Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Lebaran Atun: Bodoh Kok Dipiara?
30 Juni 2017 23:42 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
Tulisan dari Utomo Priyambodo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sebut saja namanya Atun. Perempuan gemuk asal Prembun. Kemarin sore ia bertemu salah seorang teman lamanya sewaktu kuliah. Butet namanya, perempuan kurus asal Medan.
ADVERTISEMENT
Saat berpapasan di sebuah stasiun, karena masih terhitung suasana Idulfitri, Butet mengucapkan, "Atun selamat lebaran ya!" Bukannya senang, wajah Atun malah merengut. Ia menahan napas dan kemudian memperhatikan perut dan pinggangnya sendiri. Raut mukanya masih tampak sebal hingga ia berpisah dengan Butet dan tiba di rumah.
Butet, sebagaimana kebanyakan orang keturunan Sumatra Utara, tidak bisa ataupun tak biasa melafalkan fonem 'e' seperti pada kata lemah. Ia terbiasa selalu melafalkan bunyi 'e' seperti pada kata lebar.
Akibatnya, hari itu suasana hati Atun mendadak buruk karena ia merasa tubuhnya (disebut) lebih lebar dan melar. Seharusnya kemarin-kemarin aku tidak makan ketupat, opor dan rendang terlalu banyak, pikir Atun dalam hati.
Setibanya di rumah sang emak menyuruh Atun makan karena sang anak baru saja pergi dari luar kota. Namun Atun menolaknya. Ia bertekad mulai mengurangi makan detik itu juga demi menurunkan berat badan.
ADVERTISEMENT
Suasana hati yang buruk Atun lampiaskan pada media sosial. Di sana ia merasa bisa mencurahkan segala emosi jiwa yang ada. Mulai dari rasa sebal karena tubuhnya disebut bertambah lebar, hingga kegeramannya kepada presiden yang bukan pilihannya ketika masa pilkada 2014 lalu. Lewat medos Atun merasa bebas menghujat siapa pun yang bahkan ia tidak kenal. Ustaz ini Syiah. Tokoh ini orang liberal. Pejabat itu komunis.
Banyak unggahan artikel dan foto yang ia bagikan ulang, berisi caci maki dan tuduhan serius kepada orang-orang yang tak Atun sukai. Kadang, manusia memang tak perlu bertemu dan kenal satu sama lain terlebih dulu untuk saling tidak menyukai.
Selama ini Atun memiliki kegemaran menyalin tulisan tertentu yang ia suka. Tulisan yang ia temukan pada blog, situs, ataupun grup chat yang sumbernya entah dari siapa itu, kemudian ia bagikan di halaman medosnya sendiri. Perempuan lulusan S1 sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Tengah itu merasa puas saat banyak orang lain ikut mengetahui adanya hal yang salah atau keliru pada tokoh-tokoh tertentu yang tak ia sukai.
ADVERTISEMENT
Seorang atau bahkan beberapa teman pernah mengatakan kepada Atun bahwa tulisan atau berita yang Atun bagikan adalah hoaks alias palsu. Atun pun sadar tulisan yang ia sebarkan itu salah karena sang teman mampu membuktikan mana yang seharusnya benar.
Salah seorang teman bahkan sudah beberapa kali meralat tulisan-tulisan hoaks yang Atun sebarkan hingga akhirnya ia pun merasa lelah untuk selalu mengingatkan Atun.
Malam ini, saat sedang asik melampiaskan emosinya karena merasa tubuhnya disebut bertambah lebar, pengguna akun medsos yang tidak Atun kenal mengirimkan pesan kepadanya. Isinya, ia menyebut Atun bodoh karena kerap menyebarkan berita hoaks. Membaca pesan itu, muka Atun berubah merah. Sungguh kesal ia disebut bodoh oleh seseorang yang tak ia kenal.
ADVERTISEMENT
Atun kesal disebut gemuk, tapi ia lebih kesal disebut bodoh karena menurutnya ia tidak seperti yang orang asing itu bilang. Maka beradu kata-kata dan caci-makilah mereka berdua hingga salah satu dari mereka merasa lelah dan kemudian memblokir akun medos yang lain.
Melihat kisah Lebaran Atun yang sama sekali tak terkesan damai dan menenangkan, apalagi menyenangkan itu, saya teringat kutipan di sebuah media sosial yang saya lupa dari siapa, yang isinya: Banyak orang segera menjalani program diet ketika disebut gemuk, tapi sedikit sekali yang segera belajar memperbaiki diri ketika disebut bodoh. Dan kebodohan, kalau kita perhatikan, bisa menjangkiti kepala siapa pun, tak peduli ia memiliki titel lulusan S1, S2, atau S3 sekalipun.
ADVERTISEMENT
Kebodohan nyatanya dapat bemula dari persoalan apa saja, bisa sentimen personal, sentimen agama, hingga yang paling banyak berkembang di Indonesia: sentimen politik.
Sentimen politik atau kekuasaan inilah yang mampu memecah belah suatu agama, suatu bangsa, bahkan suatu keluarga.
Berita pernah mengungkap, sepasang saudara bisa berkelahi hanya karena pilihan politik yang berbeda. Kerusuhan di sebuah negara bisa timbul karena keinginan memiliki pemimpin kekuasaan yang berlainan. Bahkan, Syiah dan Sunni ada misalnya, dikarenakan perbedaan kehendak dari dua golongan terkait siapa yang pantas menjadi khalifah Islam setelah Rasulullah meninggal.

Semuanya berawal dari persoalan kekuasaan.
Maka wajar tak sedikit orang menyebut persoalan kekuasaan politik memang begitu taik. Sebab, mereka mungkin melihat banyak orang lainnya, atau bahkan termasuk diri mereka diri, bisa bersikap begitu tak adil kepada orang lainnya karena persoalan ini.
ADVERTISEMENT
Dalam Al-Maidah ayat 8 Allah pernah berfirman, "Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil."
Jika boleh ditambahkan: Dan janganlah kebodohan yang bisa membuatmu berlaku tak adil seperti ini terus dipiara. Tahan-tahanlah diri jika dirimu ingin berlaku tak adil. Logika sederhananya, hendak bersikap adil saja masih berpeluang untuk salah, apalagi bersikap tak adil.
Ketidakadilan dalam menyebarkan tulisan di ruang publik adalah hal yang marak dijumpai kini sehingga mungkin banyak orang mulai memaklumi dan menganggapnya wajar. Jika fenomena ini dianggap lumrah dan lazim belaka, terutama oleh para pelakunya, semestinya orang seperti Atun tak boleh marah saat dibilang bodoh oleh orang yang tak ia kenal, sebagaimana dirinya kerap ikut-ikutan menyebut orang-orang yang tak ia kenal dengan julukan-julukan tak menyenangkan.
ADVERTISEMENT
Jika kamu adalah Atun atau tak sengaja menjadi Atun, perhatikanlah. Mungkin sebaran tulisanmu yang salah bisa diganti nanti. Mungkin unggahan hoaks-mu dapat diralat lain kali. Atau mungkin artikel baru berisi pembenaran atas keliru yang kamu buat sebelumnya dapat dibuat setelahnya.
Tapi bukankah sebuah tamparan tetaplah sebuah tamparan sekalipun setelahnya kamu mengusap-usap lembut pipi orang yang kamu tampar? Apalagi jika tamparan itu tak cuma sekali ataupun yang kamu tampar bukan satu orang meski tak sengaja, tidakkah kamu berpikir hal salah yang terulang itu adalah sesungguh-sungguhnya kebodohan yang tampak jelas (seolah) dipiara?

Padahal, almarhum Kasino dalam Warkop DKI pernah berpesan, "Bodoh kok dipiara!" Kambing dipiara bisa gemuk, kata Kasino. Dan setelahnya bisa dijual sehingga menghasilkan uang.
ADVERTISEMENT
Tapi kalau bodoh dipiara, bisa menghasilkan apa?