Sakit di Bulan Ramadhan dan Kehilangan Saat Lebaran

Konten dari Pengguna
21 Juni 2017 12:06 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Utomo Priyambodo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Ramadhan (Foto: Freepht)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ramadhan (Foto: Freepht)
ADVERTISEMENT
Saya pernah sakit di bulan Ramadhan tahun 2011 lalu. Sakit tifus. Gara-gara kecapekan dan tidak menjaga pola makan.
ADVERTISEMENT
Kecapekan itu saya duga karena pada saat itu saya tengah menjalani masa-masa ospek di kampus saya di Bandung. Memasuki awal Ramadhan ospek tetap berjalan. Barulah di akhir bulan Ramadhan menjelang Lebaran, ospek diliburkan.
Ospek libur, saya pulang ke rumah di Bekasi. Di rumah saya justru jatuh sakit. Gejala sakit tifus yang pernah saya derita kala masih berseragam putih-biru datang kembali tahun itu.
Pada hari di bulan Ramadhan itulah saya akhirnya terpaksa membatalkan puasa dan tidak puasa pada hari-hari berikutnya hingga tiba hari Lebaran.
Ramadhan tahun itu sungguh terasa aneh karena biasanya puasa saya tidak pernah bolong. Makan dan minum pada saat kebanyakan orang lainnya tengah berpuasa, membuat saya merasa ganjil.
ADVERTISEMENT
Di hari Lebaran rasa ganjil itu bertambah ketika saya juga terpaksa tidak ikut salat Idulfitri. Kondisi tubuh memang sudah tidak separah saat pertama kali saya dibawa rumah sakit akibat bakteri salmonella itu, tapi lemas masih terasa ketika saya tengah menjalani fase perawatan dan pemulihan di rumah saat itu.
Sakit hari ini mengingatkan saya pada sakit di bulan Ramadhan kala itu. Beberapa teman di kantor mengingatkan saat ini sudah dekat Hari Lebaran. "Masa ntar Lebaran sakit?" kata mereka.
Dokter yang memeriksa saya juga mengingatkan beberapa hari lagi sudah Lebaran. "Semoga cepat sembuh ya," katanya.
Ada suatu pikiran lain yang muncul di kepala saya: tentunya banyak orang lain yang juga tengah sakit di bulan Ramadhan ini. Bahkan banyak yang mungkin tengah sakit keras, kondisinya parah, atau bahkan sekarat.
ADVERTISEMENT
Saya pun mengusulkan kepada seorang teman bagaimana kalau kita membuat tulisan tentang kesedihan saat Lebaran.
"Pasti banyak tuh orang yang kehilangan salah satu keluarganya atau orang yang dicintainya karena meninggal terus nggak bisa kumpul lagi pas Lebaran. Apalagi kalau meninggalnya pas Ramadhan," kata saya.
Sebagai contoh paling mudah, saya menyebut kematian selebriti seperti Yana Zein dan Julia Perez yang terjadi di bulan Ramadhan tahun ini. Namun, yang hendak saya usulkan untuk diliput adalah kesedihan dan kehilangan orang-orang biasa saja yang bisa kita usahakan untuk dicari.
Mendengar usulan itu, si teman mengatakan dirinya tidak tega mewawancarai kesedihan seperti itu. Mungkin menurutnya, duka orang lain sebaiknya tidak perlu dieksploitasi.
ADVERTISEMENT
Padahal menurut saya, kejadian seperti itu jika dituliskan, bisa saja mengingatkan banyak orang yang membacanya untuk merenung menghargai waktu dan keberadaan orang-orang di sekitar mereka.
Orang-orang yang kita sayangi bisa saja hilang dalam sekejap mata.
Kejadian seperti itu nyatanya pernah juga terjadi pada salah satu keluarga saya. Mbah H, ayah dari Bapak saya yang tinggal di Solo, meninggal dunia pada salah satu hari Ramadhan yang dekat sekali dengan Lebaran. Tepat pada H-2 Lebaran.
Saya masih ingat betul Bapak yang tak pernah saya lihat menangis, akhirnya menangis ketika mendengar kabar tersebut.
Kami sekeluarga pun akhirnya pergi ke Solo dengan menggunakan mobil. Keluarga Pakle, adik Bapak, juga langsung berangkat menggunakan mobil masing-masing.
ADVERTISEMENT
Pada hari-hari itu tiket kendaraan umum, mulai dari pesawat hingga kereta biasanya sudah ludes terjual.
Menggunakan jalur darat, mobil kami terperangkap dalam kemacetan. Saat itu tepat merupakan momen puncak lalu lintas arus mudik.
Pakle lebih beruntung karena rumahnya, meski sama-sama di Bekasi, tidak lebih jauh ketimbang rumah Bapak dan lebih dekat dengan pintu tol. Selain itu, sopir Pakle adalah orang Jawa yang terbiasa ngebut dan mengetahui jalan-jalan pintas jalur Jakarta-Jawa Tengah.
Adapun sopir mobil Bapak waktu itu adalah orang Betawi yang tidak terlalu paham jalan dan begitu hati-hati dalam menyetir kendaraan.
Akibat terjebak kemacetan arus puncak mudik tahun itu, kami sekeluarga harus menghabiskan waktu tempuh untuk jarak Bekasi-Solo selama 24 jam.
ADVERTISEMENT
Raut muram Bapak muncul selama perjalanan. Coba bayangkan bagaimana rasanya dirimu tak bisa melihat wajah salah satu orang tuamu untuk yang terakhir kalinya.
Keluarga Pakle bisa mengikuti prosesi pemakaman Mbah, sementara keluarga Bapak tidak bisa ikut karena datang terlambat.
Kami sekeluarga hanya bisa berziarah ke kuburan Mbah tanpa bisa ikut mengurusi, menyalati, dan mengantar jenazahnya, maupun mengikuti proses penguburannya.
Dalam khazanah religiusitas, para dai sering mengatakan, bisa jadi kita tidak akan menemui Ramadhan tahun depan. Atau, bisa jadi ada keluarga atau kerabat kita yang sudah tiada pada Ramadhan dan Lebaran tahun depan.
Kata-kata itu adalah semacam pengingat agar kita memanfaatkan waktu hidup di dunia yang sedikit ini dengan sebaik-baiknya, sekaligus menghargai keberadaan orang-orang di sekitar kita supaya kita senantiasa berbuat baik kepada mereka.
ADVERTISEMENT
Maka, bagi yang memiliki orang tua di kampung halaman, jangan ragu segera pergilah mudik temui mereka. Kalian tak bisa memastikan pada Lebaran tahun depan orang tua kalian masih ada.
Pergilah mudik dengan hati-hati sebab keinginan untuk melepas rindu semacam itu kadang bisa pula pupus di tengah jalan. Misalnya, oleh kecelakaan maut di jalur mudik.
Berita semacam itu pernah beberapa kali saya baca. Ingin menjenguk, malah dijenguk. Ingin melayat, malah dilayat. Ingin pulang, justru berpulang.
Begitulah manusia, tak pernah bisa mengetahui segala misteri di masa depan.