Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Latar Belakang Utuy Tatang Sontani – Sastrawan Angkatan 45
23 Juni 2022 17:41 WIB
Tulisan dari Viny Khumairoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Utuy Tatang Sontani dikenal sebagai penulis sastra drama, cerpenis, dan novelis. Ia merupakan salah satu dari sastrawan Angkatan 45. Angakatan 45 identik dengan sebutan Angkatan perjuangan. Konsep Angkatan 45 tertuang dalam Surat Kepercayaan Gelanggang yang menjadi pandangan pokok para pengarang Angkatan 45. Waluyo (1987:58) mengatakan bahwa terdapat tiga pokok pikiran yang tertuang di dalam Surat Kepercayaan Gelanggang itu, yaitu:
1) Bahwa para sastrawan merupakan ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia.
ADVERTISEMENT
2) Ciri ke-Indonesian tidak ditandai oleh wujud fisik, tetapi terlebih oleh ungkapan jiwa, kebudayaan Indonesia terjadi oleh pengaruh dari luar dan perkembangan dari dalam. Jadi tidak usah menyebut keaslian yang mempersempit ukuran dan nilai.
3) Revolusi adalah penempatan nilai baru atas nilai lama yang usang.
Pengalaman hidup serta gejolak politik-sosial-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan 45. Angkatan ini lahir dalam suasana lingkungan yang memprihatinkan dan serba keras. Mereka berada di masa fasisme Jepang merajalela dan dilanjutkan dengan peperangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Semua itu pun tak luput dari apa yang dirasakan oleh Utuy Tatang Sontani. Bisa dilihat dari beberapa karyanya yang menggambarkan protes terhadap keadaan setelah kemerdekaan, dimana bangsa ini yang katanya merdeka tetapi tidak berlaku kepada rakyat-rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Utuy Tatang Sontani lahir di Cianjur, Jawa Barat, pada 13 Mei 1920. Ia terlahir dari keluarga saudagar batik yang kaya raya. Namun kekayaan orangtuanya hanyalah sebagai cerita baginya, hanya kakak laki-laki satunya-satunya yang merasakan kekayaan harta tersebut. Kakaknya pernah di sekolahkan di Hollands Inlandse School, yaitu sebuah sekolah Belanda bagi bumiputra untuk orang-orang bangsawan. Sedangkan Utuy sendiri hanya mampu dimasukan ke sekolah rendah yang biayanya jauh lebih rendah. Namun sangat disayangkan, kakak nya meninggal di usia muda karena penyakit pes.
Kemudian setelah ayahnya mendapat pekerjaan sebagai juru tulis di sebuah toko Arab, barulah Utuy dipindahkan ke sekolah Schakel yang mengajarkan bahasa Belanda. Namun, karena tak tahan sering disebut “inlander malas” oleh gurunya di sekolah, akhirnya Utuy memutuskan untuk tidak bersekolah lagi. Utuy berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya lagi ketika ia masuk ke Taman Dewasa Bandung dan menamatkan riwayat sekolahnya disana.
ADVERTISEMENT
Ketertarikannya kepada dunia tulis menulis berawal dari kedatangan seorang tamu dari Bandung yang menawari bapaknya menjadi agen koran berbahasa sunda yakni, Sinar Pasundan. Utuy sangat terkesan kepada tamu tersebut dan kenyataan bahwa tamunya adalah sekaligus paman dari tetangga yang ia taksir. Akhirnya sejak itu Utuy adalah orang yang paling antusias menyambut kedatangan Sinar Pasundan ke rumahnya.
Nama Sontani sebenarnya merupakan nama yang ditambahkan oleh Utuy. Pada awalnya, suatu hari paman si gadis yang juga sebagai redaktur Sinar Pasundan mengiriminya dua buah buku. Buku itu adalah jilid pertama dan kedua Pelarian Dari Digul. Karena ia sangat mengagumi tokoh utama bernama Sontani di dalam buku tersebut, maka sejak saat itu ia mengirimkan karya-karyanya selalu menggunakan nama Sontani. Karya pertama Utuy adalah sebuah usaha untuk menarik perhatian gadis yang disukainya. Dan ceritanya ini banyak mendapatkan pujian serta dorongan semangat dari redaksi. Sejak saat itulah cerita dan sajak karya Sontani mengalir ke Sinar Pasundan.
ADVERTISEMENT
Pada mulanya Utuy menuliskan karyanya dalam bahasa sunda. Akan tetapi, karena pada tahun 1942 Jepang masuk ke Indonesia dan membuat peraturan yang mengizinkan pemakaian bahasa Indonesia dan melarang pemakaian bahasa daerah maka, Utuy pun menulis dalam bahasa Indonesia. Ia menanggapi hal ini dengan positif, karena menurutnya akan semakin mempopulerkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Utuy memulai pengalaman bekerjanya di RRI Tasikmalaya kemudian pindah ke Balai Pustaka, Jawatan Pendidikan Masyarakat (bagian naskah dan majalah), Jawatan Kebudayaan Kementrian PP & K, dan Lembaga Bahasa dan Kesusastraan Indonesia. Pengalaman Utuy di bidang kebudayaan tampak dalam kegiatan berorganisasi. Ia ikut mendirikan Beungkeutan Pangulik Budaya Kiwari pada tahun 1957. Lembaga itu merupakan pengikat para pengarang dan seniman yang berasal dari Jawa Barat yang berdomisili di Jakarta. Lembaga ini dipimpin oleh Rukasah S.W.
ADVERTISEMENT
Akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat yang bernaung pada PKI) melakukan langkah-langkah penting dan berhasil mengajak para seniman terkemuka untuk memasuki organisasi tersebut. Berkaitan dengan hal itu, Utuy pun juga masuk ke dalam organisasi tersebut. Mulanya Utuy menolak masuk Lekra namun, karena bujukan dan diiming-imingi kesempatan untuk tampil dalam berbagai forum penampilan, ia pun akhirnya masuk juga.
Selanjutnya, Korrie Layun Rampan (2000) mengatakan, bahwa Utuy menulis drama dalam jumlah yang cukup banyak dan beragam dalam berbagai variasi bentuk. Seperti drama bersajak, drama dalam bentuk novel, dan drama-drama konvensional. Agam Wispi salah seorang pemimpin pusat Lekra (1959-1965) di Jakarta pada akhir 1999, menyatakan bahwa Utuy Tatang Sontani merupakan tokoh pembaharu dalam penulisan drama di Indonesia. Sementara itu, Taufiq Ismail mengatakan bahwa karya-karya Utuy tidak mengandung ideologi Marxis-Leninis karena karyanya bercirikan individualism yang bertolak belakang dengan realisme sosialis. A.Teeuw (1980) mengatakan bahwa Utuy termasuk pengarang produktif dan karya-karyanya bermutu.
ADVERTISEMENT
Karya-karya Utuy antara lain drama yang berjudul Suling (1948), Bunga Rumah Makan (1948), Awal dan Mira (1952) drama ini meraih hadiah BMKN tahun 1953, Manusia Iseng (1953), Sangkuriang Dayang Sumbi (1953), Sayang Ada Orang Lain (1954), Di Langit Ada Bintang (1955), Selamat Jalan Anak Kufur (1956), Di Muka Kaca (1957), dan Saat yang Genting (1958) drama ini juga kemudian meraih hadiah sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) untuk tahun 1957/1958, Segumpal Daging Bernyawa (1961), Tak Pernah Menjadi Tua 1963, Si Sapar (1964), dan Si Kampeng (1964).
Selain itu, Utuy juga menciptakan novel. Novel karya Utuy adalah Tambera (1949). Sedangkan kumpulan cerpennya adalah Orang-orang Sial (1951), dan Menuju Kamar Durhaka (2002). Di samping itu, Utuy juga sempat menerjemahkan beberapa dongeng karya Jean de la Fontaine pada tahun 1949. Karya-karyanya sudah banyak disalin ke dalam bahasa Rusia, Iran, dan Cina.
ADVERTISEMENT
Utuy Tatang Sontani dimakamkan di Mitinskoye di Kawasan Mitino, sekitar 40 kilometer dari Moskow. Kedatangannya ke Moskow semula hanya untuk berobat ke peking sebelum meletusnya G-30-S PKI. Meletusnya G-30S PKI membuat Utuy tidak bisa pulang ke Indonesia dan membuatnya selama tujuh tahun berada di Peking. Akhirnya, ia memutuskan untuk tinggal di Moskow sambil mengajar bahasa Indonesia di Institut Bahasa-bahasa Timur Moskow sampai meninggal dunia.