Konten dari Pengguna

Sekarang atau Nanti: Refleksi tentang Waktu dan Kesempatan

DANIEL GAGARIN
Pensiunan PNS 30 tahun, kini fokus pada lingkungan, pertanian, dan perencanaan. Meski pensiun sejak 2021, semangat eksplorasi isu lingkungan, teknologi, dan kesehatan mental tak pernah padam. Berdedikasi penuh!
15 April 2025 10:32 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari DANIEL GAGARIN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi espresso Foto: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi espresso Foto: Pexels
ADVERTISEMENT
Bayangkan kamu sedang duduk di sebuah kafe kecil—mungkin di sudut kota yang sibuk, atau di gang sepi yang jarang dilirik orang. Di depanmu, secangkir kopi menguap perlahan, mengisi udara dengan aroma yang menenangkan. Di luar, hujan mungkin turun rintik-rintik, atau mentari menyinari jalan dengan lembut. Momen ini sederhana. Tapi di balik kesederhanaannya, ia penuh kemungkinan.
ADVERTISEMENT
Pernahkah kamu bertanya: apa yang terjadi jika aku membiarkan momen ini lewat begitu saja?
Ada satu kutipan dari Toshikazu Kawaguchi yang kerap terngiang dalam benak saya:
Kata-kata ini seperti cermin: memaksa kita menatap diri sendiri dan bertanya, apa yang sebenarnya sedang kita tunda?

Kopi Dingin dan Mimpi yang Tak Pernah Dimulai

Kapan terakhir kali kamu menunda sesuatu yang penting?
Mungkin hanya secangkir kopi yang kau biarkan di meja—“nanti juga diminum.” Tapi saat kamu kembali, ia sudah dingin, dan rasanya tak lagi sama. Begitulah hidup. Kita sering berkata, “Nanti aku akan mulai,” atau “Nanti aku akan bilang kalau aku peduli.” Tapi "nanti" itu licin—seperti pasir halus yang meluncur pelan dari sela jemari.
ADVERTISEMENT
Saya pernah punya seorang teman yang ingin menulis buku. Setiap kami bertemu, matanya berbinar saat bercerita tentang idenya. Tapi selalu ada alasan: pekerjaan menumpuk, anak-anak butuh perhatian, atau keyakinan bahwa “tahun depan aku pasti lebih siap.” Tahun-tahun berlalu. Buku itu tak pernah ditulis. Bukan karena ia tak mampu—tapi karena ia terperangkap dalam manisnya penundaan.
Kita sering lupa: minat yang tak segera ditindak bisa padam. Mimpi, keberanian, bahkan kasih sayang—semuanya punya masa kadaluarsa yang tak pernah diberi tanggal. Dan ketika ia lewat, kita hanya bisa menyesali nyala yang tak sempat dijaga.

Siang yang Pelan-pelan Menjadi Malam

Pagi berubah menjadi siang. Siang memudar menjadi senja. Tahu-tahu malam menutup hari. Begitu juga hidup. Ia tak pernah berhenti untuk menunggu siapa pun.
ADVERTISEMENT
Anak-anak yang dulu kita gendong kini telah membangun dunia mereka sendiri. Orang tua yang dahulu terlihat kuat kini melangkah perlahan. Dan kita sendiri, yang pernah merasa punya waktu tak terbatas, mulai melihat garis halus di wajah dan uban yang tumbuh satu per satu.
Saya pernah menunda menelepon kakek saya. “Nanti saja, masih ada waktu,” pikir saya. Tapi waktu ternyata lebih cepat dari dugaan. Ketika ia pergi, yang tersisa hanyalah penyesalan: tak sempat mendengar ceritanya lagi, atau sekadar berkata, “Aku sayang Kakek.”
Dari situlah saya sadar—“nanti” adalah janji kosong. Ia sering datang terlambat, atau tak datang sama sekali.

Penyesalan Tak Selalu Dramatis

Penyesalan tak selalu datang dari kesalahan besar. Ia sering hadir dalam bentuk yang kecil dan sepele—kata yang tak sempat diucap, langkah yang tak jadi diambil, mimpi yang dibiarkan membeku karena “belum waktunya.”
ADVERTISEMENT
Di sebuah perjalanan kereta, saya berbincang dengan seseorang yang berkata, “Aku menyesal karena tak pernah bilang pada ayahku bahwa aku menghargainya. Sekarang ia sudah tiada, dan aku tak bisa kembali ke masa lalu.”
Cerita itu menggantung dalam kepala saya lama sekali. Berapa banyak dari kita yang memikul “andai saja” dalam diam, padahal kita punya waktu—tapi memilih diam, ragu, menunggu?
Penyesalan bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang kesadaran bahwa kita bisa melakukan sesuatu, dan memilih untuk tidak melakukannya.

Sekarang Adalah Hadiah

Ada alasan mengapa waktu saat ini disebut present. Ia adalah hadiah.
Setiap detik adalah kanvas kosong, menunggu warna dari tindakan kita. Tulis pesan yang tertunda, meski kata-katanya terasa kikuk. Hubungi teman lama, meski sudah bertahun-tahun tak bicara. Ambil satu langkah kecil menuju mimpi, meski itu hanya mencari satu informasi atau menulis satu kalimat.
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan lalu, saya akhirnya mendaftar kelas melukis—impian yang saya tunda bertahun-tahun. “Aku tak punya bakat,” pikir saya dulu. Tapi di kelas itu, saya merasa hidup. Bukan karena lukisannya indah, tapi karena saya memilih “sekarang,” bukan “nanti.”

Mulailah Hari Ini

Kembali ke kafe kecil tadi. Kopi masih di hadapanmu—mungkin masih hangat, mungkin mulai dingin. Tapi yang pasti: kamu masih punya momen ini.
Hidup adalah serangkaian pilihan. Dan setiap kali kamu memilih untuk bertindak—sekecil apa pun—kamu sedang menulis cerita yang tak akan berakhir dengan, “Seandainya saja.”
Ambil ponselmu, kirim pesan itu. Tulis kalimat pertamamu. Katakan apa yang ingin kau sampaikan. Karena seperti yang diingatkan Kawaguchi, hidup terus berjalan, dan kesempatan tak selalu datang dua kali.
ADVERTISEMENT