Konten dari Pengguna

Mitos Sabdo Palon Simbol Harmoni Jawa-Islam

Anton
Mahasiswa S2 Kajian Sejarah FISIP UNNES
15 Mei 2024 11:43 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anton tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Patung Semar (Dok: Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Patung Semar (Dok: Pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gunung Tidar bagi masyarakat Jawa (khusunya Magelang) bukan hanya sekadar bukit indah yang dipenuhi pepohonan hijau nan asri, namun memiliki mitos sebagai “pakunya Pulau Jawa”. Konon, dahulu Pulau Jawa memiliki bentuk seperti perahu yang bergejolak dan dapat sewaktu-waktu terbawa arus laut. Pulau itu awalnya dihuni oleh berbagai jenis jin yang sangat kuat, dan pusat kerajaannya terletak di Gunung Tidar. Penduduk di Pulau Jawa saat itu dikenal sakti serta memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Terdapat banyak riwayat mengenai apa yang pernah terjadi di gunung tersebut. Masyarakat meyakini Gunung Tidar merupakan tempat pertemuan antara Syaikh Subakir, pembawa risalah Islam ke Nusantara, dengan Eyang Semar (Sabdo Palon).
ADVERTISEMENT
Biasanya masyarakat memvisualisasikan wujudnya dalam bentuk patung Semar. Patung ini kadangkala dapat ditemui di halaman toko, rumah makan, tempat wisata, dan sebagainya. Fenomena serupa juga terjadi di wilayah lain di Jawa Tengah, dimana patung Semar menghiasi berbagai tempat dengan bentuknya yang khas dan menarik yang menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat setempat. Bagi masyarakat Jawa, tokoh Semar tidak hanya dipandang sebagai sebuah tokoh punakawan yang cerdas. Mereka melihatnya sebagai figur yang juga memancarkan spiritualitas yang kuat. Di beberapa daerah, keberadaan tokoh Semar bahkan menjadi bagian dari serangkaian ritual yang diwariskan secara turun-temurun.
Patung Semar bukan sekadar benda seni atau hiasan semata, melainkan juga mengandung pesan yang tercermin dalam falsafah hidup masyarakat setempat. Keberadaannya mencerminkan nilai yang menjadi pengingat menegnai warisan spiritual turun-temurun dalam kehidupan masyarakat Jawa. Banyak cerita mengenai tokoh Sabdo Palon ini. Ada yang mengatakan bahwa Sabdo Palon merupakan reinkarnasi dari sosok Semar.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan keterangan dari wikipedia, Sabdapalon atau Sabdo Palon adalah tokoh legendaris di Bukit Tidar, Jawa Tengah yang hidup pada zaman Majapahit yang beragama Hindu/Buddha. Dia terkenal karena bertarung dengan Syekh Subakhir selama 40 hari 40 malam tanpa hasil yang jelas, hingga akhirnya mereka membuat perjanjian yang dianggap legendaris oleh masyarakat Jawa. Namanya disebut dalam Serat Darmagandhul, yang ditulis oleh Ki Kalamwadi pada tahun 1830 Jawa (atau 16 Desember 1900). Serat Darmagandhul adalah tembang macapat dalam sastra Jawa Baru berbahasa Jawa ngoko. Dalam cerita itu, Sabdapalon tidak bisa menerima kekalahan Brawijaya pada tahun 1478 oleh tentara Demak dengan bantuan Walisongo. Dia bersumpah akan kembali setelah 500 tahun saat Jawa dilanda korupsi dan bencana, untuk mengembalikan kejayaan agama dan kebudayaan Jawa.
ADVERTISEMENT
Adapun isi perjanjian legendaris tersebut antara lain; jangan ada sistem pemaksaan masyarakat untuk memeluk agama Islam. Jika hendak mendirikan bangunan, jangan sampai menghilangkan unsur budaya Jawa di dalam bangunan tersebut. Jika nanti mendirikan kerajaan Islam, maka Ratu pertama harus dari darah campuran. Jangan jadikan Jawa menjadi orang Arab, karena kearifan suku Jawa harus tetap dilestarikan walaupun sudah ada unsur Agama yang masuk ke sana.
Penelitian Antropolog Paul Stange pada 1988, menyebutkan bahwa Sabdo Palon adalah inkarnasi Semar, mahaguru di Tanah Jawa. Mereka adalah titisan dewa yang turun ke bumi sebagai panakawan, tugasnya menjadi pemomong raja dan pengayom rakyat. Sabdo Palon dan Naya Genggong senantiasa mendampingi pemerintahan raja-raja Jawa masa Hindu-Buddha. Sabdo Palon atau Naya Genggong bukanlah nama asli, melainkan gelar sesuai tugas yang diemban. Dalam Serat Darmo Gandul, Sabdo Palon diartikan sebagai kata-kata dari namanya, dengan “sabdo” berarti pemberi ajaran dan “palon” pengunci kebenaran dalam semesta. Naya Genggong, yang berarti abdi raja yang mengulang-ulang suara, adalah orang yang berani mengingatkan raja tentang kebenaran dan siap menanggung akibatnya.
ADVERTISEMENT
Asal-usul Tokoh Semar
Tokoh Semar dalam masyarakat Jawa setidaknya dapat ditemukan melalui tiga sumber informasi yakni melalui kesusasteraan, relief, dan tradisi lisan. Dalam jurnal yang ditulis oleh Catur Nugroho, Asal-Usul Mitos Tokoh Semar; Eksistensi dan Esensinya Bagi Masyarakat Jawa (1 Juli 2023), tokoh Semar pertama kali disebut dalam Kitab Sudamala pada abad ke-15 yang menunjukkan keberadaannya sejak zaman Majapahit. Bahkan jauh sebelum era Majapahit, juga disebutkan dalam Kitab Gatutkacasraya juga menggambarkan tokoh Semar pada abad ke-11. Artinya, tokoh Semar sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan sastra Jawa sejak zaman dulu. Relief pada candi Jago dan Tegowangi juga menggambarkan tokoh Semar dalam masyarakat Jawa. Di candi Jago, tokoh abdi atau punakawan, termasuk Semar, terlihat pada abad ke-13. Sedangkan di candi Tegowangi, tokoh abdi dengan ciri-ciri fisik yang mirip dengan Semar hadir pada abad ke-14. Bukti ini menunjukkan betapa pentingnya peran tokoh Semar dalam budaya dan kepercayaan masyarakat Jawa pada masa itu. Adapun dalam tradisi lisan tokoh Semar muncul dalam Serat Centhini dan Serat Sastramiruda. Pada masa pemerintahan Panembahan Senapati di zaman Mataram, wayang Semar dibuat bersama dengan wayang lain seperti Bagong, Cenguris, dan lainnya, sekitar abad ke-16. Keterangan ini terkonfirmasi melalui penanda tahun 1541 dalam sumber tersebut. Dari sini, kita bisa mengerti bahwa Semar hadir dalam kehidupan masyarakat dalam bentuk pertunjukan wayang kulit.
ADVERTISEMENT
Ketika agama Islam mulai berkembang di Jawa pada zaman kesultanan, tokoh-tokoh agama seperti Sunan Kalijaga memilih untuk mempertahankan budaya Jawa sebagai bagian dari upaya menyebarkan Islam. Pertunjukan wayang dipilih sebagai sarana dakwah Islam terhadap masyarakat Jawa yang ratusan tahun menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Dalam menyampaikan Islam Sunan Kalijaga mempertahankan tokoh-tokoh punakawan seperti Semar. Dengan demikian, penduduk Jawa yang belum akrab dengan Islam bisa lebih mudah menerima agama tersebut melalui budaya lokal yang mereka kenal. Inilah yang membawa kedamaian dan harmoni di antara berbagai unsur budaya dan agama di Jawa.
Mitos Sabdo Palon Simbol Harmoni Jawa-Islam
Masyarakat Jawa memiliki budaya yang khas terkait dengan kehidupan beragamanya. Suyanto (1990) dalam karyanya Pandangan Hidup Jawa menjelaskan bahwa karakteristik budaya Jawa adalah religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Karakteristik seperti ini melahirkan corak, sifat, dan kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa seperti berikut: 1) percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai Sangkan Paraning Dumadi, dengan segala sifat dan kebesaran-Nya; 2) bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat immateriil (bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supernatural) serta cenderung ke arah mistik; 3) lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual; 4) mengutakaman cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia; 5) percaya kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah; 6) bersifat konvergen dan universal; 7) momot dan non-sektarian; 8) cenderung pada simbolisme; 9) cenderung pada gotong royong, guyub, rukun, dan damai; dan 10) kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi.
ADVERTISEMENT
Pada abad ke-15, ajaran Islam masuk ke Jawa dan berhadapan dengan budaya Jawa yang sudah mengakar. Kondisi ini menciptakan dialog antara Islam sebagai doktrin wahyu dan tradisi lokal (Taufik Abdullah, 1989). Para penyebar Islam melakukan akulturasi budaya dengan masyarakat setempat. Clifford Geertz (1964) dalam bukunya The Religion of Java menjelaskan bahwa Islamisasi di Jawa yang dilakukan antara lain oleh Sunan Kalijaga dengan membawa elemen-elemen pewayangan Hindu ke dalam dunia Islam. Dengan demikian, proses Islamisasi di Jawa dilakukan dengan mengakomodasi tradisi dan dinamika lokal.
Pola Islamisasi di Jawa yang menyerap dan mengakomodasi tradisi serta dinamika lokal ini tercermin dalam berbagai karya sastra pada masa itu. Karya sastra atau serat ini menggambarkan pola akulturasi antara Islam dan budaya Jawa, seperti yang terlihat dalam Babad Tanah Jawa dan Serat Centhini. Sufisme dalam karya-karya tersebut digambarkan menjadi bagian dari budaya Jawa dengan istilah-istilah sufistik khas Jawa bahkan menggunakan bahasa Jawa.
ADVERTISEMENT
Toleransi dan penghargaan terhadap agama dan residuum budaya (sisa-sisa budaya lama), bagi orang Jawa merupakan sebuah kebanggaan. Sikap ini, kata Anderson (2000), sangat terkait dengan mitologi Jawa yang ter-illustrasikan melalui dunia pewayangan yang terinternalisasikan dalam mindset masyarakat Jawa. Melalui wayang, terdapat berbagai sosok yang merepresentasikan keunikan pribadi masyarakat Jawa.
Sosok Sabdo Palon merupakan simbol bagi masyarakat Jawa bahwa untuk menjadi Islam tidak harus menghilangkan tradisi lokal. Islam dan tradisi lokal bisa berjalan harmonis secara subtantif tanpa harus meniadakan satu dengan yang lainnya.