Secarik Catatan terhadap Pro Kontra Pengaturan Dokter Asing

wahyu andrianto
Aktivitas: Anggota Aktif World Association for Medical Law (WAML), Dosen Tetap Fakultas Hukum UI, Dosen Tidak Tetap beberapa Perguruan Tinggi Swasta, Pendiri dan Ketua Unit Riset Hukum Kesehatan Fakultas Hukum UI,
Konten dari Pengguna
13 Maret 2024 6:36 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dokter. Foto: Andrei_R/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dokter. Foto: Andrei_R/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Salah satu pengaturan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan adalah mengenai prosedur seleksi dan praktik dokter asing di Indonesia. Isu dan perdebatan terkait dengan dokter asing ini biasanya ditujukan bagi dokter yang merupakan Warga Negara Asing (WNA) lulusan luar negeri yang akan berpraktik di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pengaturan ini menimbulkan pro dan kontra, khususnya di kalangan dokter dan mahasiswa fakultas kedokteran di Indonesia. Pihak yang kontra menyatakan bahwa negara Indonesia tidak memerlukan dokter asing karena jumlah dokter yang ada di Indonesia pada saat ini jumlahnya secara garis besar mencukupi. Permasalahannya terletak pada persebaran atau distribusi dokter yang tidak merata (terjadi maldistribusi). Jika ada kekurangan dokter maka kekurangan tersebut dapat terpenuhi dalam beberapa tahun ke depan dari lulusan fakultas kedokteran yang ada di Indonesia. Sedangkan pihak yang pro menyatakan bahwa pada dasarnya, Indonesia hingga saat ini masih kekurangan dokter, terutama adalah dokter spesialis dan sub spesialis.
Memperhatikan pro dan kontra tersebut maka menarik apabila mengamati mengenai jumlah dan persebaran dokter di Indonesia. World Health Organization atau biasa disebut dengan WHO menyatakan bahwa standar ideal mengenai rasio dokter dan jumlah penduduk adalah 1:1000.
ADVERTISEMENT
Artinya, 1 orang dokter menangani permasalahan kesehatan 1000 penduduk. Pada saat ini, di Indonesia tersedia sebanyak 175.662 dokter. Dengan target rasio dokter dan jumlah penduduk adalah 1:1000 maka Indonesia kekurangan 101.770 dokter.
Berdasarkan Surat Tanda Registrasi (STR) aktif di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) pada bulan April 2023, jumlah dokter spesialis saat ini adalah 46.200 dokter. Mengacu kepada data tersebut maka pada saat ini terdapat kekurangan 31.481 dokter spesialis di Indonesia.
Apabila ditinjau dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia maka kondisinya adalah sebagai berikut: 29 provinsi kekurangan dokter spesialis jantung; 31 provinsi kekurangan dokter spesialis anak; 28 provinsi kekurangan dokter spesialis penyakit dalam; 23 provinsi kekurangan dokter spesialis obgyn; 33 provinsi kekurangan dokter spesialis radiologi, paru, dan Bedah Toraks Kardiovaskular (BKTV); 29 provinsi kekurangan dokter spesialis saraf.
ADVERTISEMENT
Rerata, 30 provinsi di Indonesia masih kekurangan dokter spesialis. Hanya ada tiga provinsi dengan jumlah dokter spesialis memadai atau melebihi target rasio, yaitu DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Bali.
Apabila data empiris mengenai jumlah dokter spesialis yang ada di Indonesia dibandingkan dengan durasi pemenuhan jumlah dokter spesialis sesuai dengan standar World Health Organization (WHO) maka kondisinya adalah sebagai berikut: (1) Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah, Jumlah spesialis: 1.821, Kekurangan Spesialis: 953, Lulusan per tahun: 180, Durasi pemenuhan: 7 tahun; (2) Saraf/Neurologi, Jumlah spesialis: 2.563, Kekurangan Spesialis: 211, Lulusan per tahun: 154, Durasi pemenuhan: 4 tahun; (3) Ilmu Kesehatan Anak, Jumlah spesialis: 5.428, Kekurangan Spesialis: 2.895, Lulusan per tahun: 280, Durasi pemenuhan: >15 tahun; (4) Ilmu Penyakit Dalam, Jumlah spesialis: 5.877, Kekurangan Spesialis: 2.446, Lulusan per tahun: 376, Durasi pemenuhan: 10 tahun; (5) Ilmu Bedah, Jumlah spesialis: 3.956, Kekurangan Spesialis: 1.593, Lulusan per tahun: 256, Durasi pemenuhan: 9 tahun; (6) Anestesi dan Terapi Intensif, Jumlah spesialis: 3.303, Kekurangan Spesialis: 5.020, Lulusan per tahun: 210, Durasi pemenuhan: >35 tahun; (7) Radiologi, Jumlah spesialis: 2.074, Kekurangan Spesialis: 700, Lulusan per tahun: 154, Durasi pemenuhan: 7 tahun; (8) Patologi Klinik, Jumlah spesialis: 2.062, Kekurangan Spesialis: 712, Lulusan per tahun: 156. Durasi pemenuhan: 7 tahun.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, seorang dokter yang menjalankan praktik kedokteran di Indonesia harus mempunyai Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP). Surat Tanda Registrasi (STR) adalah bukti tertulis yang diberikan kepada dokter yang telah diregistrasi. Sedangkan Surat Izin Praktik (SIP) adalah bukti tertulis yang diberikan kepada dokter sebagai wujud pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik.
Sebelumnya, Surat Tanda Registrasi (STR) hanya berlaku selama 5 tahun. Namun, Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan mengubah hal tersebut. Terkait dengan Surat Tanda Registrasi (STR), ada 2 hal yang ditegaskan oleh Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan, yaitu: (1) Surat Tanda Registrasi (STR) diterbitkan oleh Konsil atas nama Menteri Kesehatan; dan (2) Surat Tanda Registrasi (STR) berlaku seumur hidup.
ADVERTISEMENT
Demikian juga dengan pengaturan terhadap Surat Izin Praktik (SIP), terjadi perubahan yang mendasar karena sebelumnya, penerbitan Surat Izin Praktik (SIP) memerlukan rekomendasi dari Organisasi Profesi. Namun, saat ini, rekomendasi dari Organisasi Profesi tidak diperlukan lagi dalam penerbitan Surat Izin Praktik (SIP).
Terkait dengan Surat Izin Praktik (SIP), ada 4 hal yang ditegaskan oleh Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan, yaitu: Surat Izin Praktik (SIP) diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau Menteri Kesehatan dalam kondisi tertentu; penerbitan Surat Izin Praktik (SIP) tidak memerlukan rekomendasi Organisasi Profesi; perpanjangan Surat Izin Praktik (SIP) membutuhkan pemenuhan kecukupan Satuan Kredit Profesi (SKP); Surat Izin Praktik (SIP) berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
ADVERTISEMENT
Beberapa hal terkait dengan dokter asing, diatur di dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. Dokter Warga Negara Asing (WNA) lulusan luar negeri yang dapat melaksanakan praktik di Indonesia hanya berlaku untuk dokter spesialis dan subspesialis. Artinya, Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan tidak memberikan peluang bagi dokter umum Warga Negara Asing (WNA) lulusan luar negeri untuk berpraktik di Indonesia.
Pada dasarnya, dokter Warga Negara Asing (WNA) lulusan luar negeri harus mengikuti evaluasi kompetensi yang meliputi penilaian kelengkapan administratif dan penilaian kemampuan praktik (penyetaraan kompetensi dan uji kompetensi). Hasil dari evaluasi kompetensi adalah dokter dinyatakan kompeten atau belum kompeten.
Apabila dokter dinyatakan kompeten maka dokter harus mengikuti program adaptasi pada fasilitas pelayanan kesehatan. Sebaliknya, apabila dokter dinyatakan belum kompeten maka dokter harus kembali ke negara asalnya. Jangka waktu berpraktik untuk dokter Warga Negara Asing (WNA) lulusan luar negeri juga dibatasi, yaitu untuk jangka waktu paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang 1 kali serta hanya untuk 2 tahun berikutnya.
ADVERTISEMENT
Namun, ketentuan tersebut mengandung pengecualian. Bagi dokter Warga Negara Asing (WNA) lulusan luar negeri yang merupakan ahli dalam bidang unggulan tertentu dalam pelayanan kesehatan, penilaiannya cukup melalui penilaian portofolio. Syaratnya adalah dokter tersebut telah berpraktik minimal 5 tahun.
Demikian juga mengenai ketentuan jangka waktu berpraktik. Ketentuan jangka waktu berpraktik dikecualikan untuk pendayagunaan dokter spesialis dan subspesialis Warga Negara Asing (WNA) lulusan luar negeri yang berpraktik di kawasan ekonomi khusus.
Terkait dengan pengaturan mengenai dokter Warga Negara Asing (WNA) lulusan luar negeri di dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan, berikut adalah catatan dari penulis:
Pertama, penulis sependapat dengan perancang Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan yang tidak memperkenankan dokter umum Warga Negara Asing (WNA) lulusan luar negeri untuk berpraktik di Indonesia. Pertimbangan penulis adalah berdasarkan pada 2 (dua) alasan) yaitu: Pertama, kebutuhan dokter umum secara kuantitatif dan kualitatif dapat dipenuhi oleh fakultas kedokteran yang ada di Indonesia sepanjang tidak terjadi maldistribusi dalam persebaran dokter umum di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kedua, dalam pelayanan kesehatan (khususnya pelayanan medis), posisi dari dokter umum berada pada pemberi layanan primer, yaitu sebagai pemberi pelayanan kesehatan (khususnya pelayanan medis) yang terdekat dengan masyarakat atau sebagai kontak pertama (gate keeper).
Hal ini riskan apabila diserahkan kepada dokter asing karena berpotensi terjadi hambatan dalam komunikasi, perbedaan permasalahan kesehatan dengan negara asal dokter asing, serta perbedaan kondisi sosio dan budaya masyarakat. Layanan spesialis dan subspesialis merupakan layanan rujukan sehingga potensi permasalahan tersebut dapat diminimalisir apabila layanannya dilakukan oleh dokter asing;
Kedua, standar ideal mengenai rasio jumlah dokter dan jumlah penduduk yang berkisar 1:1000 sebagaimana ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) harus disikapi secara bijaksana. Artinya, standar tersebut harus diterapkan secara proporsional karena karakteristik permasalahan kesehatan di setiap daerah yang ada di Indonesia adalah spesifik dan beraneka ragam, berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
ADVERTISEMENT
Seharusnya, tidak setiap spesialis atau sub spesialis mengacu kepada standar tersebut (mengacu kepada standar yang sama) dalam pemenuhan jumlahnya karena permasalahan kesehatan di Indonesia beraneka ragam dan kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap setiap spesialis atau subspesialis itu tidaklah sama. Misalnya, kebutuhan masyarakat Papua terhadap Dokter Spesialis Penyakit Dalam tentunya berbeda dengan kebutuhannya terhadap Dokter Spesialis Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik.
Artinya, acuan rasio antara jumlah Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan jumlah penduduk seharusnya tidak sama apabila dibandingkan acuan rasio antara jumlah Dokter Spesialis Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik dengan jumlah penduduk. Kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap berbagai spesialis dan subspesialis adalah berbeda-beda serta tidak dapat dipersamakan;
Ketiga, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah beserta segenap komponen masyarakat harus meningkatkan kerja sama dan membuka berbagai peluang beasiswa, khususnya bagi putra/putri daerah yang berprestasi agar dapat menempuh pendidikan di fakultas kedokteran karena selama ini, fakultas kedokteran mayoritas hanya dapat diakses oleh kelompok masyarakat dari kalangan menengah ke atas karena mahalnya biaya pendidikan di fakultas kedokteran;
ADVERTISEMENT
Keempat, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bekerja sama menyediakan insentif bagi dokter yang bertugas dan mengabdikan dirinya di daerah tertinggal, terdepan serta terluar agar semakin banyak dokter yang berminat untuk mengabdikan diri di daerah tersebut. Insentif tidak hanya berupa remunerasi, tapi juga berupa jaminan keamanan dan kesejahteraan serta potensi untuk meningkatkan karier bagi dokter yang bertugas di daerah itu;
Kelima, pembukaan fakultas kedokteran baru seharusnya tidak hanya terpusat di pulau Jawa karena hal ini hanya akan semakin mempertajam maldistribusi dokter yang terpusat di pulau Jawa. Faktanya, pada saat ini, pembukaan fakultas kedokteran baru, sebagian besar terpusat di pulau Jawa. Hal ini tentunya harus menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah dan pengampu pendidikan kedokteran;
ADVERTISEMENT
Keenam, perlu adanya peraturan yang jelas, tegas dan transparan mengenai penilaian portofolio bagi dokter Warga Negara Asing (WNA) lulusan luar negeri yang merupakan ahli dalam bidang unggulan tertentu dalam pelayanan kesehatan.