news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Medsos, Clickbait, dan Kesetaraan

Wahyu Agung Prihartanto
Saya karyawan Pelindo III, Pendidikan Master Marine PIP Semarang, Pengamat & Penulis Kepelabuhanan & Sosial
Konten dari Pengguna
15 Januari 2022 13:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Agung Prihartanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi main media sosial. Foto: Dok. Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi main media sosial. Foto: Dok. Freepik
ADVERTISEMENT
Kelas Dua SMP tahun delapan puluhan pasti jauh berbeda dengan kelas XI milenial. Sekadar bertemu teman, si anak harus keluar rumah menuju rumah temannya atau sebaliknya, meskipun peluang ketemu fifty-fifty. Tapi, bagi anak Gen Y tanpa keluar rumah pun peluang bertemu jauh lebih besar meskipun maya. Di kamar tidurnya yang sempit mereka bisa berinteraksi dengan puluhan, ratusan, bahkan ribuan netizen dalam ceruk dan waktu yang sama.
ADVERTISEMENT
Semudah itu teknologi memperdayai masyarakat. Saya yang sebenarnya sedang berupaya keras menjauhi sifat gumunan iklan-iklan komersil, berkali-kali gagal dan tergoda. Anda tentu kenal facebook, twitter, google, dll. Pekerjaan tugas, bisnis, urusan kantor masih sering mereferensi dari platform-platform tersebut.
Suatu pagi, istri saya diajak oleh ibu-ibu kompleks mendengarkan ceramah seorang pakar anti kekerasan anak. Sesampai di rumah, istri cerita banyak kasus perisakan, pelecehan, perundungan terhadap anak yang termakan rayuan lewat jejaring sosial. Sambil ngelus dada, setragis itu dampak media sosial terhadap anak-anak kita.
Aib manusia yang semestinya konsumsi pribadi justru dibuka di ranah publik dengan tujuan mendapat cemohan netijen secara kolektif. Aksi-aksi anarkis berujung perpecahan warga juga bermuara dari lemahnya benteng pertahanan diri dari hasutan-hasutan di media sosial. Betul-betul memprihatinkan kondisi kita saat ini.
ADVERTISEMENT
Facebook, twitter, google, di satu sisi mereguk keuntungan besar dari iklan di sisi lain membiarkan kapitalisme berkembang melampaui kepentingan publik. Masyarakat mengharapkan perusahaan-perusahaan minyak turut bertanggung jawab atas polusi lingkungan hidup jika mereka menumpahkan minyak di lautan. Media sosial harus membantu menyelesaikan permasalahan polusi sosial yang didistribusi oleh platform.
Sebagaimana kita ketahui perusahaan rintisan seperti, Silicon Valley, Google, Facebook, dan Twitter tumbuh besar di lingkungan pasar bebas bahkan cenderung libertarian. Kondisi ini menguntungkan sektor swasta dalam mendapatkan akses interaksi satu dengan lain di seluruh dunia. Ironisnya, cara-cara tersebut dianggap lebih menguntungkan pemegang saham ketimbang kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Ketika anda melakukan umpan berita di facebook hingga pencarian google, anda tidak akan mendapat informasi lengkap bahkan “kabur” sama sekali. Algoritme akan bekerja seperti itu karena menyangkut bisnis utama mereka. Algoritma bekerja tanpa perlu meningkatkan produk layanan untuk sekadar mendapatkan peringkat atas karena jika ingin memunculkan pada menu pencarian teratas maka ada kompensasi tambahan biaya karena dianggap iklan baru.
ADVERTISEMENT
Facebook tidak perlu membayar produsen konten puluhan miliar dolar untuk menyeleksi umpan berita pengguna konten secara luas. Perusahaan-perusahaan tersebut dapat disaksikan berjam-jam oleh penggunanya. Perkembangan bisnis tanpa didukung transparansi dan akuntabilitas bagi masyarakat.
Kondisi-kondisi di atas lambat laun menurunkan kepercayaan masyarakat, para pakar menyebut eksternalitas negatif pada platform-platform tersebut. Masyarakat harus menanggung dampak sosial yang ditimbulkan oleh perusahaan yang memproduksi sebuah produk. Isu polusi pabrik industri, ketika perusahaan-perusahaan manufaktur tidak membayar kompensasi biaya kesehatan atas pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh polusi pabrik mereka.
Sistem algoritma yang dipakai memungkinkan terjadinya masalah sosial seperti, hoaks, pecah belah yang dihasilkan peristiwa-peristiwa politik yang anti sosial. Hal ini berpeluang mengancam pilar demokrasi sekaligus mengikis kepercayaan publik. Dosa media sosial semakin membesar jika platform-platform tersebut tidak segera melakukan pembenahan.
ADVERTISEMENT
Dibutuhkan keterbukaan untuk mengurangi ujaran kebencian dan berita bohong dari penyedia informasi. Perusahaan-perusahaan media sosial perlu meningkatkan kepedulian terhadap kebutuhan masyarakat luas terutama yang akan menggerus integritas platform. Mungkin tidak sesimpel ini, tapi sangat mendesak untuk segera dilakukan pembenahan. Meskipun facebook dan twitter telah memulai langkah awal tapi masih dibutuhkan transformasi yang konkret dari kedua platform.
Jangka pendek, perusahaan media sosial perlu membuat algoritma baru berbasis data analisis agar lebih transparan bagi publik. Salah satunya melalui pengembangan situs web-situs web yang tersentralisasi agar masyarakat dapat mengecek sumber data dan sumber pendanaan konten-konten yang akan di-publish.
Penyesuaian sistem algoritma untuk mengurangi unggahan konten berita bohong bermuara pada umpan berita pengguna. Penyesuaian tersebut belum menyelesaikan kontradiksi ke jantung media sosial, hal sangat tampak pada model bisnis berbasis kekaburan bertolak belakang dengan sentralistik platform sebagai wacana publik dalam alam demokrasi.
ADVERTISEMENT
Jangka panjang, perusahaan-perusahaan internet perlu merumuskan strategi yang lebih komprehensif. Pengembangan model-model bisnis yang mengutamakan transparansi, aksesibilitas, dan akuntabilitas. Meskipun sulit diwujudkan dalam waktu singkat, baik jika pendekatan verifikasi dan sertifikasi dapat diterapkan oleh setiap perusahaan media sosial.
Facebook, twitter, google dan lain-lain harus bersaing menyediakan berita-berita akurat, dan tidak sekadar layak klik. Sumber-sumber tepercaya tidak asal sensasional. Ketika perusahaan-perusahaan tersebut dapat memelihara ranah publik secara sehat serta dapat memberikan bantuan dampak polusi sosial, setahap demi setahap kepercayaan masyarakat kembali bertumbuh.
Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo