Konten dari Pengguna

Memahami Konsep Pembuktian Dalam Perspektif Hukum

Nadief Rahman Harris
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga
5 Oktober 2024 10:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadief Rahman Harris tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aktivis hukum digital surabaya, sumber : pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Aktivis hukum digital surabaya, sumber : pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di tengah derasnya arus informasi di era disrupsi ini, kita, terutama sebagai masyarakat digital atau netizen, sering kali terjebak dalam kebingungan antara kebenaran dan kebohongan. Dalam konteks hukum, konsep pembuktian menjadi kunci utama untuk menentukan kebenaran suatu kasus. Proses hukum bergantung pada bukti yang valid dan prosedur yang terstruktur, yang bertujuan untuk memastikan keadilan. Bukti bisa berupa saksi, dokumen, atau barang, yang semuanya harus dikumpulkan dan diverifikasi sesuai dengan standar hukum tertentu, seperti beyond reasonable doubt dalam kasus pidana atau preponderance of evidence dalam kasus perdata.
ADVERTISEMENT
Dalam esainya, Yuval Noah Harari menjelaskan bahwa manusia semakin kesulitan membedakan antara informasi yang valid dan yang palsu, terutama di dunia digital yang dipenuhi oleh informasi. Disinformasi sering kali menyusup ke ruang publik, memengaruhi persepsi masyarakat tentang kebenaran. Ini sangat relevan dalam konteks hukum, di mana kesalahan informasi atau bukti yang tidak sah dapat menyesatkan proses hukum dan mengancam keadilan.
Pembuktian dalam hukum bukan sekadar mengumpulkan informasi lebih dari itu, ia adalah pencarian untuk menemukan kebenaran yang dapat dibuktikan dengan standar tertentu. Di era digital ini, kebenaran sering kali diabaikan karena adanya bias dan manipulasi informasi. Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai netizen untuk memahami asas-asas pembuktian yang berlaku secara umum.
ADVERTISEMENT
1. Actori In Cumbit Probatio
Asas ini, yang diatur dalam Pasal 163 HIR/283 RBg dan Pasal 1863 KUHPerdata, menyatakan bahwa pihak yang mengajukan gugatan (penggugat) bertanggung jawab untuk membuktikan kebenaran klaim atau tuduhannya. Jika seseorang mengajukan tuntutan, maka mereka harus menyediakan bukti untuk mendukung klaim tersebut. Pihak tergugat tidak diwajibkan untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah hingga penggugat berhasil membuktikan tuduhannya.
2. Negativa Non Sunt Probanda
Prinsip ini berarti "negatif tidak perlu dibuktikan." Dalam konteks hukum, pihak yang menegaskan sesuatu proposisi positif harus membuktikan kebenarannya, bukan sebaliknya. Dengan kata lain, seseorang tidak diwajibkan untuk membuktikan bahwa sesuatu tidak terjadi. Prinsip ini mencegah beban pembuktian yang tidak masuk akal, karena lebih mudah untuk membuktikan adanya suatu fakta daripada ketiadaannya.
ADVERTISEMENT
3. Secundum Allegat Iudicare
Asas ini, yang berarti "menghakimi berdasarkan apa yang diajukan dan dibuktikan," menyatakan bahwa hakim harus membuat keputusan hanya berdasarkan bukti dan argumen yang telah diajukan oleh para pihak dalam suatu perkara. Ini menjaga integritas proses hukum dan memastikan bahwa keputusan dibuat secara adil, hanya berdasarkan fakta-fakta yang ada di hadapan pengadilan.
4. Asas Pembuktian Terbalik
Dalam konsep ini, beban pembuktian dipindahkan dari pihak yang menuduh kepada pihak yang dituduh. Ini berarti bahwa terdakwa harus membuktikan bahwa mereka tidak bersalah. Asas ini sering diterapkan dalam kasus-kasus serius, seperti korupsi atau pencucian uang, di mana pembuktian secara langsung mungkin sulit dilakukan. Dengan pembuktian terbalik, terdakwa diharuskan memberikan klarifikasi atau pembelaan mengenai situasi atau aset yang dimilikinya.
ADVERTISEMENT
Harari juga membahas bagaimana teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan algoritma memengaruhi informasi yang kita konsumsi. Dalam konteks hukum, ini sangat relevan dengan bukti digital. Informasi dari internet, pesan elektronik, atau data digital lainnya sering digunakan sebagai bukti. Namun, tantangan dalam memverifikasi bukti digital semakin kompleks, terutama ketika teknologi tersebut dapat dimanipulasi untuk menciptakan informasi palsu.
Sistem hukum harus beradaptasi dengan tantangan baru ini, terutama dalam memverifikasi keaslian bukti digital. Di era disinformasi, manipulasi bukti menjadi lebih mudah, baik melalui media sosial maupun teknologi seperti deepfake. Praktik ini dapat membentuk opini publik atau memengaruhi jalannya kasus hukum sebelum bukti yang sah diproses di pengadilan.
Sebagaimana Harari menekankan pentingnya kemampuan berpikir kritis untuk menyaring informasi, dalam konteks hukum, literasi kritis juga sangat penting. Hakim, jaksa, dan pengacara tidak hanya dituntut untuk memahami bukti yang ada, tetapi juga harus mampu mengidentifikasi informasi yang mungkin telah dimanipulasi atau disajikan secara keliru.
ADVERTISEMENT
Peran masyarakat digital dalam menjaga kebenaran dan keadilan semakin penting. Pandangan Harari tentang disinformasi bisa dijadikan rujukan untuk menggambarkan bagaimana tantangan ini berdampak tidak hanya pada masyarakat umum, tetapi juga pada proses hukum. Kebenaran dalam hukum harus terus dipertahankan melalui prosedur yang ketat, meskipun di tengah gangguan informasi yang menyesatkan di era digital ini.
Lex prospicit, non respicit hukum melihat kedepan bukan ke belakang.