Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Timnas Indonesia Kalah, Salah Wartawan?
24 November 2018 18:58 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Vyatra Joseph tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika anda pernah memaki wasit saat tim kesayangan anda kalah, alih-alih berpikir positif dan menyalahkan tim sendiri yang memang bermain buruk. Selamat, anda adalah suporter sepak bola yang baik dan benar. Semua suporter sepak bola, sedewasa apapun, pernah melewati fase ini, sebagian lagi masih bertahan di fase ini.
ADVERTISEMENT
Kita terbiasa menyalahkan orang lain saat terdesak, ini naluri alamiah yang tidak sepenuhnya salah. Salah satu mekanisme pertahanan diri paling tradisional yang dimiliki manusia. Hal ini baru akan menjadi menjengkelkan saat alasan yang dipakai cenderung tidak masuk akal dengan logika yang tak kalah menyedihkan..
Dalam sepak bola, wasit masih menjadi idola utama untuk dijadikan kambing hitam saat sebuah tim didera kekalahan, sisanya akan bercocoklogi dengan klenik dan segala macam tetek bengek lainnya. Ngawang, tanpa pendekatan teknis sekalipun.
Sekali lagi, pemikiran ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Sepak bola tumbuh dan berkembang di masyarakat yang majemuk, maka interpretasinya juga bisa beraneka ragam. Namun, dengan memahami sepak bola terus seperti itu, tanpa disertai pendekatan logis, ini menyedihkan. Jika terus seperti itu, maka sebentar lagi para analis strategi akan lebih memilih pensiun karena tak laku lagi.
ADVERTISEMENT
Setelah berkutat dengan banyak cocoklogi, hari ini saya wajib menambahkan satu lagi alasan untuk memaknai kekalahan sebuah tim sepak bola. Sebuah tim sepak bola (nasional) harus memiliki wartawan yang baik agar dapat berprestasi dengan baik pula (begitu kurang lebih kutipannya). Iya saya ulangi lagi, "Wartawan yang baik". Dengan segala ilmu (cetek) yang saya punya, saya kesulitan meruntut bagaimana wartawan dapat berpengaruh langsung terhadap prestasi sepak bola kita. Menyerah.
Rasanya tulisan saya di paragraf awal adalah runtutan yang tepat untuk menjelaskan bagaimana mungkin bapak kita memakai alasan wartawan untuk penjelasan atas kegagalan timnas kita di Piala AFF kemarin. Untuk apa mengoreksi diri, tim sendiri, kalau ada hal lain yang bisa disalahkan. Bukannya lebih mudah, efisien, dan tidak memalukan.
ADVERTISEMENT
Kita sama-sama tahu, Inggris memiliki media yang lebay dan prestasi sepak bola Inggris memang katrok, tetapi saya belum menemukan sama sekali sebuah wawancara pun saat Greg Clarke (ketua FA) menyalahkan media atas mandeknya prestasi sepak bola negaranya. Iya, cuman yang Mulia Edy Rahmayadi yang mampu melakukannya.
Setelah beliau viral dengan "Apa hak anda bla bla bla" itu, saya kira usai sudah lawakan-lawakan ini, tapi ternyata tidak. Saat dulu ia meributkan nasionalisme Evan Dimas dan Ilhamudin Armayn karena lebih memilih berkarier di luar negeri, beberapa masih menganggap itu hal yang biasa, isu nasionalisme memang seksi. Walaupun saya sendiri sudah memahami ini sebagai logika yang agak gimana gitu.
Beliau mungkin lupa pemain seperti Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi merantau jauh dari negaranya masing-masing dan tetap pulang untuk bertarung atas nama negaranya. Prancis yang baru saja menjuarai Piala dunia, bahkan datang dengan pemain yang lebih banyak berkarya di luar Liga Prancis. Saya lantas teringat saat Emil Audero yang tak luput disindir, beberapa masyarakat ikut larut.
ADVERTISEMENT
Jika saat itu ia memilih untuk pulang dan menuruti cercaan itu, bisa jadi kita tidak melihat ia bermain di level tertinggi sepak bola Italia saat ini. Ia wajib berterima kasih kepada akal sehatnya, dengan tidak tunduk terhadap kejamnya mulut netizen kala itu.
Kita, pendukung sepak bola Indonesia, memang selalu menjadi pesakitan. Sudah prestasinya seadanya, federasinya gemar melawak pula. Bahkan, sampai di level tertentu menjadi pendukung bagi timnas sepak bola Indonesia adalah pentasbihan diri menjadi seorang masokis.
Saya sendiri sudah berdamai dan menerima nasib menjadi bagian dari sepak bola negara ini. Dikecewakan, kemudian menata dan menyiapkan hati kembali, untuk kemudian... dikecewakan lagi. Begitu seterusnya, berulang. Bahkan, saya tak sebegitunya dengan pasangan, dikecewakan sekali yah sudah cukup, tapi timnas sepak bola kita memang memiliki santet ampuh untuk memaksa saya berkomitmen, ahhhh.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, untuk urusan federasi dan segala macam kelucuan ini, saya kebingungan bagaimana harus bersikap. Mau marah tapi dia adalah cerminan sepak bola kita juga, tidak marah tapi kok semakin menjadi-jadi, ah entahlah.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat prestasi terbaik federasi kala ini bisa jadi hanyalah juara AFF U-16 yang sama sekali tidak dihitung sebagai ajang kompetisi besar. Selain itu, mendatangkan Luis Milla untuk membina gaya bermain sepak bola Indonesia yang membuat kita sesaat menaruh harapan besar, sampai akhirnya federasi sendiri juga yang memencet tombol undo.
Selain itu, apa lagi? Ya, komentar-komentar yang viral dan menggelikan ini bisa jadi karena kita terlalu lama memliki ketua federasi yang serius dan melucu dengan tidak lucu, maka ini hadiah yang luar biasa bagi kita. Ketua federasi yang benar-benar lucu sejak di dalam pikiran dan tampak juga dalam perbuatan.
ADVERTISEMENT
Ya sudahlah, kita tunggu sajalah apalagi komentar dari belio ini. Nikmati saja jika permainan sepak bola kita tidak menghibur setidaknya lawakan-lawakan ini cukup menghibur. Sebelum nantinya kita akan muak sendiri, nikmati saja.
Ealah... Bal-balan negriku og ngene banget.
Salam!
====