Konten dari Pengguna

Kulit Putih Menjadi Standar Kecantikan dan Dampaknya pada Kesehatan Mental

Noer Alvin Kamilah
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Malang
3 Mei 2025 13:58 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Noer Alvin Kamilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://unsplash.com/photos/a-group-of-hands-holding-each-other-Q6KzWe-lq9Y
zoom-in-whitePerbesar
https://unsplash.com/photos/a-group-of-hands-holding-each-other-Q6KzWe-lq9Y
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, kulit putih sering kali dianggap sebagai bentuk keidealan seseorang. Tekanan untuk memenuhi standar ini sangat berdampak buruk terhadap kesehatan mental individu.
ADVERTISEMENT
Sejak kecil, kita mungkin sering melihat tayangan iklan di televisi yang selalu diperankan oleh orang berkulit putih sehingga membuat kita menganggap bahwa kulit putih membuat daya tarik tersendiri. Namun, seiring waktu berjalan, saya memahami bahwa dalam iklan tersebut seolah menunjukkan bahwa sosok berkulit putih adalah standar ideal bagi masyarakat. Sedangkan, orang yang memiliki kulit gelap secara tidak langsung, sering kali dianggap kurang menarik.
Nyatanya, hingga kini standar seperti ini pun masih ditekankan, terlihat dari banyaknya influencer berkulit cerah dan putih yang dianggap lebih menarik perhatian. Hal ini tak hanya terjadi pada perempuan, tetapi juga laki-laki, di mana mereka dianggap lebih tampan jika berkulit putih.
Standar Kecantikan Masyarakat
anak kulit putih dan hitam/https://unsplash.com/photos/boy-in-red-crew-neck-shirt-smiling-nSUw_GdgDSw
Berdasarkan pengamatan saya di lingkungan rumah dan sekolah, persepsi orang terhadap orang berkulit putih sebagai standar kecantikan sudah mendarah daging. Contohnya, saat seseorang bertanya, "Dia cantik, tidak?" sering kali jawabannya "Lumayan sih, tapi dia kurang putih," jika orang yang dibicarakan memiliki kulit sedikit lebih gelap. Hal ini membuktikan betapa "dewa"-nya orang berkulit putih bagi masyarakat. Tanpa disadari, banyak orang merasa bahwa untuk bisa diterima masyarakat, mereka harus memenuhi standar tersebut.
ADVERTISEMENT
Tekanan Sosial Masyarakat dan Media Sosial
Tekanan sosial ini sangat besar. Saya sering melihat banyak orang merasa kurang puas dengan warna kulit mereka sendiri. Komentar-komentar yang terdengar sepele kadang justru menyakitkan, seperti, “Sepertinya kalau kulitmu lebih putih, kamu kelihatan makin cantik deh." Bahkan, komentar seperti itu pernah ditujukan pada adik saya yang kulitnya sedikit lebih gelap daripada saya: "Adiknya kok hitam, padahal kalau sedikit lebih putih, dia bisa secantik kakaknya.” Ironisnya, komentar sekejam itu justru datang dari keluarga sendiri. Komentar seperti ini makin memperkuat pandangan bahwa kulit putih adalah ukuran kecantikan dan bahkan keberhasilan.
Masuk ke dunia media sosial, tekanannya makin naik level. Algoritma seakan lebih “doyan” menampilkan mereka yang berkulit putih, cerah, glowing. Bahkan kulit mengilap seperti habis dilumuri minyak pun dianggap estetik. Hal ini membuat banyak orang merasa harus menyesuaikan diri dengan citra tersebut. Miris, bukan?
ADVERTISEMENT
Dampak Tekanan Sosial pada Kesehatan Mental
https://unsplash.com/photos/woman-sitting-beside-closed-door-33ieW-ZapAg
Karena adanya tekanan sosial, tentu ada dampak besar, terutama terhadap kesehatan mental. Banyak orang, khususnya perempuan, merasa bahwa kulit mereka tidak cukup putih dan mengalami rasa rendah diri yang dalam. Mereka merasa bahwa penampilan mereka, terutama warna kulit mereka menentukan seberapa dihargai mereka dalam lingkungannya. Hal ini jelas menyakitkan dan mengikis kepercayaan diri.
Selanjutnya, kecemasan pun muncul dan makin sulit dikendalikan. Banyak orang jadi overthinking terhadap penilaian orang lain. Jika terus merasa tak memenuhi ekspektasi standar kecantikan, perlahan rasa cemas bisa berubah menjadi depresi. Mereka merasa terpinggirkan dan tidak diterima oleh lingkungannya.
Hal ini juga terjadi pada adik saya, yang sejak kecil memilih untuk diam dan menghindari bersosialisasi. Karena sering mendapatkan komentar tentang penampilannya, ia merasa tidak diterima di lingkungan sosialnya, yang akhirnya ia selalu merasa cemas akan penilaian orang.
ADVERTISEMENT
Karena berbagai tekanan tersebut, tidak sedikit orang yang merasa harus mengejar “standar kulit” tertentu, bahkan dengan cara ekstrem. Mulai dari suntik putih, infus whitening, sampai konsumsi obat-obatan tanpa tahu efek jangka panjangnya.
Dari semua yang telah dibahas, terlihat bahwa kulit putih tak hanya menjadi standar kecantikan, tetapi juga membawa dampak serius terhadap kesehatan mental. Maka dari itu, penting bagi kita untuk belajar menghargai dan mensyukuri apa pun warna kulit yang kita miliki, demi menjaga kesehatan mental dan mencintai diri sendiri sepenuhnya.