berstandar resi gudang bisa menggunakan dana dari Dana sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Kalopun misalnya belum ada skema nya maka para petani sawit harus segera melakukan pembicaraan dan lobby terkait skema yang diperlukan untuk tujuan tersebut. Jangan sampai dana tersebut hanya digunakan oleh para pengusaha besar sementara petani/BUMDes/Koperasi petani sawit tidak memiliki akses menggunakan dana tersebut. Baik digunaan untuk replanting kebun sawit dan untuk kegiatan off farm seperti membangun pabrik mini CPO atau pabrik minyak goreng merah.
Dengan melihat gambaran besar tersebut rasanya tidak sulit untuk mewujudkan asa Pak Lurah Sangkunur Tapsel untuk mewujudkan pabrik mini kelapa sawit (CPO/ Minyak goreng merah) di tingkat desa. Sumber dananya ada baik dari BPDPKS, BPD Sumut/ Resi Gudang Bappebti. Ketersediaan teknologi semestinya tidak sulit baik produk dalam negeri maupun kalo perlu impor dulu jika di NKRI tidak ada, peluang pasar migor merah/ CPO jelas sangat besar apalagi sekarang CPO masuk dalam skema industri Bahan Bakar Nabati menjadi biosolar. Kelambagaan usahanya sudah ada bisa bumdes atau koperasi atau JVC antara BUMD dengan BUMDes dan PTPN. Tidak ada alasan gagasan Pak Lurah Sangkunur untuk tidak terwjud. Jika skema itu bisa terwujud di tingkat desa, ini akan menjadi efek domino untuk membangun pabrik pengolahan untuk komoditi yang lainnya di tingkat pedesaan. Pada akhirnya kemandirian pangan dan peningkatan kesejahteraan petani akan mudah untuk diwujudkan.
ADVERTISEMENT