Konten dari Pengguna

Mengenal Poin Penting Perubahan Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak

Ruly Wahyuni
Analis APK APBN padaSekretariat Dijten Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan , Substansi Keuangan dan BMN
24 Desember 2021 13:47 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ruly Wahyuni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Freepik
ADVERTISEMENT
Setiap negara memiliki sumber-sumber pendapatan untuk menjalankan roda pemerintahan. Sumber pendapatan negara pada pemerintah pusat kita seperti disebutkan dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 11 ayat (3) berasal dari penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak (PNBP) dan hibah.
ADVERTISEMENT
Terkait PNBP, contoh konkretnya adalah, ketika kita akan membuat paspor maka kita akan ke kantor imigrasi di sana kita akan dikenakan tarif yang ditetapkan untuk pembuatan paspor, begitu pula ketika kita akan membuat SIM di Instansi Kepolisian. Contoh lainnya ketika kita berobat ke Rumah Sakit Pemerintah Pusat seperti ke RSCM, RS Persahabatan dll, tentunya ada tarif layanan yang dikenakan, ataupun ketika kita ke Kantor Kesehatan Pelabuhan untuk melakukan vaksin meningitis tentunya kita akan dikenakan tarif layanan, khusus untuk PP tarif yang ada pada Instansi Kementerian Kesehatan (dimana tempat saya bekerja) saat ini mengacu pada PP nomor 64 tahun 2019. Jadi beberapa PNBP melekat pada tugas, pokok dan fungsi (TUSI) Kementerian Lembaga (K/L). Saat ini, setidaknya ada ±48 K/L yang mengelola PNBP jenis layanan.
ADVERTISEMENT
PNBP sebagai salah satu sumber penerimaan negara nomor dua setelah pajak mengalami beberapa fase perubahan Undang-undang. Sejarah perubahan undang-undang PNBP tersebut terbagi menjadi 3 fase. Fase pertama adalah ketika masa sebelum UU no 20 tahun 1997 lahir. PNBP masa itu, Pengaturannya masih beragam dan menyebar di berbagai Departemen/Non Departemen. Selain itu, Pemerintah masih mengandalkan sumber PNBP dari penerimaan Migas (minyak dan gas bumi) serta PNBP masih dikelola secara off-budget artinya belum termaktub dalam APBN dan masih dikelola secara manual.
Kemudian Fase ke-2 setelah lahirnya Undang-Undang nomor 20 tahun 1997, di masa ini sudah ada pengaturan yang lebih baik tentang PNBP. Selain adanya UU nomor 20 tahun 1997, diterbitkan pula turunan UU nomor 20 tahun 1997 berupa PP, Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Keputusan Menteri Keuangan (KMK). Selain itu, pengelolaan PNBP pada fase ini sudah dilakukan secara On Budget sehingga diperoleh peningkatan PNBP secara signifikan walaupun masih didominasi PNBP Migas.
ADVERTISEMENT
Seiring berlakunya UU no 20 tahun 1997 tentang PNBP, Pemerintah menerbitkan paket reformasi birokrasi bidang keuangan negara yang berhasil melahirkan 3 Undang-Undang yaitu:
Sehingga ketika paket Undang-Undang keuangan negara itu lahir ada beberapa hal dalam UU nomor 20 tahun 1997 tentang PNBP menjadi sudah tidak selaras lagi. Selain itu, beberapa hal dalam pengelolaan PNBP masa itu juga perlu mendapat pengaturan agar akuntabilitasnya semakin baik dan kebutuhan pelayanan pemerintah kepada masyarakat semakin meningkat serta optimalisasi PNBP dalam menjaga kesinambungan fiskal tetap terjaga.
Berdasarkan sejarah di atas itulah, maka pemerintah menerbitkan Undang-Undang nomor 9 tahun 2018 tentang PNBP sebagai pengganti UU nomor 20 Tahun 1997. Pada fase ke-3 ini adalah masa dimana UU nomor 9 tahun 2018 tersebut diberlakukan mulai tanggal 23 Agustus 2018 dan terdiri dari 13 Bab dan 73 Pasal.
ADVERTISEMENT
Nah, untuk mengenal lebih jauh tentang pokok-pokok perubahan penting apa saja yang tertuang dalam UU nomor 9 tahun 2018 ini, terurai secara singkat dalam 9 poin berikut ini:
1. Definisi
Tertuang dalam Pasal 1 angka 1 bahwa definisi PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara. Sedangkan dalam UU nomor 20 tahun 1997 definisi yang tertulis adalah “seluruh penerimaan Pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan”. Padahal dalam UU nomor 17 tahun 2013 disebutkan bahwa penerimaan negara diperoleh melalui pajak, PNBP dan hibah. Akibat hal tersebut definisi dari PNBP diselaraskan kembali.
ADVERTISEMENT
2. Objek PNBP
Tertuang dalam Pasal 4, PNBP dikelompokkan ke dalam 6 Klaster yaitu: 1) Pemanfaatan Sumber Daya Alam contohnya PNBP dari sektor Migas; 2)Pelayanan contoh PNBP dari pelayanan kesehatan, pendidikan dll; 3) Pengelolaan Kekayaan Negara Dipisahkan contoh PNBP yang diperoleh dari laba BUMN; 4) Pengelolaan Barang Milik Negara contoh PNBP dari sewa gedung Pemerintah ; 5)Pengelolaan Dana contoh PNBP dari BLU pengelola dana sawit dan BLU pengelolaan dana Pendidikan (LPDP) dan; 6)Hak Negara Lainnya adalah PNBP yang diperoleh diluar dari kluster PNBP 1 s.d 5 contohnya penyitaan barang-barang hasil korupsi, pendapatan denda dan lainnya; sedangkan pada UU no 20 tahun 1997 pengelompokkan PNBP tidak secara detail disebutkan.
3. Jenis PNBP
ADVERTISEMENT
Jenis PNBP ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (3) bahwa terkait jenis dan tarif PNBP dapat diatur dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Menteri Keuangan.
4. Tarif PNBP
Ketentuan mengenai pengaturan tarif PNBP dalam UU nomor 9 tahun 2018 ini adalah terkait hal berikut:
a)Pertimbangan Pembentukan Tarif atas Jenis PNBP
Terkait hal-hal yang menjadi pertimbangan pembentukan tarif PNBP dilekatkan langsung pada 6 klaster objek PNBP, yaitu:
ADVERTISEMENT
Pada undang-undang nomor 20 tahun 1997 ketentuan ini hanya diatur secara umum saja dalam 1 pasal yaitu pada Pasal 3 ayat (1).
b) Penetapan Tarif Atas Jenis PNBP
Pengenaan tarif PNBP dalam UU nomor 9 tahun 2018 dilekatkan langsung pada 6 klaster objek PNBP.
c) Penetapan Tarif Rp 0,00
Terkait penetapan tarif nol Rupiah tertuang pada pasal 13 disebutkan bahwa “dengan pertimbangan tertentu, tarif atas jenis PNBP dapat ditetapkan sampai dengan Rp0,00 (nol rupiah) atau 0% (nol persen). Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” antara lain penyelenggaraan kegiatan sosial, kegiatan keagamaan, kegiatan kenegaraan, dan pertimbangan karena keadaan di luar kemampuan Wajib Bayar atau kondisi kahar, serta bagi masyarakat tidak mampu, mahasiswa berprestasi, dan usaha mikro, kecil, dan menengah".
ADVERTISEMENT
Sedangkan pada UU nomor 20 tahun 1997 tidak diatur secara tegas dalam UU nomor 20 Tahun 1997, namun pada praktiknya telah diatur dalam PP yang mengatur Jenis dan Tarif PNBP. Dalam UU no 9 Tahun 2018 ini, pengenaan tarif nol rupiah ini makin dipertegas dalam UU sebagai wujud perhatian dan tanggung jawab Pemerintah. Pengenaan tarif nol Rupiah ini diberlakukan juga pada PNBP yang ada di Kementerian Kesehatan contohnya pada saat pandemi ini dimana pelayanan nol rupiahnya diperjelas dalam Permenkes nomor 19 Tahun 2020.
5. Kewenangan Menteri Keuangan
Kewenangan Menteri Keuangan dalam pengelolaan PNBP sebagai mana tertulis dalam UU nomor 9 tahun 2018 yaitu Menteri selaku pengelola fiskal dalam mengelola PNBP mempunyai kewenangan yaitu:
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Menteri selaku Bendahara Umum Negara menetapkan PNBP tertentu sebagai PNBP yang dikelola oleh Bendahara Umum Negara. Pada UU nomor 20 tahun 1997 terkait kewenangan ini tidak diatur secara tegas namun terdapat pengaturan global saja.
ADVERTISEMENT
6. Verifikasi oleh Instansi Pengelola
Adanya verifikasi terhadap PNBP terutang yang dihitung oleh wajib bayar. PNBP jenis ini biasanya terdapat pada PNBP Migas di mana wajib bayar menghitung sendiri PNBP yang harus disetorkan berdasarkan volume. Pasal yang mengatur hal tersebut tertera dalam Pasal 27 bahwa "Instansi pengelola PNBP wajib melakukan verifikasi atas PNBP terutang yang dihitung oleh wajib bayar".
Instansi pengelola PNBP adalah instansi atau satuan kerja yang mengelola PNBP. Dalam UU sebelumnya hal ini belum diatur.
7. Penggunaan Dana PNBP
Dana PNBP dapat digunakan kembali oleh K/L yang pengelolaannya sesuai persentase izin penggunaan penggunaan dana tersebut diprioritaskan pada kegiatan peningkatan pelayanan pada masyarakat sebagaimana tertulis dalam Pasal 33 ayat (3) “Penggunaan dana PNBP dapat digunakan oleh Instansi Pengelola PNBP untuk unit-unit kerja di lingkungannya”. Sehingga penggunaan PNBP pada UU no 9 tahun 2018 ini diperluas dapat digunakan oleh unit-kerja di bawah lingkup K/L yang mengelola PNBP.
ADVERTISEMENT
8. Pengawasan Pengelolaan PNBP
Sebagai upaya manajemen kontrol yang baik, maka pengawasan PNBP diatur melalui pasal-pasal berikut:
A. Pengawasan oleh APIP
Tertulis dalam Pasal 45 bahwa "Instansi Pengelola PNBP melaksanakan pengawasan intern atas Pengelolaan PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri/Pimpinan Lembaga".
B. Pengawasan oleh Menteri Keuangan
Tertulis dalam Pasal 46 "untuk meningkatkan kualitas perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban PNBP, Menteri melakukan pengawasan terhadap Instansi Pengelola PNBP".
Pengawasan sebagaimana dimaksud di sini dapat dilakukan dalam bentuk verifikasi, penilaian, dan/atau evaluasi.
Sedangkan dalam undang-undang nomor 20 tahun 1997 perihal pengawasan belum diatur secara tegas.
9. Sanksi Pidana
Terkait sanksi pada UU no 20 tahun 1997 sudah mengatur dalam pasal 20 dan pasal 22 Sedangkan dalam UU nomor 9 tahun 2018 sanksi diatur secara tegas di mana jumlah denda menjadi lebih besar sebagaimana tertulis dalam pasal berikut:
ADVERTISEMENT
A. Pasal 67
bahwa "Wajib Bayar yang menghitung sendiri kewajiban PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c yang dengan sengaja tidak membayar atau menyampaikan laporan PNBP Terutang yang tidak benar, dipidana dengan pidana denda sebanyak 4 (empat) kali jumlah PNBP Terutang dan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun".
B. Pasal 68
bahwa "Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan dokumen, keterangan, dan/atau bukti lain yang dimiliki, atau memberikan dokumen, keterangan, dan/atau bukti lain yang dimiliki namun isinya tidak benar, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atau pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun".
Demikian sekilas info tentang poin-poin penting perubahan PNBP dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 2018, semoga bermanfaat.
ADVERTISEMENT
Ayo kenali dunia keuangan negara. Terima kasih.