Konten dari Pengguna

Landmark Sampah: Wisata Baru Ala Jogja

Jaylani
Co-Founder Gen Z Institut
18 September 2024 19:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jaylani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tumpukan sampah disepanjang jalan Yogyakarta. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tumpukan sampah disepanjang jalan Yogyakarta. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Yogyakarta, kota yang selama ini menjadi pusat kebudayaan dan pendidikan, kini menyuguhkan sebuah ironi pahit yang mungkin tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Dahulu, setiap sudutnya menggambarkan jejak sejarah, riuh kreativitas, dan sentuhan seni yang memukau. Namun sekarang, pandangan kita harus terganggu oleh sesuatu yang jauh dari indah: tumpukan sampah yang menjulang, sebuah "landmark" baru yang tak pernah kita inginkan.
ADVERTISEMENT
Sampah, benda remeh yang seharusnya lenyap di balik punggung kota ini, kini justru hadir di mana-mana, seakan ingin mengukuhkan eksistensinya. Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS), yang seharusnya menjadi solusi, malah menjelma menjadi monumen kegagalan, tertutup rapat dan tak bisa diakses warga. Lebih tragis lagi, di setiap sudut kota, kita disuguhkan pemandangan tulisan "dilarang membuang sampah" yang ironisnya dikelilingi oleh gunungan sampah itu sendiri. Seolah-olah, papan peringatan itu hanya menjadi penghias tumpukan yang kian hari kian tinggi.
Apakah ini cerminan kegagalan sebuah kota yang dulu begitu dibanggakan? Atau mungkin, ini adalah potret suram Yogyakarta yang perlahan kehilangan jati dirinya? Kota yang dulunya dipenuhi dengan karya seni dan budaya, kini lebih dikenal sebagai tempat di mana sampah berkuasa.
ADVERTISEMENT
Lebih menyesakkan lagi, kita sebagai warga seakan sudah terbiasa dengan pemandangan ini. Bukannya marah, kecewa, atau bertindak, kita malah sibuk mencari sudut foto yang paling 'Instagramable' tanpa peduli bahwa tumpukan sampah itu mungkin sudah mulai berkompetisi dengan Candi Prambanan sebagai ikon kota.
Yogyakarta tak membutuhkan lebih banyak slogan atau himbauan kosong. Kota ini membutuhkan tindakan nyata, kesadaran kolektif, dan sebuah komitmen untuk kembali menjadi kota yang kita banggakan. Jika tidak, jangan heran jika suatu hari nanti, para wisatawan datang bukan lagi untuk menikmati keindahan sejarah dan budaya, tetapi untuk melihat pemandangan baru yang lebih "modern": tumpukan sampah yang menjulang di setiap sudut. Selamat datang di Yogyakarta, kota budaya atau mungkin sekarang lebih tepat disebut kota sampah.
ADVERTISEMENT
Di balik senyum ramah yang seolah menjadi ciri khas penduduk, ada sebuah kebingungan besar yang diam-diam mendera. Seolah-olah masyarakat kita telah kehilangan arah dalam menghadapi musuh sederhana: sampah. Ironisnya, mereka yang seharusnya menjadi contoh malah ikut berperan aktif dalam membangun "destinasi wisata" baru—bukit-bukit sampah yang menghiasi setiap sudut jalan. Betapa cerdiknya! Bukannya mengelola sampah, malah merawatnya dengan baik hingga menjadi pemandangan tetap yang tak bisa diabaikan.
Lalu, mari kita intip sejenak ke Swedia, negara yang mungkin tak pernah terpikirkan bisa jadi teladan dalam urusan sampah. Di sana, sampah bukan sekadar sesuatu yang menjijikkan; feses menjadi fosfor, urine menjadi nitrogen, dan sisa ampas diubah menjadi bahan bakar untuk bus kota serta kompos untuk lahan pertanian. Kedengarannya seperti dongeng, bukan? Tapi kenyataannya, ini semua dimungkinkan berkat satu hal sederhana: kesadaran masyarakat.
ADVERTISEMENT
Bayangkan, sebuah penelitian di tahun 2008 menunjukkan bahwa 87 persen masyarakat Swedia rela mengambil langkah pribadi untuk mengurangi emisi CO2. Salah satu cara mereka mendaur ulang apa saja yang bisa didaur ulang. Dan ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan hasil dari kebijakan ketat yang diterapkan sejak lama. Pajak tinggi untuk bahan bakar fosil sejak 1991 memaksa mereka berpikir ulang. Hasilnya? Sampah yang didaur ulang kini memenuhi kebutuhan energi mereka, dengan biaya yang jauh lebih murah dan lingkungan yang lebih sehat.
Coba bandingkan, pajak batu bara di Swedia 0,093 SEK/kWh, sementara pajak untuk sampah rumah tangga hanya 0,032 SEK/kWh. Terasa kontras, bukan? Murah, efisien, dan tentunya sehat. Tapi di sini? Alih-alih mengikuti jejak yang sama, kita malah sibuk mengagumi gunung-gunung sampah yang terus bertambah tinggi, seakan itu adalah capaian monumental yang patut diapresiasi.
ADVERTISEMENT
Kini, mari kita kembali ke Yogyakarta. Kota yang seharusnya menjadi contoh, justru terjebak dalam lingkaran permasalahan sampah yang tak kunjung usai. Apakah kita akan terus menyalahkan fasilitas yang kurang memadai atau regulasi yang belum sempurna? Faktanya, masalah ini jauh lebih dalam. Kegagalan membangun kesadaran masyarakat adalah akar dari segala permasalahan ini. Bagaimana mungkin kita berharap masalah sampah selesai jika mentalitas masyarakat masih terjebak pada pola pikir lama?
Yogyakarta, yang dulu dielu-elukan sebagai ikon pendidikan, kini harus menghadapi kenyataan pahit: apakah benar kota ini telah mendidik warganya dalam hal yang sesederhana mengelola sampah? Atau kita perlu meninjau ulang kurikulum sekolah-sekolah kita, menambahkan pelajaran tentang pengelolaan sampah yang sebenarnya lebih penting daripada sekadar teori-teori rumit?
ADVERTISEMENT
Jika kita tidak segera bertindak, bayangkan saja masa depan Yogyakarta: wisatawan datang bukan untuk menikmati kekayaan budaya, melainkan untuk menyaksikan fenomena baru berupa bukit-bukit sampah yang menghiasi setiap sudut kota. Sebuah atraksi baru yang tak hanya memalukan, tetapi juga mengancam eksistensi Yogyakarta sebagai kota budaya.
Apakah kita siap menerima label "kota sampah"? Atau mungkin, sudah saatnya kita bertindak sebelum ironi ini benar-benar menjadi kenyataan.