Feminisme dan Islam dalam Perspektif Leila Ahmed

Nurvienna Moeloek
Alumni FISIP, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
16 Juli 2022 12:49 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurvienna Moeloek tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perempuan Berhijab (Sumber Foto: unsplash.com/HabibDadkhah)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perempuan Berhijab (Sumber Foto: unsplash.com/HabibDadkhah)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Feminisme dan islam mungkin dipandang sebagai dua kutub yang berseberangan karena nilai-nilai keduanya. Padahal seorang aktivis, pemikir dan juga akademisi Mesir Leila Ahmed yang terkenal akan pemikirannya soal perempuan dan hijab, memberikan kita para perempuan khususnya pandangan akan keduanya.
ADVERTISEMENT
Argumentasi mengenai pemakaian hijab pada perempuan Muslim secara keseluruhan berangkat dari beberapa peristiwa sosial-politik di Mesir itu sendiri. Dalam bukunya A Quiet Revolution: The Veil’s Resurgence, from the Middle East to America terbit tahun 2011, Leila Ahmed memberikan pembaca pandangan terhadap pemakaian hijab di Mesir dari waktu ke waktu. Meski Leila Ahmed lahir dari keluarga kelas menengah ke atas dengan lingkungan yang tidak mengenakan hijab, ia berargumen dalam suatu perbincangan bedah bukunya oleh Frontline Club “Insight with Leila Ahmed” diskursus soal hijab hanya bagian dari pakaian biasa dan bukan sebuah bentuk penindasan.
Transisi dari waktu ke waktu
Beberapa kebijakan dalam kisaran historis sempat membuat perempuan mengharuskan membuka hijab. Pelarangan pemakaian hijab di Iran maupun di Turki pada masa Kemal Attaturk di tahun 1900-an membawa perubahan besar bagi masuknya sekulerisme di negara Turki.
ADVERTISEMENT
Pengalaman Leila Ahmed dalam menggambarkan kondisi sosial Mesir terutama pada bagaimana Gerakan ‘unveiling’ yang terjadi di Mesir berusaha membuka kesadaran akan pilihan berhijab. Leila menyoroti pemakaian hijab pada kelas-kelas tertentu di kota-kota besar Mesir seperti Kairo dan Alexandria. Pemakaian hijab bagi perempuan kelas menengah ke atas umumnya tidak sesering para perempuan di desa, mereka hanya memakainya pada suatu acara misalnya saat ke pemakaman. Kebanyakan dari mereka tidak memakainya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam periode tertentu, hijab sarat akan konotasi agama. Perempuan di Arab yang memakai hijab bukan hanya Islam, tetapi perempuan Kristen maupun perempuan Yahudi.
Menurut penulis, sedikit banyak kondisi sosial politik memang mempengaruhi pemikiran Leila Ahmed dalam buku A Quiet Revolution: The Veil’s Resurgence, from the Middle East to America, ia menuliskan tahun-tahun di mana perjuangan perempuan untuk menetapkan pilihan atas apa yang mereka kenakan saat Gerakan feminisme di Mesir, terutama digagas oleh Huda Sharawi yaitu Al Ittihad An nasa’I Al Masiri atau disebut juga The Egyptian Feminist Union. Beberapa memang lahir karena gagasan dari seorang Qasim Amin yang terkenal akan bukunya “The Liberation of Women” tentang bagaimana seharusnya cadar dilepas. Cadar, dalam tesisnya disebut sebagai bentuk penindasan dan sarat ketidakbebasan perempuan di Mesir. Sehingga mendorong Gerakan feminisme Mesir untuk membuka cadar mereka di tempat umum.
ADVERTISEMENT
Seperti yang sudah disinggung di awal, jika Leila Ahmed hidup dan tumbuh dikelilingi saudari, nenek maupun ibunya yang tidak berhijab dan bercadar. Ia juga menyaksikan bagaimana hijab menjadi simbol bagi kaum perempuan saat Ikhwanul Muslimin akhirnya memiliki kekuatan di Mesir. Tahun-tahun tersebut berkisar antara 1970-an hingga 1990-an akhir. Pada saat itu, Leila menyebut hijab yang digunakan oleh perempuan-perempuan Ikhwanul Muslimin memiliki warna berbeda, kadang memang memiliki motif dan warna-warnanya cerah tapi juga terkadang berwarna pastel.
Awal tahun 2000 membawa warna baru, terutama pasca kejadian 9/11 dengan merebaknya tuduhan akan kaum Muslim di Amerika Serikat dan Eropa. Leila menganggap beberapa kebijakan telah memberikan keterpinggiran bagi muslim, imigran muslim terutama perempuan. Selain hijab yang mereka kenakan sebagai simbol bagi pemeluk Islam. Setelah peristiwa 9/11 di AS, perempuan berhijab rawan mengalami kekerasan di publik. Ini seakan memberikan tanda jika anda muslim perempuan dan kemudian berhijab maka diskriminasi ganda terjadi.
ADVERTISEMENT
Bagi Leila, pemerintah manapun yang berusaha untuk mendikte cara perempuan dalam pilihannya memakai hijab ataupun tidak seakan membelenggu perempuan itu sendiri. Pemikiran Leila akan hijab, tidak lain adalah gagasan akan kebebasan bagi perempuan itu sendiri dalam memilih apa yang akan ia kenakan.