Konten dari Pengguna

Pandangan Tradisi Tegal Desa Jeruk: Apakah Makna Asli Masih Terjaga?

Cita Dzakira Amanda
Mahasiswa D3 Akuntansi Universitas Airlangga
3 Desember 2024 10:32 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cita Dzakira Amanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hasil Panen Warga Jeruk (Foto Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Hasil Panen Warga Jeruk (Foto Pribadi)
ADVERTISEMENT
Tegal Desa merupakan nama lain dari Sedekah Bumi, sebuah tradisi turun temurun yang telah lama melekat dan sudah menjadi bagian penting dalam keberlangsungan hidup masyarakat tertentu yang mempercayainya. Namun, seiring dengan perubahan zaman, esensi dari tradisi ini mulai mengalami pergeseran, menciptakan kekhawatiran akan keberlanjutan nilai-nilai budaya yang terkandung didalamnya.
ADVERTISEMENT
Tegal Desa yang sebenarnya adalah sebuah ritual yang sederhana namun memiliki makna yang mendalam. Pada dasarnya, dahulu Tegal Desa merupakan wadah perwujudan syukur warga setempat kepada Tuhan atas hasil bumi yang melimpah dan sekaligus doa sakral untuk memohon keberkahan bersama.
Para warga berbondong-bondong membawa hasil panen seperti padi, jagung, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Biasanya para warga akan mengeluarkan ide kreatif untuk mengkreasikan hasil panen mereka melalui bentuk atau cara penyusunan yang unik. Acara diawali dengan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh adat, kemudian dilanjutkan dengan pembagian hasil bumi yang telah dikumpulkan dan dibawa oleh para warga sebelumnya sebagai simbol rasa syukur dan kebersamaan. Tari-tarian dan musik tradisional, wayang, hingga ludruk menjadi bagian dari acara ini.
Nilai kebersamaan (Foto Pribadi)
Sesungguhnya tradisi ini sangat memberikan dampak yang positif bagi para warga sendiri. Tegal Desa menjadi momen berkumpulnya warga setempat sampai warga luar, sehingga silaturahmi dapat tetap terjaga. Untuk mewujudkan kelancaran, para warga harus bekerja sama untuk menciptakan suatu bentuk yang unik dari hasil panen, memasak makanan, hingga menjaga keamanan saat acara berlangsung. Dari sisi spiritual, kegiatan ini dapat menumbuhkan kesadaran bahwa segala rezeki berasal dari Tuhan. Melalui doa dan persembahan hasil bumi, masyarakat diajak untuk lebih peduli terhadap kelestarian sumber daya alam.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu dan semakin bertambahnya usia, penulis merasakan perbedaan praktik kegiatan Tegal Desa di beberapa tempat. Salah satu tempat yang dapat diambil sebagai contoh nyata dari perubahan yang terjadi adalah tempat tinggal penulis, yaitu di desa Jeruk, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya. Perbedaan yang terjadi berupa fokus dari tardisi ini yang telah berubah menjadi pesta atau hiburan meriah seperti pertunjukan musik dangdut atau konser modern. Generasi mudah sudah mulai salah mengartikan Sedekah Bumi yang sebenarnya. Sebagian besar dari mereka menganggap acara tahunan ini semata-mata hanya untuk bersenang-senang dari pada sebagai momen refleksi dan syukur.
Kirab Sedekah Bumi Desa Jeruk (Foto Pribadi)
Beberapa aspek Sedekah Bumi yang mengalami perubahan yaitu:
ADVERTISEMENT
1. Pakaian
Dulu: Peserta Sedekah Bumi mengenakan pakaian tradisional, seperti kebaya, batik, atau busana adat sesuai daerah masing-masing, untuk menunjukkan penghormatan terhadap acara sakral ini.
Perubahan Pakaian yang dikenakan (Foto Pribadi)
Sekarang: Banyak peserta yang mengenakan pakaian minim dengan percaya diri. Banyak dari mereka yang mengenakan jilbab, namun pakaian yang digunakan kurang pantas. Sebagian masyarakat yang berpartisipasi mengikuti arak-arakan menyalahgunakan kostum yang dipakai untuk memperagakan hal yang tidak pantas. Biasanya lelaki yang mengenakan pakaian wania minim dengan tingkah laku menyerupai Wanita.
2. Perilaku
Dulu: Masyarakat hadir dengan sikap penuh hormat dan khusyuk, terutama saat acara ritual seperti doa bersama.
Sekarang: Perilaku sebagian peserta cenderung kurang sopan, seperti bermain ponsel, mengobrol, atau tidak fokus selama prosesi adat. Beberapa bahkan hanya hadir untuk hiburan tanpa memahami makna acara.
ADVERTISEMENT
3. Kebersihan Lingkungan
Dulu: Acara Sedekah Bumi sering meninggalkan lingkungan yang bersih karena masyarakat memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga kebersihan. Acara lebih ramah lingkungan karena tidak melibatkan elemen yang mencemari udara. Fokusnya adalah pada kesederhanaan dan keasrian lingkungan.
Sekarang: Sampah plastik dan sisa makanan sering berserakan setelah acara, terutama jika ada konser musik atau bazar. Kurangnya kesadaran lingkungan memperburuk citra acara tersebut. Penggunaan flare atau kembang api yang dapat menciptakan polusi udara yang mencemari lingkungan dan mengganggu kenyamanan warga.
4. Bunyi dan Suasana Acara
Dulu: Suara yang mendominasi adalah doa, lantunan gamelan, atau seni tradisional lainnya, menciptakan suasana damai dan khidmat. Lagu-lagu tradisional, seperti tembang Jawa, sinden, atau musik daerah lainnya, menjadi bagian tak terpisahkan dari acara.
ADVERTISEMENT
Sekarang: Suara musik modern yang keras, seperti dangdut koplo atau DJ, sering mendominasi, sehingga menghilangkan nuansa sakral dan tradisional dari acara. Lagu-lagu modern dengan lirik yang kurang sesuai sering diputar, bahkan terkadang terlalu vulgar untuk acara budaya, sehingga mengurangi nilai edukatif dan kesopanan.
5. Kedisiplinan
Dulu: Prosesi dan acara Sedekah Bumi berlangsung tertib, dengan pengaturan waktu dan rute yang jelas untuk menghindari gangguan lalu lintas.
Sekarang: Kurangnya disiplin dalam pengaturan acara, seperti rute arak-arakan atau waktu pelaksanaan, menyebabkan kemacetan, terutama di daerah sempit atau dekat jalan raya.
6. Partisipan
Dulu: Hampir seluruh warga desa ikut serta, baik dalam persiapan maupun pelaksanaan acara, menunjukkan rasa memiliki yang tinggi terhadap tradisi ini.
ADVERTISEMENT
Sekarang: Partisipasi masyarakat, terutama generasi muda, mulai menurun. Mereka lebih tertarik pada aktivitas modern atau merasa tradisi ini tidak lagi relevan dengan kehidupan mereka.
1. Hilangnya kesakralan ritual
Fokus yang pada awalnya untuk doa beralih ke hiburan, sehingga menyebabkan memudarnya nilai spiritual dan acara doa yang seadanya tanpa memperhatikan penghayatan.
2. Meningkatnya beban ekonomi
Memakan biaya yang cukup besar, sehingga iuran yang diadakan pun lebih tinggi dan sifatnya wajib. Hal ini akan membebani warga yang kurang mampu. Karena kurangnya kesadaran, terjadinya peningkatan sampah plastik dapat menyebabkan biaya tambahan bagi pemerintah atau penyelenggara dalam membersihkan area setelah acara. Hal ini akan menjadi beban ekonomi dan merugikan masyarakat.
ADVERTISEMENT
3. Perubahan Persepsi Masyarakat
Penggunaan pakaian minim dalam acara sakral dapat menyebabkan kesalahpahaman di kalangan masyarakat. Beberapa orang mungkin merasa bahwa acara ini tidak lagi dihormati, sementara yang lainnya mungkin merasa nyaman dengan kebebasan berekspresi. Namun, hal ini dapat menyebabkan ketegangan antara pihak yang lebih konservatif dengan mereka yang lebih liberal.
4. Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan
Penggunaan Flare pada acara Sedekah Bumi (Foto Pribadi)
Sampah plastik yang dibuang sembarangan dan penggunaan bahan yang sulit terurai menyebabkan kerusakan lingkungan. Penggunaan flare atau kembang api dapat mencemari udara dan bisa berpotensi mengganggu kesehatan warga serta hewan di sekitar lokasi acara.
5. Konflik Sosial
Musik keras yang tidak sesuai dengan tradisi bisa memicu ketidaknyamanan bagi sebagian masyarakat, terutama mereka yang lebih memilih suasana yang lebih tenang dan damai sesuai dengan nilai budaya lokal.
ADVERTISEMENT
Sedekah Bumi merupakan tradisi yang mencerminkan kearifan lokal penuh makna. Namun, perubahan yang menggeser tradisi ini menjadi sekadar perayaan meriah tanpa esensi mendalam adalah hal yang memprihatinkan. Oleh karena itu, upaya pelestarian harus dilakukan agar tradisi ini tetap menjadi kegiatan yang sarat nilai spiritual dan sosial, bukan hanya sekadar hiburan yang kehilangan makna aslinya.
Dengan menjaga keaslian Sedekah Bumi, tradisi ini dapat terus menjadi warisan budaya yang membanggakan serta menjadi pengingat pentingnya menjaga keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Cita Dzakira Amanda
Mahasiswa Fakultas Vokasi, Universitas Airlangga