Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengurai Polemik Ujian Nasional: Mencari Asesmen yang Adil dan Bermakna
31 Desember 2024 19:56 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Waliyadin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Diskursus publik tentang apakah Indonesia sebaiknya mengembalikan Ujian Nasional (UN) kembali mengemuka setelah Abdul Mu'ti dilantik sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) di kabinet Merah Putih. Perdebatan ini mencerminkan lanskap yang terfragmentasi, dengan berbagai pihak mengemukakan pandangan berbeda.
ADVERTISEMENT
Banyak guru, orang tua siswa, serta organisasi independen seperti Pusat Studi Kebijakan Pendidikan (PSPK), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) memiliki posisi yang beragam. PSPK dan FSGI, misalnya, menolak pengembalian UN. Direktur Eksekutif PSPK, Nisa Felicia, menyatakan bahwa pengembalian UN akan menjadi langkah mundur (Tempo.co, 30/10/2024). Data dari FSGI menunjukkan bahwa 87,6% guru yang mengikuti survei menyetujui penghapusan UN, yang berarti mayoritas guru memilih untuk tidak mengembalikan UN (Detikcom, 24/11/2024). Sebaliknya, Ketua Umum PGRI, Unifah Rosyidi, menyatakan bahwa UN perlu dipertimbangkan kembali dengan perbaikan pelaksanaan dan tata kelolanya (CNNIndonesia.com, 6/11/2024).
Kemendikdasmen akhirnya memutuskan untuk kembali mengimplementasikan UN pada 2026. Namun, keputusan ini harus dilihat sebagai peluang untuk mereformasi asesmen nasional agar selaras dengan tujuan pendidikan yang lebih luas. Untuk itu, pemerintah perlu memprioritaskan peningkatan literasi asesmen guru agar asesmen yang diterapkan mampu mencerminkan kompetensi siswa secara holistik.
ADVERTISEMENT
Kilas Balik Perjalanan Asesmen Nasional
Pada 2021, di bawah Menteri Nadiem Makarim, UN yang berbobot tinggi diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Rasionalisasi penggantian ini adalah untuk mengurangi efek negatif UN yang penuh tekanan, seperti stres tinggi pada siswa, budaya “mengajar untuk ujian,” dan ketidakadilan bagi siswa dari latar belakang kurang mampu. Lebih buruk lagi, tekanan UN sering mendorong praktik ketidakjujuran, membuat hasilnya tidak andal dan merusak karakter generasi muda.
Sebaliknya, AKM dirancang sebagai asesmen berbobot rendah yang menekankan literasi, numerasi, dan pembentukan karakter sesuai tujuan “Profil Pelajar Pancasila.” AKM memberikan gambaran tentang proses belajar-mengajar di sekolah melalui sampel siswa di kelas 5, 8, dan 11. Namun, AKM juga menghadapi kritik. Sifatnya yang berbobot rendah dianggap mengurangi motivasi siswa untuk belajar, dan pelaksanaannya dinilai belum cukup menjamin mutu pendidikan karena lebih bersifat formatif dibandingkan sumatif seperti UN (Defianty, 2020).
ADVERTISEMENT
Tantangan dan Peluang
Baik UN maupun AKM memiliki tujuan serupa sebagai asesmen terstandar untuk mengevaluasi hasil pendidikan. Namun, isu inti bukanlah memilih salah satu, melainkan merancang dan mengimplementasikan asesmen secara berkesinambungan yang mencerminkan kompetensi siswa secara holistik. Asesmen seharusnya mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik, bukan hanya persiapan tes keterampilan kognitif.
Literasi asesmen guru menjadi elemen kunci yang sering terabaikan dalam diskursus ini. Literasi asesmen, yaitu kompetensi untuk merancang, melaksanakan, dan menginterpretasi hasil asesmen (Fulcher, 2012), memberdayakan guru untuk mengevaluasi siswa secara komprehensif. Dengan literasi ini, guru dapat merancang asesmen yang tidak hanya mengevaluasi pengetahuan, tetapi juga berpikir kritis, kreativitas, serta pertumbuhan emosional dan karakter siswa.
Rekomendasi dan Jalan Tengah
ADVERTISEMENT
Saat mempertimbangkan pengembalian UN, penting untuk menghindari perdebatan biner antara UN dan AKM. Fokus harus pada menciptakan asesmen yang mendorong pengalaman belajar yang adil, holistik, dan bermakna. Rekomendasi moderat adalah mengembalikan UN sebagai asesmen sumatif berbobot rendah (low stakes), yang berfungsi sebagai alat pemantauan tanpa menjadi penentu “hidup/mati siswa.” Sementara itu, asesmen berkelanjutan seperti AKM perlu diperkuat dengan memastikan bahwa guru memiliki kompetensi untuk merancang dan melaksanakannya secara valid dan andal.
Mengintegrasikan UN dan AKM sebagai bagian dari sistem asesmen yang saling melengkapi dapat memberikan gambaran lebih utuh tentang kualitas pendidikan. Upaya ini harus disertai dengan peningkatan literasi asesmen guru melalui program pengembangan profesional. Dengan demikian, asesmen dapat menjadi alat untuk meningkatkan pembelajaran, bukan sekadar pengujian.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Pendidikan bukan hanya soal nilai ujian, melainkan tentang membentuk individu yang kritis, kreatif, dan adaptif. Baik UN maupun AKM harus melayani tujuan ini. Peran guru dalam mendukung asesmen yang bermakna tidak boleh diabaikan. Dengan pendekatan yang inklusif dan reformasi yang berorientasi pada tujuan pendidikan holistik, Indonesia dapat menciptakan sistem asesmen yang adil dan relevan untuk menghadapi tantangan masa depan.