Konten dari Pengguna
Tanggung Jawab Hukum dan HAM dalam Kasus MBG
9 Oktober 2025 19:00 WIB
·
waktu baca 7 menit
Kiriman Pengguna
Tanggung Jawab Hukum dan HAM dalam Kasus MBG
Tanggung jawab hukum dan HAM dalam kasus MBG: Kelalaian pengawasan terhadap vendor melanggar prinsip dasar HAM di mana negara harus melindungi warga dari bahaya. #userstoryWahyu Andrianto
Tulisan dari Wahyu Andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) lahir dari niat mulia untuk mengatasi salah satu isu kesehatan masyarakat paling mendesak di Indonesia, yaitu malnutrisi dan stunting. Dalam konteks negara berkembang, MBG merupakan manifestasi konkret dari kewajiban negara (state obligation) untuk menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) atas pangan yang memadai, yang diakui dalam instrumen hukum nasional maupun internasional.
ADVERTISEMENT
Program ini menargetkan anak-anak sekolah dan balita, kelompok usia yang paling krusial dalam pembentukan modal manusia (human capital). Asupan gizi yang terjamin dapat secara signifikan menurunkan angka stunting, meningkatkan kapasitas belajar, dan memutus rantai kemiskinan antargenerasi. MBG bukan sekadar kegiatan amal, melainkan sebuah kebijakan publik berskala besar yang memastikan setiap warga negara, terlepas dari kondisi ekonomi keluarganya dan memperoleh akses dasar terhadap makanan sehat.
Ini adalah implementasi dari hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin. Bagi keluarga miskin, makanan gratis meringankan beban pengeluaran harian, memungkinkan mereka mengalokasikan dana untuk kebutuhan lain, sekaligus mengurangi kecenderungan orang tua mengorbankan kualitas pangan demi kuantitas.
Namun, di tengah urgensi dan tujuan mulia tersebut, muncul ironi. Program yang dirancang untuk memberikan gizi, justru menimbulkan korban keracunan massal. Makanan yang seharusnya menjadi sumber energi dan kesehatan menjadi media penyebar penyakit. Kasus keracunan dalam Program MBG bukan sekadar kecelakaan, melainkan kegagalan negara dalam memenuhi kewajibannya memberikan pangan yang aman dan bermutu.
Insiden keracunan dalam Program MBG bukan sekadar masalah teknis atau kelalaian domestik, melainkan sebuah kegagalan negara dalam memenuhi kewajiban yang telah diikat secara internasional, khususnya yang termaktub dalam Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Indonesia telah meratifikasi kovenan ini melalui UU No. 11 Tahun 2005. Pasal 11 ayat (1) ICESCR mengakui hak setiap orang atas standar hidup yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang, dan perumahan yang memadai. Kemudian, Pasal 11 ayat (2) secara spesifik menegaskan pengakuan atas hak dasar setiap orang untuk bebas dari kelaparan.
ADVERTISEMENT
Program MBG, sebagai upaya positif pemerintah untuk memenuhi hak pangan warganya, berada di bawah payung Pasal 11 ICESCR. Namun, ketika keracunan terjadi, elemen krusial kecukupan dan keamanan (adequacy and safety) yang disyaratkan oleh HAM internasional telah dilanggar secara fundamental. Insiden keracunan dalam Program MBG dapat diartikan sebagai pelanggaran HAM atas hak pangan yang aman yang berakar pada Pasal 11 ICESCR.
Pasal 28H Ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah pasal payung yang mengakui hak-hak fundamental warga negara terkait kualitas hidup. Pasal ini berbunyi, "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan."
Ketika insiden keracunan terjadi dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG), hal ini bukan hanya sekadar masalah gizi, melainkan pelanggaran terhadap substansi hak-hak konstitusional yang dijamin oleh pasal ini. Negara gagal menjalankan kewajiban positif (positive obligation) yang dituntut oleh Pasal 28H Ayat (1) untuk memastikan bahwa setiap intervensi yang dilakukannya (seperti MBG) berdampak terhadap peningkatan derajat kesejahteraan dan kesehatan warganya.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM adalah peraturan pelaksana yang merinci jaminan HAM dalam UUD 1945, termasuk hak-hak ekonomi dan sosial. Pasal 9 Ayat (1) menyatakan bahwa, "Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya."
ADVERTISEMENT
Pangan yang aman adalah prasyarat mutlak untuk mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupan. Ketika makanan yang disediakan oleh program negara (MBG) menyebabkan penyakit atau membahayakan nyawa, program tersebut bertentangan dengan tujuan mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupan. Kegagalan dalam aspek keamanan pangan menandakan bahwa negara gagal dalam memenuhi kewajibannya untuk menyediakan layanan publik yang menjamin kesejahteraan.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan adalah payung hukum utama di Indonesia yang mengatur segala aspek kesehatan, termasuk tanggung jawab negara untuk melindungi dan meningkatkan status kesehatan warga negara. Dalam konteks Program MBG, insiden keracunan secara langsung melanggar mandat esensial UU ini, khususnya dalam aspek keamanan pangan sebagai bagian dari upaya kesehatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
UU Kesehatan 2023 mendefinisikan kesehatan sebagai hak asasi manusia dan menetapkan bahwa negara bertanggung jawab atas pemenuhan hak tersebut. Program MBG yang menyediakan makanan seharusnya menjadi wujud nyata dari upaya pemerintah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat melalui intervensi gizi.
Salah satu tujuan utama UU Kesehatan adalah untuk melindungi masyarakat dari segala bentuk bahaya kesehatan, termasuk penyakit yang disebabkan oleh pangan yang tidak memenuhi standar. UU ini menuntut adanya upaya preventif dan promotif.
Kegagalan dalam Program MBG menunjukkan adanya kelalaian dalam menjalankan fungsi preventif, yakni mencegah makanan menjadi beracun melalui pengawasan higienitas dan sanitasi. Keracunan makanan adalah kegagalan dalam sistem kesehatan publik. Program yang seharusnya menjadi solusi untuk menyehatkan justru berubah menjadi sumber penyakit (hazard).
ADVERTISEMENT
Hal ini melanggar prinsip dasar etika dan hukum publik, yaitu "Do No Harm" (Tidak Menimbulkan Bahaya). Negara tidak hanya gagal memberikan gizi yang optimal, tetapi juga melakukan kelalaian dalam pengawasan. Selain vendor, pejabat pemerintah yang berwenang mengawasi dan menjamin bahwa semua penyedia jasa MBG mematuhi standar kesehatan (termasuk standar Hazard Analysis Critical Control Point/HACCP) juga dapat dituntut pertanggungjawaban administrasi karena gagal melaksanakan mandat perlindungan kesehatan publik yang diamanatkan oleh UU Kesehatan.
Dalam kerangka Hak Asasi Manusia (HAM), terutama di bawah ICESCR dan diperkuat oleh UUD 1945, negara memiliki tiga tingkat kewajiban: menghormati (obligation to respect), memenuhi (obligation to fulfill), dan yang paling relevan dalam konteks keracunan MBG adalah melindungi (obligation to protect).
Kewajiban melindungi merujuk pada keharusan negara untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna mencegah pihak ketiga (individu, korporasi, atau entitas swasta) melanggar atau merusak hak-hak dasar warga negara. Hak yang dilanggar di sini adalah hak atas pangan yang aman dan sehat serta hak atas kesehatan.
ADVERTISEMENT
Kewajiban melindungi mensyaratkan negara untuk membangun dan menegakkan sistem regulasi, pengawasan, dan sanksi yang efektif. Negara wajib memastikan bahwa setiap makanan yang disajikan oleh vendor telah melalui proses pengendalian mutu (quality control) dan standar sanitasi yang ketat.
Sebelum kontrak pengadaan makanan ditandatangani, negara harus memastikan vendor memiliki kapabilitas dan rekam jejak yang baik. Jika keracunan disebabkan oleh dapur katering yang tidak higienis atau peralatan yang kotor, ini berarti audit sanitasi awal yang dilakukan oleh lembaga pengawas sebelum kontrak ditandatangani gagal atau dilakukan sebagai formalitas belaka.
Keracunan dapat terjadi karena kelalaian operasional harian (misalnya, makanan dibiarkan terlalu lama di suhu ruangan atau penggunaan bahan kedaluwarsa). Tugas negara adalah melakukan inspeksi mendadak dan berkala (spot-check) dan pengujian sampel makanan. Tidak adanya inspeksi mendadak atau kegagalan untuk mendeteksi kontaminasi menunjukkan bahwa aparatur negara tidak melaksanakan tugas mereka sesuai standar yang ditetapkan.
Dalam kerangka HAM, terutama terkait Hak Asasi Manusia atas pangan, negara tidak hanya harus memastikan bahwa individu tidak dirugikan (kewajiban melindungi), tetapi juga harus mengambil langkah-langkah proaktif untuk merealisasikan hak-hak tersebut. Inilah yang disebut kewajiban memenuhi (obligation to fulfill). Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah platform utama pemerintah untuk memenuhi hak pangan dan hak atas kesehatan bagi kelompok rentan, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan ICESCR.
ADVERTISEMENT
Kewajiban memenuhi melibatkan prinsip bahwa negara harus memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara maksimal untuk merealisasikan hak. Dana publik yang dialokasikan untuk MBG dimaksudkan untuk menghasilkan produk pangan yang aman dan sehat. Apabila dana tersebut digunakan untuk pengadaan atau pengolahan yang menghasilkan makanan beracun, hal ini mengindikasikan ketidakmampuan atau kelalaian dalam alokasi dan pengelolaan sumber daya untuk mencapai tujuan HAM.
Hal ini merupakan bentuk kegagalan dalam kewajiban memenuhi karena sumber daya tidak diubah menjadi manfaat yang dijanjikan. Program MBG harus dijalankan berdasarkan asas profesionalitas dan asas kepastian hukum. Kegagalan menyediakan pangan yang aman menunjukkan adanya ketidakprofesionalan dan ketidakhati-hatian dalam pelaksanaan program.
Penyelesaian permasalahan keracunan makanan dalam Program MBG dapat dilakukan melalui penegakan hukum yang tegas melalui tiga jalur pertanggungjawaban. Jalur Pidana untuk menjerat pihak-pihak yang bertanggung jawab langsung atas pencemaran makanan. Jalur perdata untuk memastikan para korban menerima ganti rugi yang layak atas kerugian fisik dan psikologis yang diderita. Jalur administrasi negara untuk menuntut akuntabilitas para pejabat pengawas yang terbukti lalai dan mencegah terulang kembalinya pelanggaran HAM atas hak pangan di masa depan.
ADVERTISEMENT

