Konten dari Pengguna

Suara dari Toko Buku Kecil di Selatan Jogja

Ade Prida Prawardhani
Mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta
16 Juni 2023 20:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ade Prida Prawardhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Toko buku Bawabuku. Foto: dok. pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Toko buku Bawabuku. Foto: dok. pribadi
ADVERTISEMENT
Andy dan Inun baru saja merapikan buku-buku yang baru datang dari penerbit saat kami berkunjung ke Bawabuku, salah satu toko buku independen yang berlokasi di Selatan Jogja. Tidak sulit menjangkau toko buku ini, lokasinya masih satu area dengan lokasi wisata Tamansari, berada satu atap dengan Arka Coffee and Space. Andy buru-buru menyapa kami, “Selamat datang di Bawabuku.” begitu sapanya hangat, menghentikan sejenak rutinitasnya menata buku-buku yang tidak sedikit itu.
ADVERTISEMENT
Toko bukunya terbilang kecil. Di lokasi utama, hanya terdapat satu rak menjulang tinggi dan satu rak buku yang lebih kecil. Buku-buku yang disusun berdasarkan penerbit, susunan yang dipilih untuk memudahkan mereka mengingat letak koleksinya. Baik Andy maupun Inun mulai memperkenalkan apa saja buku yang ada di rak mereka, “Sebagian besar koleksi kami datang dari penerbit-penerbit independen juga. Penerbit kecil. Paling jauh ada dari salah satu penerbit independen di Medan, namanya Penerbit Umbara.” Obrolan mengalir begitu saja, sebuah obrolan yang cukup tenang, di tengah-tengah lokasi wisata yang begitu ramai.

Obrolan Hangat antara Pengunjung dan Bookshop Keeper

Sambutan hangat oleh bookshop keeper selalu menjadi hal pertama yang kami rasakan ketika mengunjungi Bawabuku. Saat pertama kali berkunjung, kami langsung disambut dengan baik oleh Inun, Gading, dan Andy, orang-orang yang akan kalian temui ketika di Bawabuku. Kami langsung bercerita tentang banyak hal, mulai dari kisah Bawabuku itu sendiri hingga rencana berbagi stiker meme di WhatsApp group, bermacam-macam hal bisa menjadi topik pembicaraan.
ADVERTISEMENT
Beberapa kali berkunjung, kami menyadari bahwa Bawabuku memiliki keunikan tersendiri, yaitu interaksi. Setiap kali pengunjung datang, bookshop keeper selalu menyapa dengan senyum hangat. Kemudian tak lama dari itu, pengunjung sudah bercerita panjang lebar. Rupanya, dari latar belakang, cerita, dan pengalaman yang berbeda antara satu pengunjung dengan pengunjung lain itu, bookshop keeper mampu mengerti mereka dan apa yang mereka cari di sini, kemudian mampu merekomendasikan buku yang sesuai dengan keinginan pengunjung.

Memiliki Proses Kurasi yang Subjektif

Buku Resep Kaliurang oleh Rara Sekar, Menari di Atas Kuburan Massal oleh Rachmi Diyah Larasati, hingga buku Queer Menafsir oleh Amar Alfikar tersedia di Bawabuku. "Banyak sekali ragam buku di sini," batin kami. Secara sekilas kami menangkap bahwa sastra, seni, dan kajian gender, adalah jenis buku yang ada di sini. Namun rupanya dibalik itu semua, ada isu-isu yang secara implisit diangkat dalam koleksi buku Bawabuku.
ADVERTISEMENT
Penasaran, kami menilik lebih lanjut ke koleksi buku-buku di Bawabuku, pada rak buku paling bawah, kebanyakan buku memiliki tema gender, seksualitas, feminisme, dan tema-tema lain yang tidak umum dijual di toko buku lain, buku-buku dengan tema yang seringkali dianggap tabu.
Bawabuku rupanya mengkurasi buku-buku yang bisa masuk ke toko dengan banyak pertimbangan, misalnya karena penerbit yang memang jadi kesenangan pengelola Bawabuku, penerbitnya sudah mengurasi naskah-naskah yang mereka terbitkan sendiri, suka penulisnya, kadang suka cover bukunya, bahkan ketika belum pernah melihat model cover kertas yang dipakai ataupun jenis kertas yang dipakai pun bisa menjadi pertimbangan. Dari situlah Inun menyebutkan bahwa memang proses kurasi yang terjadi, bisa demikian subjektif, tergantung pada selera masing-masing pengelola toko buku kecil seperti dirinya.
ADVERTISEMENT

Memberi Ruang dan Keberpihakan Bagi Perempuan

Di pertemuan pertama kami, pengelola Bawabuku langsung menawari kami untuk melihat salah satu kegiatan yang akan dilaksanakan di Bawabuku, yakni diskusi buku. Kami mengira bahwa kegiatan ini memang hanya untuk membahas tentang buku yang baru-baru saja rilis atau buku populer di toko, namun ternyata ada cerita di balik diskusi-diskusi yang selama ini dilakukan.
Bincang buku puisi "Mengapa yang Muda tak Peka dengan Duka". Foto: dok. pribadi
Bawabuku senantiasa memberi keberpihakan kepada teman-teman dalam kelompok marjinal. Di luar sana, masih banyak kendala dan stigma yang hadir di masyarakat, maka dengan adanya Bawabuku yang mengangkat isu-isu tabu tadi diharapkan mampu menyuarakan suara teman-teman dalam kelompok marjinal, misalnya membicarakan wacana kesehatan seksual dan reproduksi bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya.
ADVERTISEMENT
Selama kami berjalan bersama Bawabuku, kami menyadari bahwa Bawabuku bukan hanya “toko yang menjual buku” namun juga mengajak kami bersuara dengan buku sebagai mediumnya. Dalam mendukung suara kelompok rentan, khususnya adalah perempuan, kegiatan diskusi buku yang selama ini telah dilakukan di Bawabuku hampir semuanya mengundang narasumber perempuan karena bagi mereka, karya/pengalaman perempuan penting untuk diberi tempat.
Kebahagiaan bagi Bawabuku adalah ketika teman-teman yang diundang menjadi pembicara dalam diskusi mulai melebarkan sayapnya, mereka terus memperpanjang karirnya, dan banyak orang membicarakan karyanya, yang berarti tugas dari toko buku untuk memberi suara dan memberi tempat untuk bersuara telah terpenuhi.
Inun sendiri berharap bahwa akan semakin banyak toko buku independen yang hadir, tidak hanya di Jogja namun juga seluruh Indonesia. Ia juga berharap agar antar toko buku independen saling berjejaring, memiliki satu suara, saling membicarakan dan memecahkan masalah di industri literasi.
ADVERTISEMENT