Konten dari Pengguna

Femisida dalam Bayang-Bayang Genosida di Palestina

Velma Anindya Hapsari
Akrab dipanggil Velma. Saya merupakan mahasiswi semester 4 Ilmu Politik di Universitas Indonesia yang memiliki minat dalam isu hak minoritas.
26 Maret 2025 10:43 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Velma Anindya Hapsari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan Palestina yang sedang memeluk seorang anak perempuan. Foto: Shutter Stock/Anas-Mohammed
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan Palestina yang sedang memeluk seorang anak perempuan. Foto: Shutter Stock/Anas-Mohammed
ADVERTISEMENT
Puing-puing bangunan bernoda merah terserak di berbagai kawasan di Palestina. Mungkin, sekumpulan anak-anak sedang bermain cat pada siang itu hingga mengotori rumah dan bangunan. Namun, mengapa mereka tidak kembali ke rumah untuk menyantap makan malam dengan suasana yang hangat bersama ibu? Tidak ada daging untuk dimakan dan tidak ada lagi kehangatan di ruang makan. Kini, daging mereka berserakan di jalanan. Para zionis tidak segan-segan menarik pelatuk dan menjatuhkan bom dari atas langit untuk membasmi mereka bak membasmi hama di ladang. Sampai sekarang, mereka juga belum pulang dan para zionis terus menari di atas darah yang mengalir.
ADVERTISEMENT
Beberapa anak mati sendirian dan beberapa anak mati dalam dekapan sang ibu. Israel benci anak-anak Palestina. Jangan ada anak-anak yang tersisa, mereka kelak akan menjadi penerus bangsa yang membangkang. Jangan biarkan jumlah mereka bertambah, bunuh juga rahim yang melahirkan insan-insan pemberontak. Kebencian ini mengakar dan menjalar kepada perempuan-perempuan di Palestina. Tujuan mereka adalah membasmi etnis Palestina dan cara keji yang dapat dilakukan adalah buru dan bunuh mereka yang dapat menghasilkan keturunan Palestina, yaitu para perempuan. Mereka membunuh perempuan di Palestina tidak hanya karena mereka adalah orang Palestina, tetapi juga karena mereka adalah perempuan.
Kolonialisme: Sumber Segala Penindasan
Konflik telah berlangsung dari sebelum 7 Oktober 2023. Sejak abad ke-19, pendirian negara Yahudi di tanah Palestina yang dikuasai Turki Utsmani saat itu telah direncanakan. Pada abad ke-20, tepatnya pada 2 November 1917, Deklarasi Balfour dicetuskan oleh Arthur Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris, yang mendukung negara Yahudi di Palestina. Deklarasi ini membuat para bangsa Yahudi berbondong-bondong datang untuk tinggal di wilayah Palestina. Imigrasi yang berlangsung secara masif ini juga dipengaruhi oleh kemenangan Inggris pada Perang Dunia I. Palestina diambil alih oleh Inggris.
ADVERTISEMENT
Perlawanan demi perlawanan dilakukan dengan darah yang tumpah di tanah sendiri. Palestina dijajah oleh bangsa Yahudi. Mereka dibantai, dibunuh, dan diusir dari tanahnya sendiri. Pada akhirnya, 14 Mei 1948, negara Israel dideklarasikan telah berdiri dari hasil para tangan besi. Sejak hari itu, pembantaian dan genosida terhadap orang-orang Palestina kerap terjadi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa hampir 70% dari korban genosida di Gaza adalah perempuan dan anak-anak. Hingga hari ini, mereka yang masih hidup masih terus melawan kekuatan warisan kolonialisme yang tak kunjung usai. Sejak zaman kolonial, wilayah Palestina telah menjadi objek permainan kekuatan internasional. Namun, kini, objektifikasi diperluas oleh karena warisan kolonial, yaitu kepada perempuan yang tubuhnya hanya dianggap sebagai medan perang.
ADVERTISEMENT
Tubuh Kami, Milik Kami Sendiri
Perempuan Palestina kehilangan kemerdekaan atas tanahnya dan tubuhnya sendiri. Mereka kehilangan otoritas atas tubuhnya sendiri. Kondisi ini diperparah di balik jeruji besi. Penyiksaan dan pelecehan mencekam di penjara Israel. Jilbab serta pakaian mereka dirampas untuk digantikan dengan pakaian lain. Adara Relief Internasional mencatat bahwa 21 perempuan Palestina masih tertahan di penjara Israel dan pusat interogasi. Bahkan, ada dari mereka yang diperkosa dan dieksekusi oleh tentara Israel. Tidak terhitung jari jumlah perempuan yang mengalami tindak pelecehan dan berakhir mati.
Perempuan Palestina berada dalam kungkungan budaya misogini dan seksisme. Mereka dijadikan objek kekerasan sistematis yang menghancurkan hak mereka sebagai manusia. Dengan menggunakan perspektif feminis radikal, tragedi ini menunjukkan struktur negara melalui kekuatan militer dapat berfungsi sebagai alat untuk mengontrol tubuh perempuan. Menurut Guy-Evans (2024), feminis radikal adalah aliran feminisme yang menyerukan penataan ulang masyarakat secara radikal untuk menghilangkan patriarki yang merupakan penyebab utama penindasan terhadap perempuan. Kekuasaan militer Israel memperkuat narasi patriarki yang merampas hak perempuan atas tubuh dan kebebasan.
ADVERTISEMENT
Nyawa perempuan Palestina yang direnggut dari tentara Israel menunjukkan adanya femisida dalam bayang-bayang genosida. Femisida berbeda dengan pembunuhan pada umumnya. Ini adalah pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelaminnya. Perempuan Palestina dibunuh dan disiksa karena mereka adalah perempuan yang dapat menghasilkan keturunan Palestina—yang ingin mereka basmi dari muka bumi.
Keheningan di Tengah Penindasan
Kita tidak dapat menyangkal bahwa genosida di Palestina adalah isu feminis. Penargetan korban pada perempuan menunjukkan adanya penindasan yang dialami oleh mereka. Perempuan hanya didefinisikan sebagai tubuh dan alat reproduksinya, tidak dilihat sebagai seorang manusia yang memiliki hak. Namun, keheningan masih ada di tengah-tengah berisiknya bom yang dijatuhkan, yaitu para feminis barat yang memilih untuk diam. Standar ganda sangat terlihat ketika mereka mengklaim bahwa mereka membela hak-hak perempuan, tetapi diam ketika dihadapkan oleh penderitaan perempuan Palestina
ADVERTISEMENT
Angka dan data tidak membuka hati nurani para feminis barat untuk peduli dengan perempuan di Palestina. Mereka dilarang untuk mengkritik kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh bangsa Barat. Hal ini dipengaruhi oleh paham orientalisme yang menganggap bahwa bangsa Timur adalah bangsa yang harus dibimbing oleh bangsa Barat. Bangsa Timur adalah bangsa yang barbar sehingga apa pun tindakan Barat dijustifikasi atas dasar untuk membawa bangsa Timur yang lebih baik.
Perempuan Palestina adalah perempuan, tanpa syarat apa pun. Jika para feminis Barat mengalihkan pandangan mereka, bagaimana bisa mereka menyebut diri mereka sebagai feminis ketika feminisme yang dianut hanya berlaku bagi sebagian perempuan. Jika benar-benar memperjuangkan kesetaraan, mereka harus melawan penindasan perempuan di mana pun, terkhususnya Palestina, tanpa terkecuali.
ADVERTISEMENT
Api Perlawanan Tidak Akan Padam
Dunia Internasional terkhususnya Barat bungkam, mengabaikan penderitaan yang dialami oleh perempuan di Palestina hingga berujung pada femisida. Kontrol terhadap tubuh dan reproduksi mereka sendiri direnggut oleh para zionis. Mereka yang dibunuh adalah perempuan yang bisa melahirkan keturunan Palestina yang bisa terus melawan. Dalam bayang-bayang genosida yang gelap, femisida dilakukan sebagai upaya untuk menghapuskan identitas dan masa depan bangsa Palestina.
Suara harus tetap digaungkan untuk melawan penindasan yang terus berlanjut hingga hari ini. Keheningan yang terjadi di kalangan banyak feminis Barat hanya mempertegas standar ganda mereka. Femisida dan genosida Palestina adalah isu yang harus dirangkul oleh seluruh aliran feminisme. Kesetaraan tidak akan terealisasi di atas penindasan. Perempuan di Palestina yang dibunuh secara kejam belum sepenuhnya mati. Semangat mereka menyebar dan menjalar ke berbagai penghujung dunia. Kini, saatnya kita memenuhi panggilan untuk terus melawan.
ADVERTISEMENT