Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Baliho Mbak Puan dan Usangnya Komunikasi Politik
31 Juli 2021 15:34 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rivyan Bomantara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, di berbagai daerah di Indonesia sedang ramai baliho yang menampakkan wajah Puan Maharani dengan berbagai jargon-jargon kebangsaan. Seperti “Kepak Sayap Kebhinekaan” atau “Barang siapa ingin mutiara, harus berani terjun di lautan yang dalam”.
ADVERTISEMENT
Para politisi dikekang oleh kenyataan bahwa mereka tidak diperbolehkan berbahasa sederhana dengan diksi-diksi umum sebab hal tersebut akan berpengaruh pada persepsi yang melekat pada diri mereka. Hal ini membaut para politisi memperkuat kubunya dengan para ahli yang dalam menganalisa dan mempersiapkan komunikasi politik.
Di beberapa daerah di Jawa Timur salah satunya di Kota Malang, baliho Puan tersebar di sejumlah titik strategis seperti di tengah perkotaan dan di daerah sekitar pusat perbelanjaan. Hal tersebut tentu saja mengundang atensi publik.
Terlepas dari apa pun interest dari Ketua DPR RI dalam meluncurkan baliho-baliho tersebut, hal ini termasuk dalam komunikasi politik. Baliho-baliho tersebut berfungsi sebagai media marketing politik.
Dalam komunikasi politik, pesan merupakan kekuatan yang tak terabaikan, sebab pesan merupakan produk dari komunikasi politik. Pesan menentukan pemaknaan khalayak terhadap proses komunikasi.
ADVERTISEMENT
Pesan yang dikelola dengan baik sehingga mempunyai muatan atau isi dapat menciptakan persepsi serta opini publik dan dapat mendukung proses politik yang dilakukan. Pesan sendiri dapat dibedakan menjadi pesan utama (core message) dan subpesan.
Khalayak biasanya hanya memperhatikan pesan utama, tetapi tak jarang khalayak memperhatikan subpesan sebab dapat lebih berkepentingan atau sesuai dengan interest dirinya.
Positif atau negatifnya pemaknaan publik terhadap sebuah pesan tentu saja bergantung pada komunikator yang membungkus pesan tersebut. Pemilihan kata, kalimat, serta struktur pesan yang disampaikan tiap individu tentunya berbeda berdasarkan kecenderungan kognitif dan psikologis yang melatarbelakangi komunikator tersebut.
Dalam kasus baliho Puan Maharani – dengan asumsi bahwa pesan tersebut benar-benar ingin disampaikan oleh Puan sendiri tentunya – sendiri penulis dapat diidentifikasi kedua jenis pesan tersebut.
ADVERTISEMENT
Core message yang coba disampaikan oleh Puan adalah mengingatkan pada khalayak untuk menerima kebhinekaan sebagai kodrat bangsa Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari narasi “Kepak Sayap Kebhinekaan”. Puan, sebagai Ketua DPR RI muncul sebagai sosok yang mewarisi ideologi Bung Karno dan memiliki kekuasaan yang terlegitimasi.
Sebagai Ketua DPR RI, ia memiliki legitimasi untuk mengepakkan sayap. Adapun sayap yang ingin dikepakkan adalah sayap kebhinekaan, yang selama ini di samping menjadi wujud dari masyarakat Indonesia yang plural, seringkali pula menjadi penyebab perpecahan di Indonesia.
Sedangkan subpesan yang dapat kita baca dari baliho Mbak Puan adalah niat beliau untuk andil dalam kontestasi politik tahun 2024. Seperti yang diketahui, Puan kerap kali diusulkan sebagai calon presiden atau wakil presiden untuk Pilpres 2024. Dukungan tersebut muncul dari sejumlah politikus senior PDIP dan DPC PDIP.
ADVERTISEMENT
Sekalipun mewarisi darah Bung Karno, dalam kontestasi politik Puan tetap membutuhkan popularitas dan elektabilitas. Hal ini membuat Puan dituntut untuk terlihat smart dan menjadi komunikator publik yang cakap.
Sebagai subpesan, baliho tersebut bisa diartikan sebagai genderang perang yang ditujukan kepada siapapun yang ingin maju dalam kontestasi politik 2024, bahwa Puan Maharani telah siap untuk diusung entah sebagai calon presiden atau calon wakil presiden.
Baliho Puan yang sukses mengundang atensi publik dan menuai berbagai reaksi dari masyarakat umum maupun para ahli telah menujukkan bahwa baliho masih menjadi media komunikasi politik yang populer di Indonesia.
Padahal, dunia telah menyambut kehadiran media sosial sebagai new media dalam komunikasi politik. Internet telah menjadi sarana paling tepat yang digunakan untuk menyebarluaskan pengaruh.
ADVERTISEMENT
Jay G. Blumler dan Dennis Kavanagh menyadari kemunculan era yang disebutnya sebagai third age of political communication. Pada era ini, media cetak dan penyiaran kehilangan tempatnya sebab informasi, ide, dan berita politik yang ada dapat disebarkan dengan mudah lewat internet.
Generasi ketiga ditandai dengan perkembangan new media. Hal ini kongruen dengan bertambah kuatnya media sosial seperti social network site dan weblog interaktif. Media baru tidak terikat pada batas-batas geografis, selain itu media baru juga lebih cepat dalam menjaring feedback atau umpan balik.
Dalam new media, media-media baru seperti search engine, news aggregator, dan news filtering service merupakan opinion maker sebab informasi yang mereka sajikan di tengah derasnya arus informasi berseliweran di seluruh jaringan web secara masif.
ADVERTISEMENT
New media telah menawarkan banyak peluang untuk meningkatkan komunikasi eksternal secara efektif dan efisien. Namun tentu saja memiliki ancamannya sendiri. Misalnya cyber selfishness (keegoisan pengguna internet), kebohongan atau penipuan dalam komunikasi, dan maraknya industri hoaks atau berita dan tulisan yang tidak sesuai.
New media sendiri sebenarnya telah lama sampai di Indonesia, contohnya saat Jokowi dan Prabowo yang berhasil menggalang dukungan melalui sosial media sebagai salah satu medium utama dalam berkampanye.
Selain itu, saat pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu saat beberapa calon yang berkampanye di media sosial untuk mengalahkan incumbent memperoleh porsi yang cukup besar karena penetrasinya.
Namun, ekspansi baliho tetap menjadi salah satu medium yang paling populer bagi calon-calon yang ingin berkompetisi. Hal ini menunjukkan bahwa para politikus masih nyaman dengan cara kampanye dan marketing politik yang konvensional.
ADVERTISEMENT
Baliho Puan mungkin sekadar pembukaan dan penanda awal, selama tiga tahun ke depan sebelum 2024 tampaknya publik akan akrab dengan strategi dan taktik Puan. Menarik untuk ditunggu sejauh mana ekspansi baliho dapat tetap eksis di Indonesia, khususnya dalam konteks kontestasi politik.
Oleh Rivyan Bomantara, Pengurus HMI Komisariat FISIP UMM