Konten dari Pengguna

Manipulasi Psikologis dalam Poster dan Baliho Politik

wahyu eka styawan
Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur
5 September 2024 8:15 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu eka styawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pengendara roda dua melintas di samping baliho alat peraga kampanye (APK) di Pandeglang, Banten, Senin (17/7/2023). Foto: Muhammad Bagus Khoirunas/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Pengendara roda dua melintas di samping baliho alat peraga kampanye (APK) di Pandeglang, Banten, Senin (17/7/2023). Foto: Muhammad Bagus Khoirunas/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak tahun 2019, saat momen menjelang pemilihan umum, baik pilihan kepala daerah, legislatif maupun presiden, setiap sudut jalan mulai dijejali dengan poster-poster yang mengaku "tokoh" sedang menjajakan dirinya. Mulai dari calon wakil bupati, calon bupati, legislatif bahkan wakil presiden dan calon presiden. Mereka menampilkan foto diri, lalu disertai tagline sampai pesan yang sebenarnya mencoba memuji diri mereka sendiri. Seperti bersih, cerdas, merakyat, profesional dan pujian-pujian lainnya.
ADVERTISEMENT
Bahkan bentuk posternya pun dibuat semenarik mungkin, seperti model pop art, karikatur bahkan modern art. Ada juga yang setiap momentum mereka tampil, seperti ucapan untuk kemenangan tim bola, bulutangkis, apa pun itu yang sedang trending. Tak lupa ucapan selamat beribadah puasa, selamat idul fitri, selamat natal dan selamat untuk hari besar agama lainnya.
Fenomena ini lazim dalam komunikasi politik, karena penggunaan poster yang termasuk sebagai alat peraga kampanye, diharapkan mampu menaikkan elektabilitas politisi. Sebagaimana penelitian yang disampaikan oleh Yoga Swasono (2017) "Pengaruh Alat Peraga Kampanye Terhadap Partisipasi Politik di Kelurahan Sumber Rejo Pada Pemilihan Kepala Daerah Bandar Lampung 2015" bahwa alat peraga kampanye turut meningkatkan pengetahuan politik yang berkorelasi dengan partisipasi politik. Artinya penggunaan alat peraga dapat mendorong seseorang tahu siapa kandidat yang akan dipilih dalam pemilu.
ADVERTISEMENT
Meskipun sudah mulai menjamah ranah digital dengan membuat poster untuk media sosial, lalu video kampanye, tetapi masih banyak dari para kandidat ini yang memilih tetap memasang poster hingga baliho secara fisik. Baik yang nampak dalam baliho resmi maupun yang dipasang di pinggir jalan, fasilitas umum, sampai sudut-sudut jalan kampung. Berceceran, berserakan dan mengganggu pemandangan. Boleh dikatakan sebagai sampah visual.

Manipulasi Psikologis untuk Meraup Suara

Keberadaan poster dan baliho dengan wajah calon kandidat pemilu merupakan bagian dari sebuah upaya manipulasi psikologis. Pemasangan poster merupakan upaya repetisi, atau pengulangan sebuah pesan, simbol atau potret diri. Repetisi adalah teknik psikologis yang mengandalkan gagasan bahwa paparan pesan yang berulang-ulang akan meningkatkan persuasif dan daya ingatnya. Dalam periklanan politik, pengulangan slogan, frasa, atau klaim dapat membuat slogan, frasa, atau klaim tersebut lebih melekat di benak pemilih (Cialdini, 2009, Influence: Science and Practice).
ADVERTISEMENT
Menurut Zajonc (1968) "The Attitudinal Effects of Mere Exposure" mengatakan jika efek paparan berulangan, di mana pemilih akan cenderung mengembangkan preferensi terhadap hal-hal yang mereka alami secara berulang-ulang. Hingga muncul kelekatan atau familiaritas. Secara sederhana kita akan melihat baliho atau poster terkait dengan kandidat. Meskipun kita tidak tahu kandidat itu siapa, kita akan secara perlahan akan terngiang, karena setiap hari akan melihat sosok tersebut dan pesan-pesannya.
Beberapa dari kita akan mencoba mencari tahu soal sosok tersebut. Tetapi beberapa yang lainnya akan mengabaikan. Proses dari pengulangan inilah yang memberikan input pengetahuan, lalu aka melekat, sehingga sosok tersebut akan terngiang baik nama, wajah maupun pesan. Ini lazim dilakukan di dunia iklan.
Manipulasi ini bekerja dengan melakukan repetisi pada apa yang disebut sebagai simbol. McQuail (2010) "Mass Communication Theory" mengatakan penggunaan simbol dan citra dapat menjadi alat yang ampuh dalam periklanan politik. Gambar, warna, dan simbol tertentu dapat membangkitkan asosiasi dan emosi yang kuat, mempengaruhi pemilih secara halus tanpa memerlukan argumentasi yang eksplisit. Biasanya akan menggunakan simbol heroisme, religius bahkan penegasan ia bagian dari kekuasaan, seperti menampilkan dia bersama presiden terpilih atau tokoh berpengaruh.
ADVERTISEMENT
Repetisi dan familiaritas terjadi karena ada pengulangan terus menerus melalui baliho dan poster, menambahkan pesan dan simbol tertentu untuk memberikan efek familiaritas, sehingga sang kandidat tidak perlu melakukan pendekatan, mengadakan dialog, atau mengeluarkan usaha lebih untuk mendapatkan dukungan. Tetapi cukup, memberikan informasi yang tidak relevan melalui pengulangan informasi dalam bentu baliho atau poster. Inilah yang disebut sebagai manipulasi psikologis.

Literasi Politik Rendah, Suburnya Manipulasi

Rendahnya literasi politik menjadikan seseorang tidak mempunya kemampuan untuk memilah dan melihat secara mendalam mengenai kandidat. Individu yang buta secara politik lebih rentan terhadap manipulasi melalui informasi yang salah, propaganda, dan penghasutan. Tanpa pemahaman yang jelas mengenai sistem politik dan kemampuan untuk mengevaluasi informasi secara kritis, mereka mungkin menjadi korban narasi palsu dan klaim yang menyesatkan. Hal ini dapat mengarah pada terpilihnya pemimpin yang mengeksploitasi kelemahan tersebut demi keuntungan pribadi atau ideologis (Stanley, 2018, How Fascism Works: The Politics of Us and Them).
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan itu kebutaan akan pengetahuan politik, menurut Putnam (2000) "Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community" seringkali mengakibatkan sikap apatis dan tidak terlibat dalam proses politik. Ketika masyarakat tidak memahami cara kerja pemerintah atau merasa terputus dari pemerintahan, kecil kemungkinannya mereka untuk memilih, berpartisipasi dalam diskusi, atau melakukan advokasi untuk hak-hak mereka. Hal ini melemahkan proses demokrasi, karena lebih sedikit orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada kesejahteraan kolektif.
Sebagai catatan, banyak dari seorang pemilih saat ini terus mengabaikan terkait siapa sebenarnya kandidat di baliho dan poster tersebut. Dampaknya ketika seorang pemilih nantinya memilih dalam pemilu, banyak di antara mereka terbawa oleh pengetahuan hasil dari repetisi simbol di baliho ataupun poster. Sehingga secara tidak sadar memilih kandidat yang ia tidak tahu siapa, latar belakangnya, atau kinerjanya, tetapi memilih karena familiaritas.
ADVERTISEMENT
Efeknya tidak main-main, karena rendahnya literasi politik inilah banyak yang menganggap membuat baliho dan poster menjadi salah satu strategi. Tak ayal maka jumlahnya kian hari kian meningkat dan menjadi sampah visual. Mengganggu pemandangan dan mencemari lingkungan untuk bekas baliho atau poster yang sudah tidak terpakai.
Manipulasi psikologis menjadi salah satu cara yang boleh dikatakan tidak salah, tetapi secara etika politik dapat disebut sebagai bentuk upaya untuk mendegradasi demokrasi. Karena praktik demikian menjadi salah satu efek signifikan bagi kandidat tidak kompeten untuk menduduki kursi pemerintahan, bahkan menjadi jalan melanggengkan politik dinasti, sejalan dengan praktik politik uang atau penyalahgunaan kekuasaan menggunakan anggaran negara untuk kepentingan pemilu, seperti bantuan sosial.

Refleksi ke Depan

Rendahnya literasi politik menjadi isu yang penting, karena dengan minimnya pengetahuan soal politik berbanding lurus dengan kemunduran demokrasi. Kondisi ini juga sejalan dengan mulai bergesernya tata kelola pemerintahan yang baik, menjadi tata kelola pemerintahan yang seolah-olah baik, demokratis tetapi tidak. Karena aktor kekuasaan baik eksekutif maupun legislatif berasal dari entitas yang sama, produk hasil manipulasi psikologis dan kecurangan selama pemilu.
ADVERTISEMENT
Paling tidak, keberadaan baliho dan poster sebagai iklan politik, merupakan alat ampuh yang dapat digunakan untuk memanipulasi persepsi publik dan mempengaruhi hasil pemilu. Dengan memahami mekanisme psikologis yang terjadi, pemilih dapat menjadi lebih kritis terhadap pesan-pesan yang mereka terima dan membuat keputusan yang lebih tepat.
Untuk menuju itu semua, dibutuhkan upaya untuk meluaskan dan membumikan literasi politik, agar demokrasi kembali ke arah sebenarnya, yakni tidak ada dominasi satu entitas yang menguasai pemerintahan dan legislasi untuk menguntungkan diri mereka sendiri.