Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Quo Vadis Badan Bank Tanah
3 Maret 2024 12:13 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari ali rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fungsi dan peran Badan Bank Tanah Indonesia (BBT) sesuai PP 64 tahun 2021 adalah dalam rangka meningkatkan utilisasi tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. BBT lahir sebagai land manager karena fungsi tersebut belum bisa diperankan oleh lembaga eksisting yang saat ini mengatur masalah tanah yaitu Kementiran ATR/ BPN yang peran utamanya sesuai UU adalah sebagai land regulator dan land administrator.
ADVERTISEMENT
Dalam PP tersebut BBT bertugas menyediakan tanah untuk kepentingan umum, social, pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan dan reforma agraria. Sehingga segala daya dan upaya yang dilakukannya memungkinkan pemerintah (pusat/daerah) akan sangat terbantu untuk melakukan proses Pembangunan terkait ketersediaan tanah untuk tujuan tersebut. Selain itu melalui BBT peran para spekulan tanah yang selalu membayangi keruwetan proses pembangunan akibat proses ganti rugi tanah bisa diminimalkan/ dihilangkan.
Sederet harapan dari lahirnya BBT tentunya tidak akan terwujud begitu saja. Penguatan peran dan fungsi badan baru tersebut masih perlu dilakukan dan disempurnakan. Adanya Perpres 113 tahun 2021 sudah memberikan beberapa rambu-rambu dan peluang agar BBT segera berperan nyata dalam mewujudkan visi dan misinya. Dalam tataran implementasi ada banyak model bisnis Bank Tanah di negara lain untuk dijadikan banchmark.
ADVERTISEMENT
Sebut saja program land consolidation di negara-negara Scandinavia yang berhasil meningkatkan utilisasi tanah untuk mewujudkan kemandiran dan kemajuan sektor pertanian dan pembangunan pedesaan. Termasuk juga di Belanda dan tetangga terdekat Malaysia melelaui FELDA (Federal Land Development Authority) berhasil membangun daerah pedesaan untuk menyediakan pemukiman layak dan pembangunan perkebunan sawit dan karet yang menjadi salah satu mesin pertumbuhan ekonomi di Malaysia.
Konflik Agraria di Indonesia
Konsorsium Pembaruan Agraria [KPA] menyebutkan sepajang tahun 2022 terdapat 207 konflik terkait permasalahan agraria. Sumber konflik berasal dari sektor perkebunan sebanyak 99 kasus, infrastruktur 32 kasus, properti 26 kasus, pertambangan 21 kasus, kehutanan 20 kasus, fasilitas militer 6 kasus, pertanian dan agribisnis 4 kasus dan pesisir/ pulau-pulau kecil 4 kasus. Dari sisi luas cakupan konflik pertanahan pada tahun 2022 yang tersebar di 33 provinsi mencapai 1,03 juta hektar yang berdampak kepada sekitar 346.000 keluarga.
ADVERTISEMENT
Adanya konflik yang berkepanjangan tersebut tentunya memerlukan peran nyata pemerintah dalam menyelesaikan akar dari permasalahan tersebut. Melalui skema-skema pembangunan berbasis tanah terlantar yang dilakukan negara lain, maka diharapkan BBT dapat memainkan peran tersebut untuk mewujudkan keadilan ekonomi bagi rakyat Indonesia. Optimalisasi penggunaan tanah dalam skema resolunsi konflik [win-win solution] pernah dilakukan Kementrian LHK yang melahirkan model Hutan Kemasyarakatan [HKm].
Lahan Pertanian Abadi
Adanya UU Nomor 41 tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) adalah untuk menjamin ketersediaan lahan produksi pangan nasional. Namun seperti dilansir banyak pejabat berwenang laju konversi lahan pertanian tetap tinggi. Terkait masalah tersebut ada 2 (dua) faktor utama penyebab tingginya konversi lahan yaitu terkait regulasi RTRW di setiap daerah yang belum konsisten dan kedua faktor kebutuhan finansial para petani/ pemilik lahan pertanian yang tetap menjual lahan tersebut manakala ada projek pembangunan di wiayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Karenanya diperlukan peran BBT untuk menjadi problem solver terkait masalah tersebut. Kedepan dimungkinkan ada skema-skema BBT berperan dalam membeli lahan pertanian untuk kemudian dalam jangka waktu tertentu bisa dijual kembali kepada petani/ penjual lahan. Sambil dalam perjalannya lahan tersebut tetap di kelola untuk tetap menghasilkan bahan pangan seperti biasanya. Sehingga melalui BBT produktivitas lahan dalam kawasan tersebut tetap terjaga dan petani masih memiliki peluang untuk kembali membeli lahan pertanian tersebut. Praktek seperti ini di bebrapa negara yang concern dalam mempertahankan lahan abadi pertanian sudah biasa dilakukan.
Disisi lain menyusutnya lahan produktif pertanian pangan tetap harus diimbangi dengan proses perluasan (ekstensifikasi ) lahan. Hadirnya PP 20 tahun 2021 tentang penertiban kawasan dan tanah terlantar yang berpotensi menimbulkan konflik agraria dapat dimanfaatkan oleh BBT dalam menyediakan tanah untuk perluasan kawasan pertanian pangan. Model ini pernah dilakukan oleh FELDA sejak tahun 1956 dan berhasil. Selain menghasilkan produk pangan (sawit) juga menjadi program reforma agraria karena petani (pengolah lahan) medapatkan tanah garapan, disediakan rumah (settlement) dan tentunya lapangan pekerjaan yang layak.
ADVERTISEMENT
Impor pangan dan Kedaulatan Pangan
Masalah pangan di negara kita memang sudah salah setting dari awal. Program beras-nisasi, program terigu-nisasi, program peternakan ayam yang menggantungan Grand Parent Stock (GPS) dan sumber pakan dari bahan impor seolah design para kapitalis yang membuat kita sudah tidak berdaya lagi. Impor gandum dalam 5 (lima) tahun terkahir selalu menembus angka 10 Juta ton. Jumlah yang sangat besar dan sangat menguras devisa negara. Bahkan Presiden Jokowi sudah memerintahkan jajarannya untuk mengurangi impor gandum dengan substitusi tepung sorghum.
Kalau saja perintah substitusi dan diversifikasi pangan itu diterjemahkan secara konsisten dan terukur maka dampaknya akan luar biasa. Masalah lahan pertanian untuk budidaya sorghum mestinya tidak masalah. BPN menyebutkan ada hampir 1,2 Juta hektar lahan terindikasi terlantar. Dari angka tersebut terdiri dari 1,19 Juta hektar berstatus HGU, 67.605 hektar berstatus HGB dan 6.043 hektar berststus hak pakai.
ADVERTISEMENT
Jika kita simulasikan dari 10 Juta ton gandum yang diimpor tersebut 10% saja wajib disubstitusi oleh tepung sorghum maka akan diperlukan 1 (satu) juta ton biji sorghum atau setara dengan 200.000 hektar lahan budidaya sorghum. Hanya 16% saja lahan terlantar yang dipakai. Jika program tersebut juga diarahkan untuk masyarakat miskin untuk bekerja di kebun-kebun sorghum maka dengan program reforma agraria 1 (satu) KK mendapat 2 (dua) hektar akan mempekerjakan 100.000 KK petani yang membudidayakan sorgum. Jika 1 KK memliki 4 (empat) anggota keluarga maka program subtitusi tepung ini akan menghidupi 400.000 jiwa anak bangsa ini.
Ini angka yang sangat menarik. Dan itu baru 1 (satu) produk pangan impor yang disubstitusi. Itu pun baru hanya 10% saja. Bagimana kalo 20% atau 30%. Apalagi kalo jagung, kedelai, daging juga kita budidayakan dilahan-lahan terlantar tersebut. Maka dampak kesejahteraan bagi anak-anak bangsa ini akan nyata terwujud. Dengan catatan manajemennya dikerjakan oleh BBT seperti FELDA di malaysia.
ADVERTISEMENT
Selain mewujudkan kedaulatan pangan, juga program perumahan buat rakyat miskin, reforma agraria berupa distribsi lahan per KK termasuk juga penciptaan lapangan kerja yang mensejahterakan para petani yang bekerja di ladang-ladang yang selama ini lahan/ kawasan tersebut terantar tak berkegiatan apapun. Jadi nyata sekali peran strategis Badan Bank Tanah dalam meningkatkan utilisasi tanah untuk mewujudkan kedaulatan pangan dalam bingkai ekonomi yang berkeadilan.
Dari sederat peluang dan tantangan optimalisasi tanah baik yang terlantar, underutilized maupun konflik agraria menuntut peran BBT sebagai land manager untuk manjadi lembaga pemerintah yang akan memberikan solusi yang paling tepat. Pengalaman di banyak negara maupun success story di beberpa kementrian dan lembaga terkait resolusi konflik di bidang pertanahan/ kehutanan bisa dijadikan contoh BBT. Jangan sampai lahirnya BBT malah menjadi beban sejarah dengan munculnya banyak badan atau lembaga baru yang memperpanjang rantai birokrasi. Tetapi kelahiran dan peran nyata BBT akan menjadi harapan baru dalam mengakselerasi penyelesaian konflik agraria maupun dalam rangka meningkatkan nilai tambah tanah bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ali Rahman - Alumni IPB University, Tenaga Ahli BNPT RI