Konten dari Pengguna

Durhaka Vs Perlindungan Diri: Benarkah Hanya Anak yang Bisa Bersalah?

Ajeng Wiko Rimadani
Mahasiswa Univeraitas Amikom Purwokerto
17 September 2024 14:41 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ajeng Wiko Rimadani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : istockphoto.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : istockphoto.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam budaya yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keluarga, hubungan antara anak dan orang tua dianggap sakral dan tidak bisa diganggu gugat. Salah satu konsep yang sering muncul adalah “durhaka,” yaitu sikap atau tindakan seorang anak yang tidak patuh atau melawan orang tuanya. Anak yang dianggap durhaka sering kali dicap negatif oleh masyarakat, dan dalam banyak kebudayaan, durhaka bahkan dianggap sebagai dosa besar. Namun, bagaimana jika sebaliknya, orang tua yang justru merusak mental anaknya? Apakah hubungan ini hanya berjalan satu arah, ataukah ada tanggung jawab yang sama dari kedua belah pihak?
ADVERTISEMENT
Pengertian Durhaka dan Pengaruhnya dalam Masyarakat
Durhaka, dalam banyak pandangan tradisional, diartikan sebagai perilaku anak yang melawan, tidak patuh, atau tidak menghormati orang tua. Dalam banyak agama dan budaya, seperti Islam, durhaka dianggap sebagai dosa yang serius. Anak yang melawan atau tidak menghormati orang tuanya dianggap melanggar perintah Tuhan atau norma sosial yang berlaku.
Namun, dalam konteks modern, definisi durhaka bisa menjadi lebih luas. Terkadang, sikap anak yang membela diri atau menolak perlakuan yang tidak adil dari orang tua dianggap sebagai tindakan durhaka, padahal mungkin anak tersebut hanya mencoba melindungi dirinya dari perlakuan yang merusak. Ini menciptakan dilema moral: di satu sisi, anak diajarkan untuk menghormati orang tua, tetapi di sisi lain, orang tua juga memiliki tanggung jawab untuk memperlakukan anak dengan baik.
ADVERTISEMENT
Orang Tua yang Merusak Mental Anaknya: Bentuk dan Dampaknya
Sementara anak bisa dianggap durhaka ketika melawan, sering kali kita lupa membahas bagaimana peran orang tua dalam hubungan ini. Orang tua yang merusak mental anaknya, baik secara sadar atau tidak, juga memiliki peran besar dalam menciptakan ketidakseimbangan hubungan.
Beberapa bentuk perlakuan orang tua yang merusak mental anak antara lain:
1. Tuntutan Berlebihan
Orang tua yang selalu menuntut anak untuk sempurna—baik dalam hal akademik, karier, atau kehidupan pribadi—dapat membuat anak merasa tidak pernah cukup. Anak yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini sering kali merasa cemas, rendah diri, dan tidak mampu memenuhi ekspektasi yang tidak realistis.
2. Kritik yang Terus-menerus
Orang tua yang selalu mengkritik dan tidak pernah memberikan pujian atau dukungan kepada anaknya juga dapat merusak mental anak. Kritik yang berlebihan dan tidak membangun dapat membuat anak merasa tidak berharga dan tidak percaya diri.
ADVERTISEMENT
3. Pengabaian Emosional
Orang tua yang tidak memberikan perhatian pada kebutuhan emosional anak, baik karena terlalu sibuk atau karena tidak menganggap penting perasaan anak, juga dapat merusak mental anak. Anak yang tidak merasa dicintai atau dihargai cenderung mengalami masalah psikologis seperti depresi dan kecemasan.
4. Pengendalian Berlebihan (Overprotective)
Orang tua yang terlalu mengendalikan hidup anaknya—mengatur setiap langkah dan keputusan—dapat membuat anak merasa kehilangan kendali atas hidupnya sendiri. Ini bisa menimbulkan rasa frustrasi dan kebingungan pada anak, bahkan setelah mereka dewasa.
5. Kekerasan Verbal dan Fisik
Orang tua yang menggunakan kata-kata kasar, ancaman, atau bahkan kekerasan fisik dapat meninggalkan luka psikologis yang dalam pada anak. Dampaknya bisa sangat luas, mulai dari trauma hingga gangguan kesehatan mental yang parah.
ADVERTISEMENT
Efek Jangka Panjang pada Kesehatan Mental Anak
Dampak dari perlakuan orang tua yang merusak mental anak bisa dirasakan hingga dewasa. Anak yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak sehat secara emosional sering kali menghadapi berbagai masalah mental, seperti:
• Depresi
Anak yang sering dikritik atau diabaikan mungkin merasa tidak layak dicintai atau dihargai, yang bisa memicu depresi.
• Kecemasan Berlebihan
Tuntutan yang terlalu tinggi dan harapan yang tidak realistis bisa membuat anak tumbuh menjadi individu yang cemas dan takut gagal.
• Kesulitan dalam Hubungan Sosial
Anak yang tidak mendapatkan dukungan emosional dari orang tua mungkin kesulitan menjalin hubungan yang sehat dengan orang lain. Mereka bisa menjadi terlalu tergantung pada orang lain atau sebaliknya, menjauhkan diri dari hubungan yang intim.
ADVERTISEMENT
• Trauma dan PTSD
Anak yang mengalami kekerasan fisik atau verbal mungkin membawa luka batin yang dalam dan mengalami gangguan stres pasca-trauma (PTSD).
Hubungan Timbal Balik: Tanggung Jawab Kedua Belah Pihak
Meskipun anak diajarkan untuk menghormati orang tua, orang tua juga memiliki tanggung jawab yang besar untuk membesarkan anak dengan cara yang sehat dan mendukung perkembangan emosional mereka. Hubungan ini seharusnya bersifat timbal balik, di mana kedua belah pihak saling menghormati dan mendukung.
Dalam konteks modern, penting untuk memahami bahwa menghormati orang tua bukan berarti menerima segala bentuk perlakuan yang merusak mental. Anak berhak untuk membela diri dan menolak perlakuan yang tidak adil, tanpa harus merasa bersalah atau dianggap durhaka.
ADVERTISEMENT
Orang tua, di sisi lain, perlu introspeksi dan menyadari bahwa mereka juga bisa salah. Peran orang tua tidak hanya sebagai pengatur, tetapi juga sebagai pelindung dan pendukung perkembangan mental, emosional, dan fisik anak.
Menyeimbangkan Hubungan: Bagaimana Memperbaiki Keretakan?
Untuk memperbaiki hubungan antara anak dan orang tua yang mungkin sudah rusak akibat dinamika ini, ada beberapa langkah yang bisa diambil:
1. Komunikasi yang Terbuka
Komunikasi adalah kunci dalam memperbaiki hubungan. Baik anak maupun orang tua perlu belajar untuk mendengarkan satu sama lain tanpa prasangka dan mencoba memahami sudut pandang masing-masing.
2. Memahami Batasan
Orang tua harus memahami bahwa anak, terutama ketika sudah dewasa, memiliki hak untuk menentukan hidupnya sendiri. Anak juga perlu menghormati peran orang tua, tetapi dalam kerangka saling menghargai.
ADVERTISEMENT
3. Mendukung Kesehatan Mental Anak
Orang tua perlu memberikan dukungan emosional yang sehat kepada anak, dan jika dibutuhkan, mengajak anak untuk berkonsultasi dengan ahli kesehatan mental. Ini penting untuk memperbaiki dampak buruk yang mungkin sudah terjadi.
4. Mengakui Kesalahan
Jika ada kesalahan dari kedua belah pihak, baik anak maupun orang tua harus berani mengakui kesalahan tersebut dan meminta maaf. Ini adalah langkah penting dalam proses penyembuhan hubungan.