Konten dari Pengguna

Americano Vs Red Velvet: Konstruksi Sosial Pilihan Minuman Berdasarkan Gender?

Ajeng Wiko Rimadani
Mahasiswa Univeraitas Amikom Purwokerto
23 September 2024 9:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ajeng Wiko Rimadani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : istockphoto.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : istockphoto.com
ADVERTISEMENT
Dalam masyarakat modern, fenomena pengasosiasian jenis kelamin dengan minuman telah menjadi tren yang menarik. Misalnya, red velvet sering diasosiasikan dengan perempuan, sedangkan minuman seperti americano lebih sering dianggap minuman laki-laki. Mengapa fenomena ini muncul? Apakah benar ada hubungan antara minuman tertentu dengan gender, atau ini hanya hasil konstruksi sosial yang diterima tanpa sadar? Artikel ini akan mengupas secara rinci pandangan masyarakat mengenai “genderisasi” minuman, serta memberikan kutipan dari psikolog dan ilmuwan sosial untuk memahami fenomena ini.
ADVERTISEMENT
Konstruksi Sosial dan Peran Gender dalam Makanan dan Minuman
Seperti halnya pakaian, warna, atau pekerjaan, minuman juga kerap dikaitkan dengan stereotip gender. Ini berasal dari konsep gender performativity yang diperkenalkan oleh Judith Butler, seorang filsuf dan ahli teori gender. Butler menjelaskan bahwa gender bukanlah sesuatu yang melekat pada seseorang secara biologis, melainkan serangkaian tindakan yang diulang-ulang sehingga menciptakan identitas gender di masyarakat. Dalam konteks ini, memilih minuman juga bisa dianggap sebagai bentuk “performing” atau menampilkan gender.
Mengapa Red Velvet Dianggap “Perempuan” dan Americano “Laki-Laki”?
Minuman seperti red velvet seringkali diasosiasikan dengan hal-hal yang “feminine” karena karakteristiknya yang manis, berwarna merah muda, dan sering disajikan dengan tampilan yang cantik dan menarik. Pandangan ini selaras dengan stereotip feminin dalam masyarakat yang seringkali diasosiasikan dengan kelembutan, estetika, dan keindahan. Sementara itu, americano, dengan rasanya yang kuat dan pahit, sering dianggap sebagai simbol maskulinitas yang menggambarkan kekuatan, ketegasan, dan dominasi, stereotip yang kerap dilekatkan pada laki-laki.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Dr. Deborah Lupton, seorang ahli sosiologi yang fokus pada makanan dan budaya, makanan atau minuman sering digunakan sebagai media untuk mengekspresikan identitas gender. Lupton menjelaskan bahwa makanan manis, seperti kue atau minuman berwarna cerah, cenderung dihubungkan dengan perempuan karena dianggap lebih “halus” dan “lembut,” sedangkan makanan atau minuman yang pahit atau tajam seperti kopi hitam sering diasosiasikan dengan laki-laki karena dianggap “kuat” dan “keras.”
Pengaruh Iklan dan Media dalam “Genderisasi” Minuman
Selain konstruksi sosial, peran iklan dan media juga memperkuat stereotip ini. Dalam berbagai iklan, minuman seperti latte atau frappuccino dengan rasa manis kerap dipromosikan untuk perempuan, sementara minuman seperti espresso atau americano sering ditargetkan kepada laki-laki. Iklan ini tidak hanya mencerminkan stereotip yang ada di masyarakat, tetapi juga memperkuatnya.
ADVERTISEMENT
Profesor Erving Goffman, seorang ahli sosiologi, dalam bukunya Gender Advertisements menyebutkan bahwa iklan tidak hanya menggambarkan perbedaan gender, tetapi juga memperkuat norma-norma sosial yang ada. Dengan cara ini, iklan memainkan peran penting dalam membentuk persepsi konsumen tentang apa yang “tepat” atau “sesuai” dengan gender mereka.
Perspektif Psikologi: Mengapa Kita Mengikuti Stereotip Ini?
Dari perspektif psikologis, fenomena ini dapat dijelaskan melalui konsep social conformity, yaitu kecenderungan manusia untuk mengikuti perilaku, sikap, dan keyakinan kelompoknya. Menurut Solomon Asch, seorang psikolog sosial yang terkenal dengan eksperimen conformity, manusia cenderung menyesuaikan diri dengan norma sosial, bahkan jika norma tersebut mungkin tidak logis. Dalam konteks memilih minuman, orang mungkin memilih red velvet atau americano bukan karena mereka benar-benar menyukai rasanya, tetapi karena mereka ingin “cocok” dengan identitas gender yang diharapkan oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Penelitian juga menunjukkan bahwa perilaku konsumsi sering kali didorong oleh keinginan untuk mendapatkan validasi sosial. Dr. Joan Meyers-Levy, seorang profesor di bidang pemasaran, menemukan bahwa preferensi terhadap barang-barang konsumen, termasuk makanan dan minuman, sering kali dipengaruhi oleh stereotip gender yang tertanam di dalam benak individu. Orang cenderung memilih sesuatu yang sesuai dengan harapan sosial untuk menghindari disonansi kognitif, di mana tindakan mereka tidak sejalan dengan kepercayaan atau norma sosial.
Dampak Psikologis dari “Genderisasi” Minuman
Walaupun sekilas fenomena ini terlihat sepele, pengasosiasian jenis kelamin dengan minuman dapat mempengaruhi perilaku konsumen secara signifikan. Bagi sebagian orang, perasaan tekanan untuk menyesuaikan diri dengan stereotip gender ini bisa menjadi sumber stres atau kecemasan sosial. Sebagai contoh, seorang pria mungkin merasa enggan untuk memesan red velvet karena khawatir akan dihakimi sebagai “kurang maskulin.” Sebaliknya, seorang wanita mungkin merasa bahwa memesan americano akan mengancam identitas femininnya di mata orang lain.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, para psikolog menyarankan agar orang mulai lebih sadar dan kritis terhadap norma-norma sosial yang membatasi pilihan individu. Dengan menyadari bahwa preferensi makanan atau minuman tidak harus ditentukan oleh gender, orang dapat membebaskan diri dari tekanan sosial yang tidak perlu.