Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menyeret Langkah Ke Puncak Tambora
1 November 2024 13:52 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Nina Pradani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
oleh: Nina Pradani
Tepatnya, 11 April 1815 atau lebih dari dua abad lalu, gunung Tambora yang asalnya memiliki ketinggian 4.300 mdpl mengalami letusan dahsyat hingga menenggelamkan tiga kerajaan (Tambora, Pekat, dan Sanggar) bahkan menyebabkan perubahan iklim dunia karena letusannya saja terdengar hingga pulau Sumatra dan abunya menyebar hingga benua Amerika dan Eropa. Mengakibatkan kematian, gagal panen, hingga kelaparan terburuk abad 19.
ADVERTISEMENT
Meski gunung ini pernah menjadi salah satu puncak tertinggi di Nusantara, setelah letusan dahsyat itu, ketinggiannya berkurang menjadi 2850 MDPL pada puncak bibir kawahnya. Awalnya saya mengganggap remeh angka itu. Ah, segitu aja, tidak begitu tinggi, kok, bisalah saya ke sana. Seberapa, sih, itu. Kecil...
Menuju puncak Tambora, kalian bisa melewati dua jalur pendakian, Pendakian Doropeti di Bima dan Pancasila di Dompu karena terletak di dua kabupaten, Dompu (sebagian kaki sisi selatan sampai barat laut) dan Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan hingga barat laut, dan kaki hingga puncak sisi timur hingga utara).
Informasi terakhir, saat ini Gunung Tambora sudah memiliki empat jalur pendakian resmi, yaitu jalur Kawinda To'i dan Piong yang berada di wilayah Kabupaten Bima, lalu jalur Doro Ncanga dan Pancasila yang berada di wilayah Kabupaten Dompu. Kami memilih melewati jalur Pancasila karena menjadi jalur utama yang sering digunakan para pendaki, jalur ini juga memiliki jarak tempuh selama tiga hari dua malam.
ADVERTISEMENT
Well, jadi April tahun 2018 lalu, Bima dan Dompu memperingati 203 tahun letusan itu yang mereka rayakan sebagai Festival Tambora. Berbagai kegiatan diadakan mulai dari hiburan mengundang artis ibukota, mendaki bersama, membentangkan bendera merah putih 203 meter di puncak bibir kawah, dan banyak lagi kegiatan seru lain yang digelar dari tanggal 8 hingga puncak acaranya pada 11 April lalu.
Awalnya, saya ingin ikut mendaki pada saat perayaan festival itu, namun karena terkendala beberapa hal, tidak bisa dan akhirnya diajakin teman-teman yang juga ingin merayakan festival yang tertunda itu pada akhir pekan. Kami berangkat jumat siang tanggal 13 April 2018 dari Bima dan sampai gerbang pendakian Pancasila sekitar ba'da magrib. Agar bisa memulai pendakian besok pagi-pagi, kami menginap dulu Jumat malam itu pada salah satu homestay di Desa Pancasila.
ADVERTISEMENT
Pendakian Perdana dan Impian
Setelah salat subuh, kami mulai bersiap untuk mendaki. Suasana pagi di Desa Pancasila cukup sunyi dan dingin. Kami memulai langkah pukul 6 pagi dengan membaca doa masing-masing dalam hati. Rombongan ini berjumlah sembilan orang, saya bersama delapan orang teman yang sebagiannya sudah lama saya kenal, juga teman baru. Di antara mereka, sayalah yang usianya paling tua, dan yang paling tidak memiliki pengalaman mendaki. Ya, ini adalah pendakian pertama saya.
Perjalanan itu dimulai dengan melewati rumah penduduk dan hutan tropis hingga menjelang siang. Sekitar jam 11 siang, Pos Bayangan pertama belum terlihat juga. Fix, kami nyasar. Kami merasa seperti telah mengelilingi hutan dua kali karena kembali ke tempat yang sama.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, kami memutuskan untuk istirahat sejenak. Salah seorang yang merasa bertanggung jawab mencoba cari-cari jalan di sekitar tempat kami istirahat. Ternyata Pos Bayangan atau shelter yang sengaja disediakan pengelola Taman Nasional tak jauh dari tempat kami istirahat.
Di pos 1, ada semacam berugak dan sumber air yang jernih. Kami beristirahat, makan siang, dan salat zuhur di tengah hutan itu. Si Masya, koki andalan kami memasakkan sayur dari dedaunan yang dia ambil di sekitar pos. Saya lupa daun apa namanya, yang saya ingat rasanya enak sekali. Sebuah kemewahan setelah kelelahan, menikmati hidangan di tengah hutan tropis.
Perjalanan dilanjutkan menuju pos 2, memasuki kawasan hutan yang cukup rapat. Kadang melewati rerumputan yang tinggi. Dari Pos 2, jalur menyeberangi sungai dan jalur tanjakan mulai terasa menuju Pos 3. Melewati tumbuhan pakis dan pepohonan yang tinggi. Pos 3 memiliki area datar yang lebih luas dibandingkan dua pos sebelumnya. Jadi, karena hari sudah mulai gelap, kami memutuskan untuk membuka tenda dan beristirahat di sini.
ADVERTISEMENT
Keesokan harinya, perjalanan menuju pos 4 dimulai. Jalur ini melewati ladang jelatang yang berlimpah. Tumbuhan ini jadi musuh pendaki, karena dapat menyengat kulit jika terkena. Perjalanan dari Pos 4 ke Pos 5 melewati jalur yang cukup menantang dan terus menanjak. Terdapat sumber air terakhir meskipun tidak sebersih sebelumnya.
Akan tetapi, dua orang teman kami entah menjelajah ke mana untuk mencari air bersih, yang jelas keduanya kembali dengan dua jerigen air yang bisa diminum sebagai bekal kami hingga puncak. Tiba di Pos 5, terdapat sungai yang lebar dan kering dengan banyak bebatuan besar. Lokasi ini sangat luas dan terbuka.
Perjalanan dilanjutkan dengan menyeberangi sungai dan jalur kembali naik. Terdapat banyak pohon cemara, rerumputan, dan pohon-pohon yang saya tidak tahu namanya. Pohon-pohon ini memiliki ranting-ranting yang indah. Dari sini, dapat dilihat kembali pemandangan di bawah yang sudah dilewati sejak kemarin.
ADVERTISEMENT
Hiportermia dan Kerasukan Khayalan
Hari sudah mulai gelap, kami berencana naik ke puncak besok pagi jam 2 agar dapat melihat sunrise di puncak Tambora. Jadi, kami membuka tenda untuk beristirahat di area sebelum jalur pendakian yang sangat menanjak. Malam itu sangat dingin, begitu digelar matras, saya hanya berbaring telungkup merapatkan kaki dan tangan. Diajak makan pun saya tidak sanggup bergerak.
Teman-teman saya sampai khawatir saya terkena hipotermia atau kerasukan karena seluruh tubuh gemetar dan lisan tidak berhenti bergumam tidak jelas. Saat itu, saya tidak bisa merasakan kaki saya lagi. Teman-teman perempuan duduk mengelilingi sambil memijiti seluruh tubuh saya. Bahkan ada juga yang membacakan Al-Quran.
Saya sangat berterima kasih kepada teman-teman yang memijiti kaki dan tangan saya hingga kembali terasa hangat. Tapi, entah kenapa saya merasa kesal dengan dua orang teman yang duduk mengelilingi saya dan membacakan Al-Quran. Salah satunya membaca surah Yasin. Saya merasa kesal karena mereka mengira saya kerasukan. Namun, saat itu saya tidak berdaya sedikit pun untuk protes.
ADVERTISEMENT
Saya tidak dapat berkata apa-apa karena seluruh badan gemetaran menahan dingin. Saya hanya bisa menunjukkan senyum seringai, dan bacaan Al-Quran mereka semakin kencang melihat saya tersenyum. Setiap mengingat momen itu, kami selalu tertawa.
Langkah-langkah Kecil
Pukul 2.30 pagi, kami memulai pendakian menuju puncak Tambora. Saya merasa perjalanan yang ini lebih berat dari sebelumnya karena jalur gelap, berpasir, dan sangat menanjak. Saya melangkah dengan semangat dan kecepatan penuh. Namun, karena terlalu bersemangat, tak lama saya kelelahan, beberapa teman melewati saya.
Akhirnya saya berjalan perlahan hingga matahari mulai terbit, dan saya tepat berada di bibir kaldera. Ya, ini belum sampai puncak. Puncak sebenarnya sudah mulai terlihat, beberapa teman sudah sampai di sana. Tapi, langkah kaki saya terasa makin berat dan puncak Tambora yang tampak dekat itu justru terasa makin jauh.
ADVERTISEMENT
Saya memutuskan untuk duduk menikmati matahari terbit di bibir kaldera, memandang jauh di kedalaman sana, mensyukuri Kuasa Tuhan, mensyukuri kekuatan yang diberikan-Nya sehingga saya bisa sampai di sini. Tampak asap kecil keluar dari dasar kawah. Sayup-sayup terdengar teman-teman memanggil dari puncak. Ya, mereka sudah sampai lebih dulu. Saya iri, mereka sudah foto-foto dengan latar matahari terbit.
Rasanya ingin punya ilmu terbang atau menghilang. Tidak, saya tidak boleh menyerah. Biar terlambat, saya harus sampai puncak. Saya mengeluarkan ponsel dan memotret matahari terbit dari tempat saya duduk. Dan terpikir untuk membuat video selama menyeret langkah menuju puncak itu agar tidak terasa lelah.
Sambil terus melangkah meski hanya langkah-langkah kecil yang mampu dilakukan, saya tidak berhenti bergumam meminta tolong. Kepada siapa saja, kepada Tuhan yang sudah jelas mendengar gumaman saya, kepada diri sendiri, dan kepada Ibu di rumah, karena rasanya saat itu ingin juga menghilang kembali ke rumah, ingin tidur.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, meskipun matahari sudah cukup tinggi, saya sampai juga di puncak Tambora. Salah seorang teman bernama Yuni menyambut dan memeluk saya dengan suka cita. Dan saya menangis. Yuni yang semalam bacain saya surat Yasin, yang takut saya kerasukan. Kami menangis mensyukuri pencapaian yang mungkin tidak seberapa bagi orang lain. Perasaan ini sulit dijelaskan. Mungkin perasaan haru, puas, lelah, campur jadi satu melihat betapa megahnya ciptaan Tuhan. Cawan raksasa yang menjadi saksi peristiwa terdahsyat sepanjang sejarah terhampar di hadapan kami. []