Konten dari Pengguna

Di Balik Budaya Banyak Anak Banyak Rezeki Berbenturan dengan Perekonomian!

Ajeng Wiko Rimadani
Mahasiswa Univeraitas Amikom Purwokerto
27 September 2024 15:53 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ajeng Wiko Rimadani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : istockphoto.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : istockphoto.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Budaya “banyak anak banyak rezeki” telah menjadi keyakinan yang tertanam kuat dalam masyarakat Indonesia, terutama di kalangan masyarakat pedesaan dan tradisional. Ungkapan ini didasarkan pada asumsi bahwa memiliki banyak anak akan membawa berkah, keberuntungan, dan dukungan finansial di masa depan, karena anak-anak dianggap sebagai sumber tenaga kerja tambahan dan penopang keluarga. Namun, di balik keyakinan ini, terdapat berbagai dampak sosial dan ekonomi yang justru berkontribusi pada kemiskinan berkelanjutan. Artikel ini akan menguraikan bagaimana budaya ini dapat memperparah kemiskinan di masyarakat serta faktor-faktor yang mendukung keberlangsungannya.
ADVERTISEMENT
1. Biaya Hidup yang Meningkat
Setiap anak yang lahir ke dalam keluarga membutuhkan perawatan, makanan, pendidikan, dan kesehatan. Seiring bertambahnya jumlah anak, tanggung jawab finansial orang tua meningkat secara signifikan. Dalam banyak kasus, terutama di keluarga berpenghasilan rendah, sumber daya yang terbatas tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar anak-anak. Dampaknya, kualitas hidup dan kesejahteraan anak-anak tersebut sering kali menjadi korban. Mereka mungkin kekurangan nutrisi yang cukup, tidak dapat mengakses pendidikan yang layak, atau menghadapi masalah kesehatan yang tidak tertangani dengan baik.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), keluarga besar yang berpenghasilan rendah sering kali terjebak dalam siklus kemiskinan karena tidak mampu mengimbangi biaya hidup yang semakin tinggi. Anak-anak dari keluarga miskin ini cenderung tidak menyelesaikan pendidikan formal, yang pada akhirnya mempersempit peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di masa depan. Siklus ini terus berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya.
ADVERTISEMENT
2. Penurunan Kualitas Pendidikan
Budaya “banyak anak banyak rezeki” sering kali tidak diimbangi dengan kesadaran akan pentingnya pendidikan. Di banyak daerah, pendidikan dianggap sebagai prioritas yang lebih rendah dibandingkan kebutuhan ekonomi jangka pendek. Orang tua yang memiliki banyak anak cenderung sulit untuk memberikan pendidikan yang optimal bagi setiap anak. Biaya sekolah, perlengkapan, hingga kebutuhan dasar pendidikan lainnya sering kali menjadi beban yang tidak bisa mereka penuhi.
Ketidakmampuan untuk memberikan pendidikan yang memadai pada akhirnya berakibat pada rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) di masa depan. Anak-anak yang tidak memiliki pendidikan yang baik akan sulit bersaing dalam pasar kerja yang semakin kompetitif, yang berujung pada pengangguran atau pekerjaan dengan upah rendah. Akibatnya, generasi berikutnya akan tetap berada dalam lingkaran kemiskinan.
ADVERTISEMENT
3. Kesehatan yang Memburuk
Salah satu dampak paling nyata dari memiliki terlalu banyak anak dalam kondisi finansial yang terbatas adalah kesehatan anak-anak yang terabaikan. Akses ke layanan kesehatan dasar, termasuk vaksinasi, perawatan medis, dan gizi yang baik, sering kali menjadi tidak tercukupi. Anak-anak dari keluarga besar berisiko lebih tinggi mengalami malnutrisi, stunting, dan penyakit yang dapat dicegah.
Di sisi lain, kesehatan ibu juga kerap menjadi korban dari budaya ini. Kelahiran berulang-ulang tanpa jarak yang cukup dapat melemahkan kondisi fisik ibu, menyebabkan komplikasi kesehatan serius, seperti anemia, infeksi, atau bahkan kematian saat melahirkan. Kondisi kesehatan yang buruk ini, baik pada anak maupun ibu, berdampak negatif pada perkembangan sosial-ekonomi keluarga secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
4. Ketimpangan Gender dan Beban Perempuan
Dalam budaya yang mempromosikan “banyak anak banyak rezeki,” beban yang paling berat sering kali jatuh pada perempuan. Di banyak masyarakat tradisional, perempuan dipandang sebagai penjaga keluarga yang bertanggung jawab atas mengurus anak-anak dan rumah tangga. Dengan memiliki banyak anak, perempuan sering kali kehilangan kesempatan untuk berkembang secara pribadi, seperti melanjutkan pendidikan atau bekerja.
Selain itu, peran perempuan dalam keluarga besar sering kali tidak diakui secara adil, dan mereka mungkin terjebak dalam siklus ketergantungan ekonomi pada suami. Ketidaksetaraan gender ini turut memperkuat kemiskinan, karena potensi produktif perempuan tidak dimanfaatkan secara optimal dalam masyarakat. Padahal, jika perempuan diberikan akses yang sama terhadap pendidikan dan peluang kerja, mereka dapat berkontribusi signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga.
ADVERTISEMENT
5. Tekanan Sosial dan Stigma
Budaya ini sering kali diperkuat oleh tekanan sosial dan stigma. Masyarakat yang masih memegang teguh pandangan ini cenderung menghakimi pasangan yang memilih untuk memiliki sedikit anak atau tidak memiliki anak sama sekali. Pasangan yang memutuskan untuk membatasi jumlah anak mereka sering kali dianggap tidak mengikuti tradisi atau bahkan egois.
Tekanan sosial ini membuat banyak pasangan merasa terpaksa untuk memiliki lebih banyak anak daripada yang sebenarnya mereka mampu dukung secara finansial. Mereka khawatir jika melawan arus budaya ini, mereka akan kehilangan dukungan sosial dari keluarga besar atau komunitas mereka. Akibatnya, meskipun sadar akan konsekuensi ekonomi dari memiliki banyak anak, banyak pasangan yang tetap mengikuti norma ini demi menjaga harmoni sosial.
ADVERTISEMENT
6. Solusi dan Edukasi
Untuk mengatasi dampak negatif dari budaya “banyak anak banyak rezeki,” perlu adanya pendekatan yang komprehensif, baik dari segi kebijakan pemerintah maupun edukasi masyarakat. Pemerintah dapat memainkan peran penting dengan menyediakan akses ke program keluarga berencana yang terjangkau dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat. Selain itu, kampanye edukasi tentang pentingnya perencanaan keluarga yang bertanggung jawab perlu diperluas, terutama di daerah pedesaan dan komunitas yang masih memegang teguh pandangan tradisional.
Pendekatan ini harus melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dan pemuka agama, yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk pandangan dan nilai-nilai sosial. Dengan adanya kesadaran yang lebih baik tentang pentingnya merencanakan jumlah anak berdasarkan kemampuan finansial, diharapkan budaya “banyak anak banyak rezeki” dapat bergeser menuju pemahaman yang lebih realistis dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT