Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
9 Ramadhan 1446 HMinggu, 09 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Kontroversi Mulut Ahmad Dhani: Rasisme & Seksisme?
8 Maret 2025 12:19 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Zico Junius Fernando tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ahmad Dhani, seorang musisi dan sekarang adalah pejabat seorang publik di Indonesia, kembali menuai kontroversi akibat pernyataannya terkait proses naturalisasi pemain sepak bola. Sosok yang kini merupakan anggota DPR RI, menyampaikan 2 usul yang menjadi sorotan publik karena dianggap bernuansa rasial dan merendahkan perempuan.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah rapat kerja dengan Komisi X DPR RI dan Kementerian Pemuda dan Olahraga, hal pertama yang dia usulkan adalah agar pemain naturalisasi tidak hanya berasal dari yang berpenampilan “bule” dengan rambut pirang dan mata biru.
Dhani berpendapat bahwa pemain dengan ciri tersebut kurang cocok untuk Indonesia dan menyarankan federasi sepak bola Indonesia mencari pemain yang warna kulitnya lebih menyerupai mayoritas masyarakat Indonesia.
Dari perspektif hukum, pernyataan yang membatasi seleksi pemain naturalisasi berdasarkan ras atau penampilan fisik tanpa dasar objektif dapat dianggap sebagai bentuk diskriminasi rasial. Indonesia secara tegas melarang segala bentuk diskriminasi rasial melalui berbagai regulasi. Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut. Selain itu, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis menegaskan bahwa segala bentuk kebijakan atau tindakan yang mendiskriminasi seseorang berdasarkan ras atau etnis dilarang di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Diskriminasi rasial dalam konteks ini dapat merugikan individu yang memiliki kompetensi tetapi dikesampingkan karena faktor fisik yang tidak berhubungan dengan keahlian mereka. Prinsip dasar dalam proses naturalisasi atlet adalah peningkatan kualitas olahraga nasional, bukan faktor fisik atau kesamaan warna kulit. Negara-negara dengan sistem olahraga maju, seperti Prancis dan Jerman, telah membuktikan bahwa latar belakang rasial bukanlah faktor yang relevan dalam membangun tim nasional yang kompetitif.
Setelah itu, usulan keduanya tak kalah buruk, dia mengusulkan agar pemain sepak bola di atas usia 40 tahun yang dinaturalisasi dijodohkan dengan perempuan Indonesia, dengan harapan anak hasil pernikahan tersebut dapat dibina menjadi atlet profesional di masa depan.
Usulan perjodohan pemain sepak bola dengan perempuan Indonesia untuk melahirkan calon atlet profesional ini pun menimbulkan persoalan jika di lihat dari mata hukum yang berlaku di Indonesia. Pernyataan ini menunjukkan objektifikasi terhadap perempuan, yaitu memperlakukan perempuan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu.
ADVERTISEMENT
Padahal, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Konvensi ini menegaskan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam menentukan pilihan hidup, termasuk dalam urusan pernikahan dan reproduksi. Artinya, pernyataan Dhani ini mengabaikan hak perempuan sebagai individu yang bebas menentukan jalannya sendiri.
Kedua usulnya ini pun sangat dikhawatirkan, sebagaimana sosoknya yang merupakan figur publik. Dia memiliki pengaruh besar terhadap opini masyarakat.
Pernyataan diskriminatif yang dilontarkan oleh tokoh terkenal dapat memperkuat stereotip negatif dan memperburuk polarisasi sosial. Usulannya itu menyiratkan bahwa hanya ras atau etnis tertentu yang layak mewakili Indonesia dalam sepak bola. Dia dapat memicu rasaeksklusivitas dan mempersempit ruang bagi individu yang kompeten tetapi tidak sesuai dengan standar fisik yang subjektif.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks multikulturalisme, Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan keberagaman ras, etnis, dan budaya, mengajukan preferensi rasial dalam seleksi pemain naturalisasi berpotensi menghambat integrasi sosial dan bertentangan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Sementara dalam dunia sepak bola modern, prestasi lebih bergantung pada sistem pembinaan yang profesional dibandingkan dengan faktor biologis tertentu. Contoh nyata bisa dilihat dari keberhasilan negara-negara seperti Prancis, yang memiliki tim nasional dengan beragam etnis tetapi tetap mampu meraih prestasi tertinggi.
Di saat yang sama, objektifikasi perempuan yang disampaikan Dhani juga memperkuat budaya patriarki yang telah mengakar di Indonesia. Mengusulkan pernikahan sebagai sarana melahirkan atlet mengabaikan peran perempuan sebagai individu yang memiliki kebebasan dalam menentukan hidupnya sendiri. Pandangan seperti ini dapat memperburuk kesetaraan gender yang telah diperjuangkan oleh berbagai pihak untuk perempuan agar dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, pekerjaan, hingga hak politik memiliki kesempatan yang sama.
ADVERTISEMENT
Dalam etika komunikasi publik pun seorang figur publik memiliki tanggung jawab besar dalam setiap pernyataan yang disampaikannya. Kata-kata yang diucapkan oleh seorang figur terkenal tidak hanya mencerminkan pandangan pribadi, tetapi juga dapat memengaruhi opini masyarakat luas. Pernyataan yang tidak didasarkan pada prinsip keadilan dan kesetaraan dapat memperburuk ketimpangan sosial yang masih terjadi.
Pernyataan Dhani dalam era digital saat ini sangat berbahaya, sebab dapat dengan cepat menyebar melalui media sosial dan media massa. Pandangan diskriminatifnya itu bisa memperburuk stigma yang ada dan menghambat kemajuan sosial.
Oleh karena itu, figur publik seharusnya lebih berhati-hati dalam berbicara, memastikan bahwa setiap pendapat yang disampaikan tidak bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan keadilan sosial. Sebagai contoh, dalam banyak negara, figur publik yang melontarkan pernyataan diskriminatif sering kali mendapatkan kecaman luas dan bahkan menghadapi konsekuensi hukum maupun sosial.
ADVERTISEMENT
Misalnya, beberapa atlet dan selebriti di Eropa dan Amerika Serikat yang kedapatan mengeluarkan pernyataan rasis atau seksis kerap menerima sanksi dari komunitas maupun lembaga yang berwenang. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat yang semakin terbuka terhadap kesetaraan. Pernyataan yang bersifat diskriminatif tidak lagi dapat diterima.
Tak hanya itu, media memainkan peran penting dalam membentuk persepsi publik terhadap isu-isu sosial. Media yang hanya melaporkan pernyataan kontroversial tanpa analisis yang mendalam dapat berkontribusi pada penyebaran narasi diskriminatif di masyarakat. Media harus bertindak sebagai penyaring informasi yang tidak hanya memberitakan pernyataan figur publik, tetapi juga menyertakan analisis hukum dan sosial yang lebih komprehensif. Dalam kasus pernyataan Ahmad Dhani, penting bagi media untuk tidak hanya menyoroti aspek kontroversialnya, tetapi juga memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai dampak dari diskriminasi rasial dan objektifikasi perempuan. Dengan demikian, masyarakat dapat memahami isu ini dengan lebih kritis dan tidak terjebak dalam narasi yang berpotensi merugikan kelompok tertentu.
ADVERTISEMENT
Di saat yang sama, pemerintah juga harus berani untuk menegakkan koridor hukum yang berlaku. Selain memberikan efek jera, juga agar sosok yang melenceng jauh dari koridor itu tidak berjalan bebas tanpa menerima konsekuensi apa pun.
Ke depan penting bagi setiap figur publik untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan opini, memastikan bahwa setiap pernyataan yang dilontarkan tidak hanya mencerminkan pandangan pribadi tetapi juga mempertimbangkan aspek hukum, etika, dan dampak sosialnya. Masyarakat yang demokratis dan berkeadilan menuntut bahwa setiap individu diperlakukan secara setara tanpa diskriminasi berbasis ras atau gender.