Konten dari Pengguna

Urgensi Pendidikan Karakter di Tengah Era Disrupsi

Rivyan Bomantara
Account Executive di YVERMOR.
31 Maret 2021 11:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rivyan Bomantara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi disrupsi teknologi Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi disrupsi teknologi Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Disrupsi merupakan fenomena yang tidak disadari, namun dampaknya dapat dirasakan. Masyarakat kebanyakan menjalani perubahan yang ada tanpa memikirkan arah perubahan tersebut. Fenomena disrupsi sendiri terjadi dan berkaitan dengan berbagai bidang kehidupan, pendidikan, politik, dunia hiburan, sampai bidang sosial. Di Indonesia, contoh disrupsi yang paling nyata mempengaruhi pola hidup manusia adalah jasa transportasi online. Meskipun pada awal kemunculannya mengalami berbagai macam pro dan kontra, inovasi ini dapat dikatakan menggebrak cara berpikir lama yang kaku dan kolot. Masyarakat yang konservatif dengan cara lama bersikeras menolak inovasi semacam ini sebab hal tersebut dianggap sebagai ancaman terhadap posisi mereka.
ADVERTISEMENT
Jasa transportasi online sejatinya hanyalah bukti kecil dari disrupsi, keterpecahan-keterpecahan yang mengganggu sistem kehidupan telah lama terjadi namun baru disadari sekarang. Sagu misalnya, yang sejak dulu menjadi pangan pokok masyarakat namun semacam ditinggalkan hanya karena padi dianggap makanan kelas atas.
Dua tokoh yang mempopulerkan “Era Disrupsi” adalah Francis Fukuyama dan Clayton Christensen. Disrupsi di sini diartikan sebagai keterpecahan yang berdampak besar dan membawa perubahan yang mencakup dua arah: Ancaman dan inovasi.
Pada prinsipnya, Fukuyama dan Christensen tidak melihat disrupsi dengan pemahaman yang sama. Fukuyama cenderung melihatnya sebagai ancaman bagi tatanan sosial, sebaliknya Christensen justru melihat disrupsi sebagai kesempatan inovasi untuk kemajuan umat manusia.
Era Disrupsi menurut Francis Fukuyama dan Clayton Christensen
ADVERTISEMENT
Menurut sang futuris Francis Fukuyama, disrupsi merupakan ancaman yang dapat mengguncang tatanan sosial. Dasar dari pemikiran Fukuyama adalah perkembangan teknologi informasi yang semakin radikal. Fukuyama di sini tidak mengharamkan teknologi informasi, namun menurutnya tidak ada perkembangan positif sebagai dampak dari perkembangan teknologi yang pesat. Perkembangan ini memungkinkan penyempitan jarak suatu tempat ke tempat lain, memudahkan akses informasi yang membuat masyarakat menyerupai individu-individu yang menetap di hamparan daun kelor. Kelahiran masyarakat informasi (information society) ini justru ditandai dengan kondisi-kondisi sosial yang semakin memburuk.
Kekacauan sosial terjadi di mana-mana dan membuat orang merasa tidak nyaman, termasuk di kota-kota besar yang kerap dikatakan maju. Dampaknya sampai pada keluarga sebagai institusi sosial paling primer. Fukuyama memberikan contoh keluarga sebagai modal sosial paling penting, di mana kapasitas kepercayaan dari satu individu ke individu lainnya lebih kuat dibandingkan kepercayaan pada pihak lain.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, ia menghubungkan modal sosial dengan kapitalisme. Menurut pemikiran Joseph Schumpter, kapitalisme cenderung menghasilkan perbedaan-perbedaan kelas serta mengubah ekonomi pasar ke arah sosialis. Maka dapat dikatakan bahwa kapitalisme, merusak tatanan yang sudah ada. Kapitalisme bersifat sangat dinamis dan merupakan sumber kerusakan kreativitas yang dapat menghancurkan perubahan-perubahan pada komunitas manusia. Inilah sumber disrupsi menurut Francis Fukuyama.
Masalahnya lebih kepada teknologi dan perkembangannya. Kepentingan masing-masing individu berpartisipasi di dalamnya. Maka dari itu, bukan lagi perihal ekonomi, melainkan moral. Masyarakat tidak lagi bisa memanfaatkan modal sosial, yang menjadi perhatian justru peluang dan cara menguasainya tanpa peduli pada modal sosial sebagai investasi sosial dalam kehidupan masa depan. Pada intinya, yang diserang justru tatanan sosial yang paling primer dan merupakan modal besar dalam perkembangan suatu peradaban, yaitu keluarga.
ADVERTISEMENT
Sedangkan bagi Clayton Christensen, seorang guru besar di Harvard Business School, ada peluang besar untuk berinovasi di tengah guncangan disrupsi. Guncangan ini berkaitan dengan industry, bisnis, serta keuangan. Pemikiran Christensen dinilai kontekstual sebab lebih menyangkut perkembangan teknologi. Salah satu contohnya adalah kemunculan aplikasi-aplikasi smartphone yang berhasil menjawab berbagai kebutuhan manusia pada hari ini. Kemunculannya juga melengserkan para pelaku ekonomi konservatif yang gagal membaca perubahan yang terjadi.
Pelaku ekonomi yang sudah mapan merasa nyaman dengan sistem. Prosedur kerja serta usaha mereka dianggap telah cukup baik dan membuat mereka menutup relasi dengan pelaku usaha lain, akibatnya pelaku ekonomi konservatif cenderung defensive saat berhadapan dengan hal-hal disruptif.
Melalui internet, masyarakat dapat membeli barang dari tempat yang jauh. Ini semua tentang pemanfaatan perubahan serta kemajuan yang ada pada hari ini. Para pelaku ekonomi yang konservatif harus siap-siap hancur jika tidak mampu beradaptasi dengan perubahan. Inilah yang disebut Christensen sebagai disruption innovation. Semua berawal dari observasi, riset, dan ide. Selanjutnya, hasilnya akan terungkap dalam perkembangan baru dengan inovasi yang baru melalui pemanfaatan teknologi informasi yang telah tersedia.
ADVERTISEMENT
Dampak Era Disrupsi pada Ilmu Pengetahuan
Lantas apa pengaruh disrupsi terhadap ilmu pengetahuan? Seperti yang dikatakan diawal, disrupsi terjadi secara kait-mengait dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk pendidikan. Christensen memberikan contoh tempat ia mengajar, yaitu Harvard Business School (HBS). HBS selama ini selalu mengandalkan kekuatan jaringan, relasi, dan branding. Melalui cara itu, HBS tidak susah menarik perhatian mahasiswa-mahasiswa terbaik untuk bergabung. Namun, HBS kini dibuat panik dengan kehadiran perguruan-perguruan tinggi yang didirikan oleh perusahaan-perusahaan ternama. Orang-orang mencari perguruan tinggi yang sinkron dengan keterampilan mereka dengan anggapan dapat memuluskan jalur karier.
Pada kenyataannya, tidak cukup jika yang dilakukan hanyalah pemanfaatan teknologi. Pengetahuan butuh inovasi yang disruptif untuk menghadapi era ini. Yang perlu dipikirkan adalah merombak arsitektur agar tidak hanya memenuhi standar, tetapi justru menjawab kebutuhan mahasiswa pada hari ini. Ilmu pengetahuan yang dapat menghadapi era ini adalah ilmu pengetahuan dengan fokus utama pada sumber daya dan tata nilai dengan norma-norma dan integrasi moral.
ADVERTISEMENT
Fenomena yang paling marak pada hari ini adalah upaya memenuhi standar akademik dari perguruan tinggi. Demi mencapai akreditasi A, perguruan tinggi dan sekolah-sekolah berusaha meningkatkan prestasi serta mengembangkan administrasi yang modern dan professional. Padahal yang tidak boleh luput adalah integrasi moral. Hal tersebutlah yang kurang dalam era disrupsi ini. Pendidikan moral.
Persoalan Pendidikan Karakter di Indonesia
Dalam bukunya “Wawasan Pancasila: Bintang Penuntun untuk Pembudayaan”, Yudi Latif mengatakan bahwa pendidikan sebagai proses belajar menjadi manusia berkebudayaan yang merdeka sesuai dengan kodrat manusia itu berorientasi ganda: Memahami diri sendiri dan memahami lingkungan. Pendidikan harus memberi wahana bagi peserta didik untuk mengenali dirinya sebagai perwujudan khusus (diferensiasi). Proses pendidikan harus membantu peserta didik mengenali potensi dirinya sekaligus menempatkan potensi tersebut dalam konteks keseimbangan dan keberlangsungan jagat besar. Sedangkan keluar,harusnya memberi wahana kepada peserta didik untuk mengenali kemudian mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama. Kebudayaan sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama akan membentuk lingkungan sosial yang kelak menentukan apakah disposisi karakter seseorang berkembang ke arah baik atau buruk.
ADVERTISEMENT
Ketika membaca media massa dan media sosial pada hari ini, bahasa yang dominan yang seringkali ditemui adalah bahasa ekonomi dan bahasa politik. Bahasa ekonomi selalu bertanya “apa untungnya?” dan bahasa politik selalu bertanya “siapa yang menang?”. Menurut Rushworth Kidder, jika ingin maju secara budaya harus ada satu lagi bahasa yang mempertanyakan “apa yang benar?” dalam wacana publik. Bahasa ini jarang muncul sebab orang-orang tidak nyaman membicarakannya. Untuk menormalisasikan bahasa ini di masa depan, maka perlu adanya pendidikan karakter sejak dini.
Pendidikan karakter menjadikan dimensi etis dari individu dan masyarakat sebagai titik beratnya dengan memeriksa bagaimana standar-standar kebenaran dan kesalahan dikembangkan. Pengembangan karakter merupakan pendekatan holistik yang menghubungkan moral dengan ranah sosial. Pendidikan sifatnya sarat nilai, masyarakat menentukan apa yang bisa dan tidak bisa diteladani. Moral ditangkap, bukan diajarkan. Kehidupan peserta didik di ruang kelas selaras dengan makna moral yang membentuk karakter dan perkembangan moral.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, pendidikan karakter diperkenalkan dengan studi kepahlawanan. Peserta didik menelaah sifat-sifat yang menjelma dalam diri pahlawan. Padahal pada intinya, untuk menanamkan nilai-nilai dasar, peserta didik harus menemukan teladan dari semua aspek kehidupan lingkungan pendidikan. Bentuk pendidikan moral disampaikan terfragmentasi ke dalam bentuk pelajaran khusus tanpa upaya untuk mengintegrasikannya ke dalam seluruh mata pelajaran. Guru juga cenderung menyampaikan prinsip-prinsip moral umum tanpa menyediakan ruang dialogis kepada peserta didik untuk menyampaikan pengalaman empiriknya.
Pada akhirnya, era disrupsi bukanlah bencana yang harus dihindari. Disrupsi baiknya dilihat sebagai inovasi yang menggantikan seluruh sistem lama dengan cara baru. Ilmu pengetahuan pada hari ini telah dicemari oleh hal-hal seperti ijazah palsu, joki skripsi, dan lain-lain. Pendidikan seakan formalitas demi bukti kelulusan. Padahal, era disrupsi ini telah menawarkan perkembangan positif bagi ilmu pengetahuan seperti aplikasi pendidikan yang praktis atau kursus online gratis yang dapat dijumpai di mana-mana.
ADVERTISEMENT
Sebagai bangsa yang korup dengan moralitas berantakan, Indonesia mengalami permasalahan besar pada hari ini. Permasalahan pendidikan karakter menjadi persoalan yang tidak perlu ditanyakan lagi apa urgensinya jika ingin maju sebagai bangsa yang utuh. Mengutip kata-kata Yudi Latif, “Kejatuhan politik hanya kehilangan penguasa; kejatuhan ekonomi hanya kehilangan sesuatu; namun kejatuhan karakter akan membuat suatu bangsa kehilangan segalanya.”