Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Arti dari Peran Perempuan dalam Revolusi Prancis
20 Juli 2022 10:57 WIB
Tulisan dari Nurvienna Moeloek tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Revolusi Prancis—sebuah peristiwa yang membawa kebangkitan bagi perubahan sistem politik dengan berakhirnya monarki absolut di Prancis—menjadi momentum di mana aktivitas politik akhirnya bukan hanya dapat diikuti pria dalam kegiatannya, tetapi juga perempuan. Sebab, dalam revolusi Prancis bagaimanapun juga ada peran perempuan di dalamnya yang berjuang bersama-sama dengan kaum laki-laki.
ADVERTISEMENT
Sebelum masa-masa revolusi terjadi—Guillotine, sebuah alat berat yang digunakan orang-orang Prancis untuk menghukum mati seseorang di mana pisau tajam sudah tersedia pada alat tersebut dan mampu memotong leher seseorang—perempuan hanya bisa menyaksikan dan menjadikan prosesi tersebut sebuah tontonan. R. B. rose menyebutkan dalam sebuah jurnal Feminism, Women and the French Revolution perempuan perajut yang digambarkan tokoh Madame Defarge membawa alat rajut dan benangnya sambil duduk menyaksikan prosesi hukuman mati sementara laki-laki yang melakukan segalanya di sana.
Rose menyebutkan beberapa penulis ternama yang terkenal akan karya-karyanya mengenai Revolusi Prancis dan perempuan seperti Simone de Beauvoir, Catherine Silver, dan murid dari Jurgen Habermas yakni Joan B Landes.
Feminisme tidak lain muncul sebagai kebangkitan dari peran perempuan itu sendiri di berbagai bidang untuk mencapai cita-cita kesetaraan di antara pandangan masyarakat sosial yang masih patriarki. Meski, pasca revolusi Prancis sendiri peran perempuan terutama dalam bidang politik di Prancis khususnya hak pilih terus diperjuangkan hingga awal abad 20.
ADVERTISEMENT
Revolusi Prancis dan peran perempuan di dalamnya dalam menyukseskan peritiwa politik termasyhur di abad XVIII tersebut dimulai ketika rakyat yang kelaparan dan naiknya harga-harga pangan tak lagi terjangkau bagi masyarakat biasa. Roti yang merupakan makanan pokok warga Prancis tidak bisa dibeli dengan keadaan ekonomi pada saat itu. Oleh karenanya, perempuan turun ke jalan dan ikut berjalan kaki sejauh 12 mil ke Versailles istana tempat Raja Louis XVI menetap di saat huru-hara kondisi sosial Prancis di Paris tidak baik-baik saja.
Memang, pasca kerusuhan dan dipenggalnya raja dan ratu Madame Deficit di guillotine, Silver dalam bukunya mengatakan perempuan turun ke jalan, berdemonstrasi tapi setelahnya tidak mendapatkan apa-apa. Setelah revolusi Prancis itu, tidak ada revolusi yang substansial bagi kaum perempuan.
ADVERTISEMENT
Malah, Joan Landes membeberkan dalam bukunya Women in the Public Sphere in the Age of the French Revolution: Revolusi Prancis merupakan revolusi kaum borjuis. Pandangannya mengenai revolusi Prancis mengarah pada persoalan kelas. Di mana perempuan-perempuan dari kaum borjuis dan feodal bahkan sebelum revolusi terjadi telah mampu membuat perkumpulan, pertemuan baik di salon-salon maupun acara yang mereka adakan. Mereka mampu membahas segala hal yang sudah tentu sarat intelektual dan politik.
Landes berpendapat fenomena ruang publik sebelum revolusi Prancis terjadi di tahun 1789 adalah arena konflik antara kaum feodal dan borjuis yang sedang bangkit. Yang dapat membangkitkan opini publik adalah mereka para perempuan sosialita kelas menengah atas tadi, seperti Madame Du Deffand, Madame Geoffrin, Princesse de Conti hingga Nyonya Louis XV.
ADVERTISEMENT
Arti Peran Perempuan dan Kesetaraan di Prancis
Simon de Beauvoir dalam The Second Sex (1949) menuliskan mungkin ada harapan bahwa revolusi mampu mengubah banyak wanita. Kenyataannya, revolusi menghormati institusi dan nilai borjuis bagi laki-laki.
Artinya, perjuangan perempuan belumlah tuntas hingga dicapainya kesetaraan. Revolusi tidak mengubah banyak perempuan dari berbagai perspektif. Ia hanya mampu untuk bekerja di ranah domestik dan memustahilkan perempuan berprofesi sebagai pejabat publik tertentu.
Rose mencoba mengoreksi kekurangan dalam tulisan Joan B Landes, revolusi Prancis bukan hanya soal revolusi borjuis. Kenyataannya masyarakat patriarki tradisional Prancis yang terus melestarikan budayanya hingga awal tahun 1800-an tentu membuat kesulitan bagi kaum perempuan di ranah publik dan domestik.
Ia memeriksa kembali, penemuannya mengenai aturan legal yang diterapkan Napoleon yang amat patriarkal. Namun, beberapa celah telah memberikan perempuan sebuah kesetaraan hak dalam hukum. Seperti membuat perempuan mendapatkan haknya mengenai harta waris dalam keluarganya sebelum revolusi terjadi, perempuan tidak memiliki hak kendali atas harta maupun property keluarga mereka. Selain itu, perceraian boleh dilakukan jika sebelumnya perceraian dilarang oleh gereja Katolik.
ADVERTISEMENT