Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Representasi Minoritas dalam Film NGENEST
4 Januari 2023 10:51 WIB
Tulisan dari Vanya Kirana Nuraini Arda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dewasa ini, media benar-benar berperan penting dalam kehidupan masyarakat. Media kini seakan dianggap sebagai komponen penting dalam mempengaruhi opini dalam masyarakat. Diantara media-media yang ada, film menjadi salah satu media yang cukup signifikan dalam mempegaruhi pola pikir masyarakat terhadap hal-hal yang ada di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Film memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat sebagai hiburan karena dapat menyampaikan pesan yang lebih efisien. Melalui konsep sajian audio visual, pesan-pesan yang ada dalam sebuah film dapat diterima dengan mudah oleh dua indra manusia, yaitu mata dan telinga. Oleh karena itu, kreator film berlomba-lomba untuk membuat sebuah karya film yang berkualitas sehingga penonton dapat merasakan isi pesan dari film tersebut.
Pada dasarnya, alur cerita film dibuat berdasarkan kehidupan sosial masyarakat yang menggambarkan karakter orang yang berbeda-beda, menggambarkan suatu tempat, dan juga budaya. Secara tidak langsung, penggambaran karakter ini akan mempengaruhi penonton untuk memahami bagaimana pesan-pesan disampaikan melalui tanda atau simbol dalam setiap adegannya. Representasi yang ditunjukkan dalam film inilah yang dapat menimbulkan efek positif maupun negatif kepada penonton.
ADVERTISEMENT
Salah satu film yang cukup menarik untuk dibahas adalah film NGENEST: Kadang Hidup Perlu Ditertawakan. Film ini merupakan sebuah film komedi Indonesia hasil adaptasi dari trilogi novel yang berjudul sama karya Ernest Prakasa. Adegan-adegan dalam film ini merepresentasikan tentang etnis Tionghoa sebagai minoritas.
Film NGENEST ini menceritakan kisah hidup Ernest Prakasa, seorang pria keturunan Cina yang merasakan beratnya terlahir sebagai minoritas yang selalu dibully oleh teman-teman sekolahnya sejak ia duduk di bangku sekolah dasar. Ia memiliki penampilan fisik yang cukup mencerminkan orang Cina kebanyakan, yaitu kulit putih dan mata sipit. Ketika naik ke bangku SMP, ia mencoba berusaha berkawan dengan para pembully dengan harapan tidak akan jadi korban bully jika berhasil berbaur. Sayangnya, cara ini pun gagal. Akhirnya, Ernest berpikir untuk memutus mata rantai keturunan Cina dengan cara menikahi seorang perempuan pribumi agar dapat memiliki keturunan pribumi.
ADVERTISEMENT
Berikut ini beberapa adegan-adegan dalam film NGENEST yang mencerminkan representasi etnis Tionghoa sebagai minoritas di masyarakat.
1. Pembukaan film NGENEST digambarkan dengan adegan seorang anak laki-laki sedang berjalan sambil menunduk, kemudian terdapat 2 anak lain yang berteriak “Cina! Mau kemana lo?!” kepadanya. Adegan ini seolah menjadi gambaran awal dari terjadinya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di masyarakat.
2. Adegan ketika Ernest berjalan menuju ruang kelas untuk masuk ke kelas 1B. Kemudian, di depan pintu kelas, terdapat 4 anak yang sedang berbincang, yaitu Faris, Bakri, Bowo, dan Ipeh. Dalam adegan ini, Bowo dan Bakri mengatakan “Woi, ada anak Cina tuh!” sambil tertawa. Pada saat Ernest sudah tiba di depan ruang kelas, ia mulai memperkenalkan dirinya. Setelah Ernest memperkenalkan dirinya, Faris memperkenalkan dirinya dan teman-teman lainnya. Bowo dan Ipeh bertanya kepada Ernest apakah yakin bahwa Ernest akan masuk di kelas 1B, bukan 1C “Cina” atau “cipit” (sipit). Kata-kata tersebut dilontarkan sebagai guyonan kepada Ernest karena ia merupakan anak keturunan etnis Tionghoa yang pada dasarnya memiliki ciri-ciri fisik seperti berkulit putih dan memiliki mata yang sipit.
ADVERTISEMENT
3. Adegan ketika Ernest memasukkan dompetnya ke dalam saku celana, kemudian teman-temannya yang berteriak memanggil Ernest dengan sebutan “Cina” dan kemudian minta ditraktir. Tak hanya makanan yang diinginkan, Bowo juga meminta motor bebek. Adegan tersebut menunjukan bahwa Ernest adalah orang kaya yang mampu membeli apapun yang diinginkan, seperti anggapan bahwa orang Tionghoa adalah seorang pedagang, pelit, dan kaya.
4. Adegan ketika Meira dan kedua orang tuanya sedang berkumpul di ruang tengah sambil berbincang. Kemudian, papa Meira memberikan nasihat untuk tidak melanjutkan hubungannya dengan Ernest. Dalam adegan ini, Meira mengatakan bahwa papanya pernah bangkrut gara-gara ditipu oleh orang Cina. Anggapan bahwa orang Cina adalah seorang penipu oleh papa Meira timbul karena pengalaman pahit yang dialaminya.
ADVERTISEMENT
5. Adegan ketika Ernest sedang makan malam bersama kedua orang tua Meira. Kemudian, narator sebagai sudut pandang Ernest mengatakan “Pelan-pelan, bokap Meira juga mulai baik sama gue, mungkin sebagai ayah dia juga seneng kali ya liat anaknya bahagia,”. Kalimat tersebut menunjukan bahwa papa Meira yang sebelumnya kurang setuju dengan hubungan yang dijalin anaknya dengan Ernest karena Ernest adalah seorang keturunan Tionghoa kini mulai setuju. Papa Meira mulai menerima dan menyadari bahwa tidak semua orang Tionghoa itu penipu, seperti apa yang dipikirkan sebelumnya.
Dari beberapa adegan yang sudah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa banyak sekali representasi etnis Cina yang negatif di masyarakat. Oleh karena itu, kita sebagai bangsa Indonesia yang memiliki banyak suku dan budaya harus mempelajari dan memahami makna dari multikulturalisme. Selain itu, sebagai kaum mayoritas harus selalu bisa menghargai banyak perbedaan yang ada dari berbagai kaum minoritas yang ada di Indonesia agar kita dapat hidup rukun berdampingan satu sama lain.
ADVERTISEMENT