Konten dari Pengguna

Sastra di Persimpangan Jalan

Fira Deyanti
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta
10 Juni 2024 12:22 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fira Deyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perbincangan sastra masuk kurikulum terdengar di mana-mana, beberapa tokoh bertanya, "Hendak dibawa ke mana sastra ini?" dengan mantap tulisan ini menjawab, "Hendak dibawa masuk kurikulum." Keputusan mengenai apakah dan bagaimana sastra harus dipertahankan atau diprioritaskan dalam kurikulum modern memang perlu di"ramai"kan, agar mata tidak hanya melihat teknis belaka.
ADVERTISEMENT
Meskipun kemampuan teknis dan sains sangat penting dalam menghadapi tantangan global, apakah kita siap mengorbankan pendidikan karakter dan kemanusiaan yang ditawarkan oleh sastra? Pendidikan yang terlalu teknokratik berisiko menghasilkan generasi yang mahir secara teknis tetapi kurang peka secara sosial dan emosional.
Menurut Karlina Supelli dalam Podcast Endgame, "Pendidikan yang sesungguhnya itu yang mengajarkan bagaimana merespon hasrat dengan daya pikir." Caranya bagaimana? caranya dengan membiasakan batin diolah sedemikian rupa. Dan menurut Martha Nusbaum (Seorang Filsuf Amerika), mengolah batin bisa dilakukan dengan membiasakan membaca sastra.
Sastra bukan sekadar kumpulan cerita atau puisi. Ini adalah cermin budaya, sejarah, dan nilai-nilai kemanusiaan. Melalui sastra, siswa tidak hanya belajar tentang bahasa dan estetika, tetapi juga tentang empati, etika, dan keberagaman perspektif. Membaca dan menganalisis karya sastra membantu siswa memahami dan merasakan perasaan serta pengalaman orang lain, dan hal ini yang penting dalam kehidupan bermasyarakat.
ADVERTISEMENT
Selain IQ, nyatanya EQ adalah hal yang lebih penting dalam kehidupan. Penelitian menyebutkan bahwa EQ 2 kali lebih penting dalam kontribusi kesuksesan dibandingkan IQ, hal ini dikarenakan kecerdasan emosional berperan penting dalam menghadapi kehidupan sosial.
Dengan sastra, siswa bisa lebih kritis dan melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang. Contoh kecil, dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada tokoh Poniem dalam novel "Merantau ke Deli" karya Hamka, pembaca bisa membaca dengan perasaan dan dengan imajinasi, seolah yang bermain peran dalam tulisan adalah diri sendiri, dan di saat itu pembaca bisa mengolah emosi dan perasaan.
Mengesampingkan kekerasan, pembaca bisa melihat sudut lain, yaitu perasaan korban kekerasan, yang mana hal itu bisa meningkatkan rasa empati, kemanusiaan, dan kepedulian. Mengingat bahwa problem moral merupakan persoalan akut atau penyakit kronis yang mengiringi kehidupan manusia, maka menempatkan penyelenggaraan pendidikan karakter merupakan hal yang sangat penting.
dokumen pribadi
ADVERTISEMENT