Konten dari Pengguna

Stigma di Desa yang Harus di Ubah: Hamil di Luar Nikah Vs Sarjana Pengangguran

Ajeng Wiko Rimadani
Mahasiswa Univeraitas Amikom Purwokerto
30 Oktober 2024 14:50 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ajeng Wiko Rimadani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : istockphoto.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : istockphoto.com
ADVERTISEMENT
Dalam masyarakat pedesaan, perbedaan pandangan dan prioritas seringkali memunculkan potret kehidupan yang unik dan penuh dengan kontradiksi. Salah satu fenomena yang terjadi adalah bagaimana perlakuan masyarakat terhadap individu yang memiliki anak hasil hamil di luar nikah dibandingkan dengan lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Meskipun kedua situasi ini sama-sama mengandung tantangan, lingkungan sosial sering kali menunjukkan perlakuan yang berbeda, dengan kecenderungan menjaga perasaan mereka yang memiliki anak di luar pernikahan lebih daripada lulusan S1 yang belum mendapatkan pekerjaan. Mengapa fenomena ini terjadi? Berikut adalah penjelasan secara rinci yang mempertimbangkan beberapa faktor budaya, psikologis, dan sosial.
ADVERTISEMENT
1. Prioritas Perlindungan Emosional bagi Ibu dengan Anak di Luar Nikah
• Di lingkungan pedesaan, kehamilan di luar nikah masih dipandang sebagai aib atau masalah serius, baik bagi individu yang bersangkutan maupun keluarga besar. Masyarakat cenderung memberikan perhatian khusus kepada mereka untuk menjaga kehormatan keluarga dan meminimalisir konflik yang bisa menyebar ke keluarga besar.
• Biasanya, ada upaya untuk “menutupi” kejadian ini dari publik untuk mencegah gosip atau stigma. Perlindungan emosional diberikan bukan hanya kepada ibu yang hamil di luar nikah, tetapi juga keluarganya untuk menjaga stabilitas sosial.
2. Persepsi Stigma yang Lebih Berat pada Kehamilan di Luar Nikah
• Di desa, kehamilan di luar nikah dianggap “pelanggaran” terhadap norma-norma sosial dan agama yang dijunjung tinggi. Lulusan S1 yang menganggur, di sisi lain, hanya dipandang sebagai kurang beruntung atau belum mendapatkan kesempatan.
ADVERTISEMENT
• Untuk mengurangi beban stigma sosial, keluarga cenderung lebih melindungi mereka yang mengalami kehamilan di luar nikah. Dengan demikian, masyarakat lebih memilih meredam komentar negatif, memberi dukungan emosional yang lebih besar, dan memastikan bahwa anggota keluarga tidak merasa terkucilkan.
3. Harapan pada Lulusan S1 yang Menganggur
• Ironisnya, lulusan S1 yang menganggur di rumah tidak jarang mendapatkan tekanan lebih besar dibandingkan ibu yang memiliki anak di luar nikah. Ada anggapan bahwa lulusan perguruan tinggi seharusnya memiliki masa depan yang jelas dan mandiri secara finansial.
• Harapan tinggi ini sering menjadi beban, di mana lulusan S1 dianggap belum berhasil “membayar” jerih payah orang tua yang telah membiayai pendidikan mereka. Harapan yang tidak terpenuhi ini menciptakan rasa kecewa dan terkadang mengarah pada kritik atau nasihat yang justru memengaruhi mental lulusan S1 tersebut.
ADVERTISEMENT
4. Kesenjangan dalam Dukungan Sosial: Fokus pada Keluarga, Bukan Individu
• Di desa, pendekatan dukungan seringkali lebih kolektif, berfokus pada stabilitas keluarga daripada pencapaian individual. Mereka yang memiliki anak di luar nikah diberi perhatian untuk menjaga keharmonisan keluarga dan meminimalisir gosip.
• Sebaliknya, lulusan S1 yang menganggur sering dianggap sebagai tanggung jawab pribadi karena masalah mereka dipandang sebagai kegagalan individu, bukan aib keluarga. Akibatnya, dukungan yang diberikan pun lebih minim, bahkan bisa terasa seperti desakan untuk segera “berhasil” atau “produktif.”
5. Peran Gender dan Ekspektasi Sosial
• Ekspektasi gender di pedesaan turut mempengaruhi perbedaan perlakuan ini. Pada perempuan yang memiliki anak di luar nikah, simpati yang diberikan berkaitan dengan persepsi bahwa mereka lebih rentan secara sosial dan ekonomi. Berbeda halnya dengan lulusan laki-laki yang diharapkan mampu mandiri secara finansial, bahkan cenderung mendapatkan kritik keras jika mereka belum bekerja.
ADVERTISEMENT
• Di sisi lain, perempuan lulusan S1 yang menganggur juga seringkali dihadapkan pada tekanan untuk segera menikah jika belum mendapatkan pekerjaan. Mereka dianggap lebih baik “diurus” oleh suami ketimbang hanya menjadi beban bagi orang tua.
6. Keberlanjutan Dinamika Sosial di Desa
• Dalam masyarakat desa, adanya anak yang lahir di luar nikah memiliki dampak yang luas, dari keamanan psikologis hingga reputasi keluarga. Ini menjadi alasan mengapa keluarga dan masyarakat akan berusaha keras untuk menjaga situasi tersebut dari gosip dan menjaga agar sang ibu serta anak tidak menjadi bahan pergunjingan.
• Sementara itu, kondisi pengangguran bagi lulusan S1 dianggap bukan masalah yang akan menimbulkan efek berantai dalam lingkup sosial. Oleh karena itu, mereka lebih cenderung diabaikan secara emosional, karena situasi mereka dipandang sebagai urusan pribadi yang tidak menimbulkan dampak langsung pada keluarga besar atau lingkungan sekitar.
ADVERTISEMENT
7. Solusi untuk Keseimbangan Dukungan dalam Masyarakat Desa
• Mengurangi Stigma Sosial: Pendidikan sosial di masyarakat tentang pentingnya empati bagi semua pihak, baik bagi ibu yang mengalami kehamilan di luar nikah maupun lulusan yang menganggur, dapat mengurangi kesenjangan dukungan.
• Pemahaman Keluarga: Memberikan pengertian kepada keluarga agar mereka lebih bijak dalam mendukung anak yang menganggur dan menghindari tekanan berlebihan pada lulusan S1 yang masih berjuang mencari pekerjaan.
• Menciptakan Kesempatan Kerja dan Pendidikan yang Merata: Pemerintah dan komunitas desa dapat bekerja sama untuk membuka lapangan kerja di pedesaan dan mendukung lulusan perguruan tinggi agar dapat berkontribusi pada desa tanpa harus merantau, sehingga keberadaan mereka di rumah tidak menjadi beban atau terlihat tidak produktif.
ADVERTISEMENT