Konten dari Pengguna

Inspiration Porn Model: Cara yang Salah Memandang Disabilitas

Wafa Auliya Insan Gaib
Mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Brawijaya
15 Juni 2023 8:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wafa Auliya Insan Gaib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi penyandang disabilitas pengguna kursi roda. Sumber: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penyandang disabilitas pengguna kursi roda. Sumber: pixabay
ADVERTISEMENT
“Lihat, walaupun menyandang disabilitas dia bisa memenangkan medali emas.”
“Dia yang tidak punya kaki saja rajin bersih-bersih rumah, kamu yang bisa berjalan harusnya juga rajin bersih-bersih!"
ADVERTISEMENT
“Kita harus bersyukur karena mereka yang autis pun tetap semangat pergi bekerja.”
Kalimat ini terdengar tidak asing bukan? Dalam ajang pencarian bakat di televisi, video motivasi di Youtube, film dokumenter yang disiarkan dalam berita, atau tulisan-tulisan manis yang dimuat di koran, kalimat-kalimat seperti ini sering tercantum sebagai pujian kepada para penyandang disabilitas.
Hal ini salah satunya terjadi dalam ajang pencarian bakat America’s Got Talent ketika Kodi Lee, seorang penyandang disabilitas netra dan autisme, mengikuti audisi dan memukau juri dengan kemampuan menyanyi dan bermain piano. Dalam video penampilan Kodi Lee yang dirilis di Youtube, AGT memasang judul “Kodi Lee Defeats Autism and Blindess With Music” yang artinya “Kodi Lee Melawan Autisme dan Kebutaan Melalui Musik” yang secara tidak langsung mengartikan bahwa disabilitas yang ia miliki adalah suatu hal yang harus ia lawan.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, acara talkshow Hitam Putih pada September 2019 juga menghadirkan seorang penyandang disabilitas daksa bernama Luthfi yang berhasil lulus S1 dan S2 dengan predikat cumlaude. Video yang berjudul “Luthfi, Penyandang Disabilitas Lulus S1 dan S2 Cumlaude” diunggah di Youtube resmi Trans7 dan menggambarkan keseharian Luthfi sebagai pengguna kursi roda. Berbagai komentar pun bermunculan menanggapi video tersebut.
“Apapun keadaanya kita harus semangat menjalani hidup, terima kasih Kak Luthfi inspirasinya.”
“Baru ini saya merasa sangat termotivasi mendengar naik tangga aja butuh setengah jam, buat Anda yang bekerja hujan-hujanan bukan apa-apa dibanding Mbak ini.”
“Itulah hebatnya manusia, disabilitas tapi keyakinannya mampu mempengaruhi orang lain untuk menjadi kuat dan optimis.”
Sekilas tidak ada yang salah dengan video maupun kalimat-kalimat pujian tersebut, bahkan justru cenderung terlihat berkonotasi positif. Namun nyatanya, penggambaran disabilitas di berbagai media sebagai objek inspirasi dan motivasi kepada para non-disabilitas justru merupakan bentuk eksploitasi terhadap penyandang disabilitas dengan menempatkan disabilitas sebagai objek belas kasihan untuk dapat menginspirasi audiens. Cara pandang ini dikenal dengan inpiration porn model.
Stella Young dalam TED tentang inspiration porn model of disability. Sumber: Youtube
Stella Young ketika menjadi speaker di TED pada tahun 2014, mengatakan bahwa inspiration porn model merupakan bentuk objektifikasi terhadap penyandang disabilitas. Objektifikasi ini bertujuan untuk memberikan inspirasi dan memberikan rasa syukur kepada non-disabilitas atas "ketidakberuntungan" yang didapat oleh kaum difabel.
ADVERTISEMENT
Dalam inspiration porn model, penyandang disabilitas ditempatkan sebagai manusia "tidak normal" dan kemudian diberikan pujian atas pencapaiannya terhadap suatu hal yang mungkin biasa dilakukan oleh orang non-disabilitas. "Pencapaian" tersebut kemudian dijadikan ajang motivasi bagi para non-disabilitas untuk tetap bersyukur dan semangat menjalani hidup. Terlebih ketika pujian-pujian ini terlontar kepada disabilitas ketika mereka melakukan hal-hal biasa seperti melakukan kegiatan rumah tangga seperti menyapu, bekerja, berjualan, atau pergi belajar di sekolah. Hal-hal ini dianggap luar biasa dan kemudian dijadikan inspirasi oleh para non-disabilitas.
Cara pandang ini dianggap salah tentu bukan tanpa alasan. Inspiration porn model merupakan bentuk pelemahan terhadap kaum difabel dengan secara tidak langsung menempatkan mereka sebagai second place dalam struktur masyarakat yang harus dikasihani.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, menempatkan disabilitas sebagai objek inspirasi dan motivasi ketika mereka memiliki pencapaian tertentu justru membuat bakat yang sesungguhnya mereka punya menjadi tertutupi karena disabilitas yang mereka miliki. Tak jarang kita malah memuji kemampuan kaum difabel atas "semangatnya menjalani hidup walaupun memiliki kekurangan" atau "kekuatannya untuk melawan keterbatasan" alih-alih mengapresiasi bakat atau pencapaian yang mereka miliki.
Layaknya judul yang dipakai untuk penampilan Kodi Lee dalam America's Got Talent. Alih-alih meng-hightlight bakat menyanyinya, judul tersebut justru memuji Kodi Lee karena telah "melawan autisme". Padahal, sebagai sebuah ajang pencarian bakat, bakat menyanyi dan bermain piano Kodi Lee adalah hal yang patut diberikan pujian besar.
Atau yang terjadi pada Luthfi. Alih-alih mengapresiasi kecerdasannya, banyak komentar yang justru memuji semangat Luthfi dalam menjalani hidup dan berterima kasih karena telah menjadi inspirasi. Padahal, pencapaian terbesar Luthfi adalah keberhasilannya menyelesaikan S1 dan S2 dengan predikat cumlaude dan bukan "keberhasilannya" menaiki tangga selama setengah jam—yang sebenarnya menaiki tangga ini bukanlah keberhasilan melainkan potret nyata bahwa kaum difabel di Indonesia belum memiliki akses yang memadai hingga seorang disabilitas daksa perlu menaiki tangga selama setengah jam.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, menjadi seorang disabilitas merupakan hal yang tidak mudah—hal ini disampaikan pula oleh Stella Young dalam TED. Namun bukan karena disabilitas yang mereka miliki yang membuat itu tidak mudah, melainkan bagaimana masyarakat menempatkan dan memperlakukan disabilitas lah yang membuat banyak disabilitas menghadapi kesulitan.
Ada banyak hak-hak disabilitas yang belum terpenuhi seperti hak mendapat pendidikan, hak untuk bekerja, bahkan hak untuk sekadar dapat berjalan lantaran bangunan dan jalanan di Indonesia (atau mungkin hampir di seluruh dunia) belum dapat diakses oleh penyandang disabilitas.
Tidak hanya itu, penyandang disabilitas kerap mendapatkan stigma buruk dari masyarakat seperti dianggap sebagai kecacatan, dianggap aneh karena berbeda dari manusia kebanyakan, dianggap beban karena harus selalu dibantu, bahkan dalam masyarakat tertentu disabilitas dianggap sebagai kutukan. Maka dari itu, tidak lagi mengobjektifikasi dan menjadikan penyandang disabilitas sebagai objek inspirasi belaka merupakan salah satu hal kecil yang dapat kita lakukan sebagai non-disabilitas untuk menghapuskan stigma-stigma tersebut.
ADVERTISEMENT
Seperti pula yang dikatakan oleh Stella Young: "I wanna live in a world when we value genuine achievement for disabled people."
Referensi:
TED. (9 Juni 2014). I'm not your inspiration, thank you very much | Stella Young [Video]. Youtube. https://youtu.be/8K9Gg164Bsw