Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Amir Sjarifoeddin: Tokoh Nasionalis yang Terlupakan
17 November 2024 10:45 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari wahyuagilpermana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Amir Sjarifoeddin Harahap merupakan seorang tokoh sayap kiri dan juga pejuang yang tak kalah penting layaknya Soekarno, Moh. Hatta, dan Sutan Sjahrir. Ia lahir di Medan, Sumatera Utara pada 27 April 1907.
ADVERTISEMENT
Pada awalnya, Amir merupakan seorang muslim taat yang kemudian menjadi politikus kiri. Dia memulai pendidikannya di Europeesch Lagere School (ELS) atau sekolah Belanda di Medan yang hanya diperuntukkan bagi keluarga terpandang. Setelah menamatkan pendidikannya di ELS, Amir kemudian melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda.
Ia aktif terlibat dalam anggota pengurus Himpunan Siswa Gymnasium di Harleem dan aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok Kristen. Satu di antaranya adalah CSV-op Java yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Pada tahun 1927, ia kembali ke Indonesia dan melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Namun, pada usia 24 tahun, Amir memutuskan untuk pindah keyakinan karena ketertarikannya dengan gerakan kiri.
ADVERTISEMENT
Manuver Politik
Peran Amir Sjarifoeddin di masa pergerakan nasional terbilang cukup sentral. Kongres Pemuda II yang menelurkan ikrar Sumpah Pemuda tahun 1928 menjadi titik tolaknya dalam ikut serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia juga turut berperan dalam agenda tersebut mewakili Jong Sumatera dan ikut menginisiasi kelahiran Jong Batak.
Pada tahun 1928-1930, Amir menjadi pemimpin redaksi majalah Indonesia Raja yang diterbitkan oleh Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI). Ia juga menjadi pengurus di organisasi Jong Sumatranen Bond.
Selain itu, Amir juga turut aktif dalam kelompok diskusi dan menjadi propagandis di Partai Indonesia (Partindo). Pada Juli, 1931, Amir menjadi wakil ketua Partindo Cabang Jakarta. Ia mengikuti Kongres III Indonesia Moeda di Surabaya pada Januari 1993. Setelah empat bulan kemudian, pada Mei 1932 dalam Kongres I Partindo, Amir menjadi pengurus di bidang pendidikan. Pada kongres II Partindo selanjutnya, Amir menjadi ditunjuk menjadi wakil ketua II, Sartono Wakil Ketua I, dan Soekarno Ketua.
ADVERTISEMENT
Ia juga sempat bergabung dengan Partai Nasional Indonesia sebelum menggagas Partai Indonesia (Partindo) setelah PNI dibubarkan. Pada Mei 1937, Amir bersama rekannya membentuk Gerakan Indonesia Raya (Gerindo), sebuah kelompok yang berpaham kiri antifasis.
Pada Juli 1939 dalam Kongres II Gerindo, Amir dipilih sebagai ketua. Namun, pada Juni 1940, Amir ditangkap dan ditahan terkait tuduhan mengadakan aksi rahasia terhadap pemerintah Belanda bersama Partai Komunis Indonesia. Namun, ia diberi pilihan, yaitu diasingkan ke Boven Digoel atau bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda untuk melawan fasisme Jepang. Setelah berkonsultasi dengan Gerindo, Amir memilih untuk bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda.
Setelah itu, Amir mengadakan sebuah pertemuan di Rawamangun, Jakarta bersama dengan sejumlah tokoh penting dari PKI, Gerindo, Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia (PPRI) untuk menggagas sebuah Gerakan Rakyat Antifasis (Geraf). Namun, gerakan bawah tanah itu kemudian terbongkar oleh Jepang yang ketika itu sudah mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda. Pada 1943, Amir bersama sejumlah orang di kelompoknya ditangkap dan divonis hukuman mati oleh Mahkamah Militer Jepang. Namun, berkat intervensi dari Soekarno dan Hatta, ia akhirnya dibebaskan dari hukuman tersebut.
ADVERTISEMENT
Menjadi Perdana Menteri
Berkat kepiawaiannya dan kecerdasannya dalam berpolitik, Amir diberikan kepercayaan oleh Soekarno untuk menjadi Menteri Penerangan pada 4 September 1945 di Kabinet Presidensial. Pada masa itu, ia mengeluarkan maklumat tentang kebebasan pers. Dalam posisi ini, ia berperan penting dalam diplomasi internasional untuk mendapatkan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia.
Ia juga turut berkecimpung dalam pembentukan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada Oktober 1945 dan menduduki jabatan sebagai wakil ketua. Sebulan kemudian, pada November 1945 dalam Kongres Partai Sosialis Indonesia di Yogyakarta ia juga diangkat sebagai ketua.
Pada 14 November 1945, Amir menjabat sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet Sjahrir. Ia bertanggung jawab atas pembentukan dan pengorganisasian dalam perjuangan melawan Belanda yang berusaha menjajah kembali. Kemudian pada 27 Juni 1947, Kabinet Sjahrir jatuh, Soekarno membentuk sebuah pemerintahan koalisi dan menunjuk tim formatur yang terdiri dari Amir Sjarifoeddin, Setiadjit dan Sukiman.
ADVERTISEMENT
Dalam kabinet yang baru, Amir Sjarifoeddin diamanahi sebagai Perdana Menteri, sementara Setyadjit dan Sukiman menjadi wakil-wakil perdana menteri. Namun, pemerintahan yang dijalankan oleh Amir Sjarifoeddin menghadapi tantangan yang sangat besar, termasuk Agresi Militer Belanda I dan konflik internal.
Amir yang dikenal sebagai pemimpin Sayap Kiri berusaha menerapkan kebijakan sosial dan ekonomi yang progresif. Salah satu langkah penting yang diambil oleh Amir adalah menandatangani Perjanjian Renville yang bertujuan untuk menghentikan permusuhan dengan Belanda dan mengakui garis demarkasi baru. Pada 8 Desember 1947, berlangsung perundingan gencatan senjata di atas Kapal Renville dan Amir Sjarifoeddin ditunjuk sebagai ketua delegasi Indonesia oleh Soekarno.
Setelah melakukan Perjanjian Renville yang dianggap merugikan Indonesia, sejumlah pimpinan partai menolak perjanjian itu dan banyak pihak yang mengutuk keras Amir Sjarifoeddin sebagai ketua delegasi karena dianggap tidak bijak dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, Soekarno pun meminta Amir untuk meletakkan jabatannya sebagai perdana menteri dan digantikan oleh Moh. Hatta. Maka berakhirlah Kabinet Amir Sjarifoeddin atau juga dikenal dengan pemerintahan Sayap Kiri.
ADVERTISEMENT
Terlibat dalam Pemberontakan Madiun
Sejak jatuhnya Kabinet Amir Sjarifoeddin yang digantikan dengan Moh. Hatta, Amir memilih menjadi oposisi di Kabinet Hatta. Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang berdiri atas inisiasi Amir menjadi salah satu alat politiknya dalam menentang keras Kabinet Hatta.
FDR merupakan gabungan dari Partai Sosialis, Pemuda Sosialis Indonesia, Partai Buruh, Partai Komunis Indonesia dan Barisan Tani Indonesia (BTI). Hampir seluruhnya adalah organisasi berpaham kiri. Setelah jatuhnya dari kabinet, Amir Sjarifoeddin semakin dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Gerakan-gerakan kiri ini kemudian melancarkan pemberontakan dan berhasil menguasai wilayah seperti Madiun, Kediri, Purwodadi, Ponorogo, Blitar dan Pacitan. Pada September 1948, ia terlibat dalam pemberontakan Madiun, sebuah upaya oleh PKI dan kelompok-kelompok kiri untuk merebut kekuasaan dari pemerintah pusat. Di Madiun, Amir beserta dengan anggota PKI yang lain memproklamasikan “Soviet Republik Indonesia”.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia kemudian mengambil tindakan tegas dengan menggelar operasi militer dengan sasaran utama yakni Madiun, Purwodadi dan Pacitan. Operasi militer membuat posisi PKI di Madiun semakin terdesak. Kondisi semakin sulit ketika Musso ditembak mati pada Oktober 1948. Kelompok Amir hanya dapat bertahan sampai 29 November 1948. Mereka sempat mengembara mengitari Gunung Wilis dan Gunung Lawu.
Persembunyian Amir dan beberapa anggota kelompok lainnya di Desa Klambu, Grobogan terendus oleh militer dan akhirnya mereka menyerah kepada Pasukan Kala Hitam yang dipimpin oleh Kemal Idris. Ia bersama kelompoknya kemudian dibawa ke Kudus untuk kemudian berlanjut ke Yogyakarta dengan kereta khusus. Sesampainya di Yogyakarta, Amir beserta anggota yang lainnya ditahan di penjara Benteng lalu dibawa ke Solo.
ADVERTISEMENT
Setelah sampai di Solo, pada malam 19 Desember 1948 tepatnya di Desa Ngalihan, Karanganyar, Solo digali sebuah lubang sedalam 1,7 meter atas perintah militer guna mengeksekusi Amir dan anggota yang lainnya.
Dalam sebuah buku yang berjudul “Madiun 1948 PKI Bergerak” karya Harry A. Poeze, terdapat sebuah percakapan singkat menjelang detik-detik Amir Sjarifoeddin dieksekusi. Mulanya seorang letnan tentara menjelaskan kepada Amir bahwa ada surat perintah dari Gubernur Militer, Gatot Subroto, mengenai eksekusi mati bagi Amir Sjarifoeddin dan anggota yang lainnya.
“Apakah saudara sudah mengikhlaskan saya dan kawan-kawan saya?” tanya Amir.
“Saya tinggal tunduk perintah,” balas letnan.
“Apakah saudara sudah memikirkan yang lebih jernih?” ujar Amir lagi.
“Tidak usah banyak bicara,” jawab letnan.
ADVERTISEMENT
Kemudian letnan memerintahkan anak buahnya dalam regu tembak untuk mulai mengisi amunisi senjata. Amir lantas menghampiri sang letnan. Sambil menepuk badan letnan ia berkata, “beri kami waktu untuk bernyanyi sebentar.”
Letnan memenuhi permintaan tersebut. Kemudian Amir dan anggota yang lain mengumandangkan lagu Indonesia Raya dan Internasionale (lagu kaum buruh sedunia). Setelah selesai bernyanyi, Amir berseru: “bersatulah kaum buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu!"
Kemudian mereka mulai di eksekusi dengan ditembak satu per satu dimulai dari Amir.
(Wahyu Agil Permana)