Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Nilai-Nilai Sosial Yang Tercermin dalam Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga
11 Juli 2024 12:29 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Elsa Wulandari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cerpen 'Dilarang Mencintai Bunga-Bunga': Eksplorasi Pencarian Jati Diri dan Kedamaian Jiwa dalam Kisah Buyung dan Kakek
ADVERTISEMENT
Karya sastra sering kali memanfaatkan kekuatan imajinasi dan simbolisme untuk menggambarkan realitas secara lebih dalam dan abstrak. Dalam karya sastra juga mencerminkan nilai-nilai sosial yang terhubung erat dengan kehidupan masyarakat. Nilai-nilai sosial dalam karya sastra dapat mencakup berbagai masalah tanpa batas. Nilai-nilai tersebut meliputi semua aspek yang berkaitan dengan martabat manusia, salah satunya yang mengacu pada interaksi manusia dengan sesama manusia dan lingkungannya. Cerpen (cerita pendek) termasuk dalam karya sastra. Cerpen adalah sebuah bentuk prosa fiksi yang singkat, sering kali mengandung tema-tema universal dan dapat mengeksplorasi aspek-aspek kehidupan manusia dengan pendekatan sastra.
ADVERTISEMENT
Sederhana tapi penuh dengan makna, begitulah cerpen-cerpen karya Kuntowijoyo. Bertemakan masalah kehidupan manusia yang dinamis, seperti permasalahan sehari-hari yang diangkat membuat jalan ceritanya sangat relate dengan kehidupan manusia yang dijalani sekarang. Salah satu karyanya yaitu cerpen ‘Dilarang Mencintai Bunga-Bunga’ yang menceritakan tentang keakraban seorang anak laki-laki bernama Buyung dengan tetangga barunya, sang kakek tua yang sangat ditakuti oleh teman-temannya itu, ternyata memiliki kebiasaan merawat bung-bunga di halamannya setiap hari. Kakek ini menemukan keindahan hidup dan ketenangan jiwa melalui kegiatan merawat bunga-bunga yang ia miliki. Berikut adalah analisis mengenai nilai-nilai sosial yang tercermin dalam cerpen ‘Dilarang Mencintai Bunga-Bunga’.
ADVERTISEMENT
Manusia hidup tidak lepas dari berbagai macam kebutuhan, terutama kebutuhan akan identitas, yang oleh Fromm diartikan sebagai kebutuhan untuk menyadari diri sendiri sebagai individu yang terpisah (Alwisol, 2008: 124). Pada awal cerita, Buyung adalah seorang remaja laki-laki yang baru saja pindah ke kota setelah tinggal bertahun-tahun di lingkungan dusun yang sempit bersama Ayah dan Ibunya. Setelah tiba di kota, keluarga mereka belum menemukan tetangga terdekat, kabarnya rumah yang berada disebelahnya, ialah milik seorang Kakek tua yang hidup hanya sendiri. Orang-orang mengatakan bahwa pemilik rumah itu sangat galak, dengan pagar tinggi yang menutupi rumahnya dan hanya satu pintu masuk dari depan yang tertutup rapat dengan anyaman bambu. Buyung merasa penasaran dengan Kakek pemilik rumah tersebut. Dia akhirnya memutuskan untuk memanjat pagar tembok melalui pohon kates di halaman rumahnya, dan dari sana dia melihat pemandangan indah: sebuah rumah Jawa yang sangat bersih dan dikelilingi oleh tanaman bunga-bunga. Namun, Buyung belum berhasil melihat siapa penghuninya. Buyung terus merasa tertarik untuk mengenal Kakek itu lebih jauh. Dia sering memanjat pagar anyaman bambu itu pada siang hari setelah pulang sekolah, namun tidak berhasil bertemu dengan Kakek. Namun, akhirnya Buyung berhasil menemukan Kakek tersebut. Ternyata, pandangan negatif orang-orang tentang Kakek itu salah, karena meskipun jarang terlihat, Kakek tersebut sebenarnya sangat ramah dan mudah didekati. Setelah pertemuan pada sore hari itu, Buyung dan Kakek mulai dekat dan akrab.
ADVERTISEMENT
“Apa kerja Kakek sebenarnya?”
“Sekarang menyiram bunga, Cucu”
“Ya. Tetapi apa sebenarnya kerja Kakek?”
“Pekerjaanku. Cucu, O, ya. Mencari hidup sempurna.”
“Di mana dicari, Kek?”
“Dalam ketenangan jiwa.”
“Ya, di mana?”
“Di sini. Dalam bunga-bunga.” (Kuntowijoyo, 1992, 26-27)
Dalam kutipan ini, Buyung melakukan pencarian jati diri melalui dialog dan interaksi dengan Kakek. Pertanyaan-pertanyaannya tentang pekerjaan Kakek dan makna hidup menunjukkan proses pencarian yang mendalam akan identitas dan tujuan hidupnya sendiri. Melalui hubungan yang terjalin dengan Kakek dan melalui pengalaman merawat bunga-bunga, Buyung secara perlahan menemukan pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya sendiri dan tentang apa yang benar-benar penting dalam hidupnya.
Cerpen ‘Dilarang Mencintai Bunga-Bunga’ karya Kuntowijoyo menampilkan tema-tema cinta dan kasih melalui berbagai cara. Cinta dan kasih dalam cerpen ini bukan hanya sekadar hubungan romantis, tetapi juga mencakup hubungan keluarga, hubungan antargenerasi, dan hubungan manusia dengan alam. Berikut adalah analisis tentang bagaimana rasa cinta dan kasih tercermin dalam cerpen ini. Cinta kasih berarti memberikan diri sepenuhnya berdasarkan rasa cinta kepada yang dicintainya. Cerpen ‘Dilarang Mencintai Bunga-Bunga’ mewujudkan suatu kecintaan seseorang melalui bunga-bunga.
ADVERTISEMENT
“Segalanya mengendap. Cobalah lihat, Cucu. Bunga-bunga di atas air ini melambangkan ketenteraman, ketenangan, dan keteguhan jiwa Di luar matahari membakar. Kendaraan hilir-mudik. Orang berjalan ke sana kemari memburu waktu...” (Kuntowijoyo, 1992: 16)
“Ya, dunia ini indah seperti bunga mekar. Membuat dunia tenang. Ini dunia kita!” (Kuntowijoyo, 1992: 17)
Dalam kutipan tersebut, bahwa Kuntowijoyo mengibaratkan kehidupan yang damai, seperti bunga-bunga mengapung di atas air yang melambangkan ketenteraman, ketenangan, dan keteguhan jiwa. Ini menggambarkan bagaimana sesuatu yang indah dan tenang bisa ada di tengah-tengah kekacauan, memberikan rasa damai dan stabilitas. kontras dengan kekacauan dan kesibukan pada dunia luar yang digambarkan oleh matahari yang membakar, kendaraan yang hilir-mudik, dan orang-orang yang terburu-buru mengejar waktu. Ini mencerminkan realitas kehidupan modern yang sering kali penuh dengan aktivitas dan tekanan. Melalui ini, Kuntowijoyo menunjukkan pentingnya menemukan ketenangan dalam diri sendiri di tengah tekanan dan kesibukan kehidupan sehari-hari. Pesan dari kutipan ini adalah bahwa meskipun kehidupan luar bisa sangat sibuk dan penuh tekanan, ada nilai dalam menemukan dan menghargai ketenangan batin. Bunga-bunga di atas air menjadi metafora untuk ketenangan yang bisa dicapai dalam diri sendiri, meskipun berada di tengah-tengah hiruk-pikuk dunia luar.
ADVERTISEMENT
Pandangan hidup yang terdapat dalam cerpen ‘Dilarang Mencintai Bunga-Bunga’ merupakan sasaran untuk mendapatkan ketenangan jiwa dan keteguhan batin. Upaya yang dilakukan melalui berbagai proses membuat seseorang memahami apa yang telah dicapai dan apa yang menjadi tujuan dalam pencarian hidupnya. Seperti tokoh Buyung yang mencari pandangan hidup dengan cara mempelajari gejala-gejala yang datang dari Kakek. Kakek adalah seseorang yang tidak lagi terganggu oleh urusan duniawi dan tidak seperti Ayah Buyung yang bersikap materialistis. Perlu diketahui bahwa tokoh Buyung adalah seseorang yang berada di tengah-tengah, yaitu seseorang yang sedang dalam proses mencari pandangan hidup. Berbeda dengan tokoh Kakek dan Ayah yang telah menemukan tujuan hidup mereka meskipun dengan cara dan pandangan yang berbeda, Seperti Kakek yang menemukan ketenangan jiwa melalui kegiatan menanam bunga-bunga di halaman rumahnya, Ayah menemukan ketenangan jiwa melalui pekerjaannya di bengkel. Buyung sekarang juga mulai mencari ketenangan jiwa dengan cara yang sesuai dengan dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
“Segala nafsu adalah malam yang gelap”
“Ya, sedangkan kita budi. Bukan nafsu. Begitu, kan, Kek?”
“Ya. Dan, perbuatan kita mencerminkan ketenangan jiwa.”
“Dan, keteguhan batin!” (Kuntowijoyo, 1992: 25)
Kutipan ini menggambarkan pandangan bahwa hidup berdasarkan budi pekerti dan ketenangan jiwa adalah cara hidup yang ideal, berbeda dengan hidup yang didorong oleh nafsu yang dianggap gelap dan menyesatkan. Sedangkan pernyataan dari Buyung menunjukkan bahwa dirinya dan Kakek sebagai individu yang berusaha hidup berdasarkan budi pekerti dan akal sehat, bukan berdasarkan nafsu. Kakek menyetujui pernyataan sebelumnya dan menambahkan bahwa Tindakan mereka mencerminka ketenangan jiwa. Ini menunjukkan bahwa hidup berdasarkan budi pekerti membawa ketenangan batin, yang merupakan keadaan ideal yang diinginkan. Dan Pernyataan terakhir ini menambahkan bahwa hidup dengan budi pekerti dan ketenangan jiwa juga memberikan keteguhan batin. Keteguhan batin di sini bisa diartikan sebagai kekuatan mental dan emosional yang stabil, yang memungkinkan seseorang untuk tetap teguh dalam prinsip dan nilai-nilainya meskipun menghadapi berbagai tantangan. Percakapan ini mencerminkan nilai-nilai moral yang tinggi dan menekankan pentingnya menjaga ketenangan dan keteguhan batin dalam kehidupan.
ADVERTISEMENT
“Menangis adalah cara yang sesat untuk meredakan kesengsaraan. Kenapa tidak tersenyum, Cucu. Tersenyumlah. Bahkan, sesaat sebelum orang membunuhmu. Ketenangan jiwa dan keteguhan batin mengalahkan penderitaan. Mengalahkan, bahkan kematian.” (Kuntowijoyo, 1992: 21)
Kutipan ini menggambarkan pandangan hidup bahwa cara terbaik untuk menghadapi kesengsaraan dan kematian adalah dengan ketenangan jiwa dan keteguhan batin. Menangis dianggap sebagai respons yang tidak tepat terhadap penderitaan, sementara tersenyum, bahkan dalam situasi yang paling ekstrem sekalipun, yaitu kematian menunjukkan kekuatan dan ketenangan yang luar biasa. Ini mencerminkan filosofi yang menekankan pentingnya ketenangan jiwa dan keteguhan batin dalam menghadapi penderitaan dan kematian.
Cinta persaudaraan adalah keyakinan bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain, dan ketergantungan ini menghasilkan perasaan kasih saya antar sesama. Cinta persaudaraan yang tercermin dalam cerpen ‘Dilarang Mencintai Bunga-Bunga’ rasa persaudaraan ditunjukkan oleh tokoh Buyung dan Kakek. Sebenarnya Kakek dan Buyung tidak memiliki hubungan darah atau keluarga. Namun, mereka saling mencintai sesama sehingga terjalin ikatan sangat erat. Buyung diperlakukan seperti cucu dan sahabat oleh Kakek, begitu pula sebaliknya.
ADVERTISEMENT
“Istriku sudah tidak ada lagi, Cucu. Di sini aku hidup sendiri. Aku punya anak cucu. Tetapi, mereka jauh di kota lain. Maukah kau menjadi cucuku, Sahabat Kecilku?” (Kuntowijoyo, 1992: 10)
Kutipan ini menggambarkan kesepian yang mendalam yang dialami oleh Kakek dan kebutuhan manusia akan hubungan emosional yang mendalam. Meskipun Kakek memiliki keluarga, tetapi mereka tinggal di kota yang jauh darinya. Kakek berharap dapat mengisi kekosongan emosionalnya dengan menjalin hubungan yang erat dengan Buyung, dan ia menyebutnya ‘Sahabat Kecilku’ yang menandakan keinginan untuk hubungan yang lebih akrab, melebihi sekedar hubungan cucu dan kakek. Ini menunjukkan bahwa ikatan emosional bisa terbentuk melalui kasih sayang dan perhatian, bukan hanya karena hubungan darah.
“Jangan khawatir, Cucu. Anggaplah di sini rumahmu. Datanglah ke sini bila kau senggang. Terimalah kakekmu, ya. Kita bisa duduk di sini. Melihat tanaman. Aku punya banyak bunga di sini. Hidup harus penuh dengaan bunga-bunga.” (Kuntowijoyo, 1992: 10)
ADVERTISEMENT
Kutipan di atas menggambarkan kehangatan dan kasih sayang yang ditawarkan Kakek kepada Buyung. Melalui ajakannya, Kakek berusaha untuk menciptakan hubungan yang sangat erat dan penuh makna. Kakek ingin Buyung merasa diterima dan dihargai, serta menunjukkan bahwa hidup yang indah dan ketenangan jiwa dapat ditemukan dalam hal-hal sederhana, seperti hanya menikmati keindahan bunga. Ini menggambarkan filosofi kakek tentang pentingnya kebersamaan, penerimaan, dan menemukan kebahagian dalam kehidupan sehari-hari.
Referensi
Rohayati, S., Effendy, C., Wartiningsih, A. (2018). Nilai-Nilai Sosial Yang Tercermin dalam Kumpulan Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga Karya Kuntowijoyo. Khatulistiwa: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 7(7), 1-10.
Daniyati, Ester. (2010). Perjalanan Pencarian Jati Diri Tokoh KIM dalam Novel KIM Karya Rudyard Kipling. (Skripsi). Semarang: Universitas Diponegoro.
ADVERTISEMENT