Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.2
Konten dari Pengguna
Feminisme Tanpa Filter : Menyuarakan Ketidakadilan Gender dI Dunia Internasional
25 Februari 2025 12:41 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Putri Valentina Zahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam tiap detik perjalanan sejarah, suara perempuan, yang dulu terpinggirkan, kini semakin lantang terdengar. Dunia kini bergerak menuju pemahaman bahwa kesetaraan bukanlah sekadar impian, tetapi sebuah kewajiban dan keharusan. Dan di balik setiap perjuangan itu, ada sebuah narasi yang tidak bisa diabaikan, yakni narasi feminisme. Feminisme bukanlah sekadar gerakan. Ini adalah seruan untuk pembaruan, panggilan untuk sebuah dunia yang lebih inklusif, tempat di mana setiap individu, tanpa memandang gender, yang diberi ruang untuk berkembang dan dihargai. Dalam dunia Internasional, feminisme membuka mata dunia akan ketidaksetaraan yang membentang di setiap sudut dunia, memaksa kita untuk melihat ke dalam, merenung, dan bertindak.
ADVERTISEMENT
Di dalam dunia internasional, konsep gender bukan hanya tentang perempuan dan laki-laki. Namun lebih dari itu, ini adalah tentang bagaimana kekuasaan, kesempatan, dan harapan dipersepsikan dan dibagi berdasarkan identitas sosial yang dibangun oleh masyarakat. Ketidaksetaraan gender tidak hanya tercermin dalam ketimpangan ekonomi atau ketidakmampuan perempuan untuk mengakses posisi kepemimpinan, tetapi juga dalam keputusan-keputusan yang mengatur nasib dunia. Berapa banyak perundingan damai yang melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan? Berapa banyak kebijakan luar negeri yang mengedepankan hak-hak perempuan sebagai prioritas utama?
Di sinilah feminisme berbicara: suara perempuan perlu didengar, dan dunia internasional harus siap membuka ruang yang lebih adil bagi perempuan. Namun, feminisme tidak berhenti hanya pada perbedaan gender. Ada sesuatu yang lebih dalam dan lebih kompleks yang perlu dipahami yakni interseksionalitas. Konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw ini mengingatkan kita bahwa pengalaman penindasan seseorang tidak hanya ditentukan oleh satu faktor identitas, seperti jenis kelamin. Ia dipengaruhi oleh rangkaian identitas lainnya, seperti ras, kelas sosial, etnisitas, orientasi seksual, dan banyak lagi. Konsep Interseksionalitas ini bisa dipahami lebih mudah, dengan analogi sederhana ini ibaratnya kamu sedang membuat sebuah kue tentu membutuhkan bahan, seperti telur, gula dan coklat. Bahwa setiap bahan ini mewakili satu aspek identitas seseorang misalnya jenis kelamin, ras, dan status sosial. Jika dalam pembuatan kue ini hanya ada satu bahan seperti tepung saja maka kue nya akan sangat terbatas dan tidak sempurna menjadi sebuah kue. Namun ketika semua bahan dicampur maka kue akan menjadi lebih kompleks dan unik. Konsep interseksionalisme ini mengajarkan kita seperti pada resep kue, kita harus melihat bagaimana aspek identitas seseorang bekerja bersama. Setiap orang memiliki resep identitas yang unik dalam perjalanan hidup mereka. Sehingga untuk memahami dari pengalaman seseorang, kita harus melihat “bahan” itu sebagai identitas tidak hanya melalui satu aspek saja.
ADVERTISEMENT
Melalui lensa interseksionalitas, kita belajar bahwa perempuan di berbagai negara mengalami ketidaksetaraan dengan cara yang berbeda dan pengalaman yang berbeda. Seorang perempuan dari negara berkembang yang berjuang menghadapi kemiskinan, misalnya, mungkin berjuang tidak hanya untuk hak pilih atau akses pendidikan, tetapi juga untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang mengancam hidup mereka. Melalui interseksionalitas ini memberi kita wawasan tentang bagaimana globalisasi, kebijakan internasional, dan ketidaksetaraan global saling berinteraksi, membentuk dunia yang penuh tantangan bagi banyak perempuan.
Dalam pengalaman feminisme yang telah berkembang ini, feminis berkembang dari jaman ke jaman yang membentuk feminis itu sendiri. Gerakan feminisme sendiri mengalami evolusi yang signifikan seiring waktu. Gelombang pertama feminisme pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 fokus pada hak suara perempuan dan kesetaraan hukum dasar. Gelombang kedua pada 1960-an hingga 1980-an menyoroti hak perempuan atas tubuh mereka sendiri, seperti kontrol atas reproduksi dan kesetaraan di tempat kerja.
ADVERTISEMENT
Gelombang ketiga, yang muncul pada 1990-an, membawa perhatian pada keberagaman identitas perempuan dan memperkenalkan isu-isu interseksionalitas. Feminisme tidak lagi hanya berbicara mengenai perempuan dari latar belakang sosial tertentu, tetapi juga mengangkat suara-suara yang terpinggirkan, seperti perempuan dari ras minoritas, LGBT+, dan mereka yang hidup dalam kemiskinan.
Saat ini, gelombang keempat feminisme muncul dengan fokus pada masalah global yang lebih luas, seperti kesetaraan di dunia digital, hak perempuan di tengah perkembangan teknologi, dan gerakan anti-kekerasan seksual. Gerakan ini juga semakin dipengaruhi oleh media sosial, yang memungkinkan perempuan untuk bersuara secara lebih bebas dan melawan berbagai bentuk penindasan dengan lebih efektif.
Bukti bahwa ketidakadilan gender di dunia internasional ini terlihat dari maraknya isu perempuan yang menjadi korban. Dimana bukti nyata dari itu semua? Lihat aja apa yang sudah banyak terjadi seperti di negara negara berkembang seperti India, Brazil, dan beberapa bagian Afrika yang masih marak dengan kasus pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan perdagangan perempuan yang tinggi. Hal ini terjadi dan berlindung dengan sistem budaya yang membenarkan kekerasan terhadap perempuan dengan dalih “tradisi” atau “aturan sosial”. Di Negara seperti India masih banyak lonjakan kasus pemerkosaan tak hanya itu di Indonesia sendiri dari jaman ke jaman masih terjadi banyak kasus yang serupa. Banyak kasus yang terjadi namun sistem hukum masih saja lambat dalam menuntaskan kasus kasus kekerasan dan ketidakadilan gender ini.
ADVERTISEMENT
Di Belahan dunia lain, seperti negara negara maju sekalipun masih terdapat kekerasan pada perempuan yang menjadi kontra dan masalah besar yang jarang dibahas. Ribuan kasus datang berbondong bondong namun tidak terungkap dan hukum pun tidak kuat dalam melindungi korban. Ini fakta yang sulit untuk dibantah, kekerasan pada perempuan di negara maju dianggap lebih progresif dengan permasalahan tidak hanya soal fisik, namun juga kekerasan pada mental, dan emosional yang sering kali sulit dikenali. Intimidasi dan pelecehan verbal yang terus menghancurkan kesehatan mental perempuan tanpa disadari.
Tapi dibalik semua ini, ada yang patut kita banggakan dimana perempuan tidak tinggal diam dan semakin berani untuk bersuara. Banyak komunitas perempuan dan para aktivitas yang tidak takut menjadi pusat perhatian demi sebuah perubahan. Permasalahan ini bukan sebagai masalah perempuan semata, namun sebagai masalah kemanusiaan yang harus diselesaikan bersama. Yang menjadi poin penting adalah jangan terus untuk menutup mata atau menjadikan masalah ini adalah masalah “mereka” saja. Kekerasan, ketidakadilan, dan ketimpangan terutama pada perempuan menjadi isu lokal dan global yang mempengaruhi kita semua.
ADVERTISEMENT
Kita harus peduli dan tidak hanya menjadi penonton saja. Aksi nyata memperkuat untuk dunia yang lebih baik, tidak hanya untuk perempuan saja tapi juga untuk kesejahteraan manusia ini. Kita harus menjadi bagian dari perubahan besar ini.
Feminisme tanpa filter disini tidak hanya berbicara soal kesetaraan, ini adalah soal meruntuhkan tembok tembok ketidakadilan yang sudah lama dibangun. Didunia yang semakin kompleks ini, kita tidak bisa hanya diam, dan menjadi penonton saja. Perempuan dan setiap individu yang memperjuangkan hak mereka sudah waktunya menjadi sorotan, tanpa takut dan tanpa kompromi. Ini bukalah soal setuju atau tidak setuju, ini adalah soal hak dasar manusia. Kalau bukan kita yang menyuarakan di zaman yang kian berkembang pesat ini, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Feminisme ini bukan tren, namun sebuah revolusi yang tidak pernah akan berhenti sampai dunia benar benar adil. Mari terus suarakan, terus perjuangkan dan terus hancurkan batas batas yang menghalangi kita dari keadilan dan kesetaraan sejati, suarakan #FeminismeTanpa Filter.
ADVERTISEMENT