Ramadan Kita Jangan Lagi Berbeda

Vindy W Maramis
Pegiat Literasi dan Ibu Rumah Tangga
Konten dari Pengguna
5 Maret 2024 17:49 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Vindy W Maramis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi : Suasanan Berbuka Puasa di Bulan Ramadhan. Sumber : iStock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi : Suasanan Berbuka Puasa di Bulan Ramadhan. Sumber : iStock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tak terasa bulan suci Ramadan tinggal menghitung hari. Umat Islam di seluruh penjuru dunia sebentar lagi akan melakukan puasa wajib selama satu bulan penuh. Nah umat Islam di Indonesia sudah beberapa tahun kebelakang mengalami perbedaan terkait penentuan 1 Ramadan yang menjadikan umat Islam di Indonesia tidak serentak melakukan puasa.
ADVERTISEMENT
Pemerintah melalui Kementerian agama bersama Lembaga Majelis Ulama Indonesia biasanya akan menentukan 1 Ramadan dengan menggunakan metode Rukyat Lokal, atau melihat hilal (bulan sabit muda) berdasarkan wilayah tersebut. Adapula Muhammadiyah yang menggunakan perhitungan hisab dalam menentukan 1 Ramadan .
Lalu metode apa yang seharusnya digunakan oleh umat Islam dalam menentukan 1 Ramadan ?
Dalam hal ini saya akan mengambil dan merujuk dari penjelasan K.H Hafidz Abdurrahman, karena penjelasan beliau yang rinci disertai dengan dalil shahih dan rajih.
K.H Hafidz Abdurrahman menjelaskan berdasarkan pendapat terkuat, syariah Islam menjelaskan bahwa rukyat hilal merupakan sebab (ketentuan) dimulai dan diakhirinya puasa Ramadan. Namun apabila bulan tidak bisa dirukyat, maka puasa dilakukan setelah istikmâl (digenapakan) bulan Sya’ban. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil.
ADVERTISEMENT
Misalnya, hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Berdasarkan hadits seperti itu, lahirlah ijma’ ulama bahwa hisab astronomis (al-hisâb al-falaki) tidak boleh dijadikan sandaran menentukan masuknya awal bulan Qamariyah. Ijma’ ini diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Taimiyah, Abul Walid al-Baji, Ibnu Rusyd, al-Qurthubi, Ibnu Hajar, al-‘Aini, Ibnu Abidin, dan asy-Syaukani. (Lihat, Majmu’ al-Fatawa, XXV/132; Fathul Bari, IV/158; Tafsir al-Qurthubi, II/293; Hasyiyah Ibnu Abidin, III/408; Bidayatul Mujtahid, II/557).
Ibnu Rusyd (w. 1198 M) rahimahullah menyampaikan:
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, ini menunjukkan bahwa umat Islam semestinya berpatokan pada rukyat hilal global, dalam arti rukyatul hilal di salah satu negeri muslim berlaku untuk kaum muslimin di negeri-negeri lain di seluruh dunia. Hal ini sesuai dengan pendapat jumhur.
Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1941 M) rahimahullah menjelaskan:
ADVERTISEMENT
Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa seharusnya dalam menentukan 1 Ramadan maka seluruh umat Islam di dunia serentak. Namun apakah ketidakserentakan penentuan 1 Ramadan ini hanya menyoal rukyat global atau rukyat local?
Tentu tidak, sesungguhnya ketidakserentakan ini disebabkan oleh paham nasionalisme yang diusung oleh Barat lalu disebarluaskan ke seluruh dunia, termasuk ke dalam benak kaum muslimin.
Paham nasionalisme ini menjadi sekat antara kaum muslimin di suatu negeri dengan negeri lain, sehingga kaum muslimin menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh muslim diluar negeri bukanlah menjadi urusannya, dan apa yang dilakukan kaum muslimin di negeri ini tidak boleh ada ikut campur dari negeri muslim lainnya.
Inilah yang menjadikan kaum muslimin di dunia terpecah belah dan berujung perpecahan. Padahal Rasulullah pernah mengatakan bahwa kaum muslimin itu bagaikan satu tubuh, apabila tangan terluka, maka mata akan menangis. Artinya semua kaum muslimin di dunia terikat oleh ikatan aqidah Islam, saling merasa, menjaga dan bersama dalam menjalankan perintah agama.
ADVERTISEMENT
Inilah alasan umat Islam butuh dan harus sadar akan persatuan umat di atas aqidah Islam. Baik itu urusan individu, masyarakat hingga negara.
Allahua’lam.