Konten dari Pengguna

Menyoal Menurunnya Kualitas Pendidikan di Indonesia

Waliyadin
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mahasiswa PhD di University of Canberra Australia
5 Januari 2025 13:16 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waliyadin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi layanan pendidikan. Foto: Kemenkeu RI
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi layanan pendidikan. Foto: Kemenkeu RI
ADVERTISEMENT
Masalah dan tantangan dunia pendidikan di Indonesia semakin kompleks. Meskipun upaya telah dilakukan untuk mengatasi berbagai persoalan, masalah baru justru kerap muncul seiring dengan implementasi kebijakan baru. Ironisnya, masalah-masalah baru tersebut seringkali berkaitan dengan langkah-langkah penyelesaian permasalahan sebelumnya, yang menunjukkan adanya kekurangan dalam evaluasi serta keberlanjutan kebijakan.
ADVERTISEMENT
Misalnya, pemerintah telah mencabut Ujian Nasional (UN) karena banyak membawa dampak yang merugikan bagi siswa, guru dan orang tua. Setelah UN dicabut pada 2021 di era kepemimpinan Mendikbudristek Nadiem Makarim, permasalahan lain muncul, yakni menurunnya semangat belajar siswa karena mereka merasa tidak ada tantangan sebagaimana sering dikeluhkan guru dan orang tua.
Begitu pula dengan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), yang awalnya bertujuan baik untuk memberikan pemerataan kesempatan mengenyam pendidikan namun ternyata kebijakan ini membawa polemik dan banyak dampak negatif yang muncul karena jumlah sekolah negeri yang ada masih terbatas dan sebarannya tidak merata. Intrik dan manipulasi pun tidak bisa lepas setiap kali ada PPDB.
Permasalahan lain adalah soal pergantian nama kurikulum yang sering terjadi. Saya mengatakan ‘nama kurikulum’ karena memang secara substansi kurikulum pendidikan kita tidak jauh beda, hanya mungkin beda kemasan saja. Misalnya dulu ada kurikulum cara belajar siswa aktif (CBSA), kurikulum berbasis kompetensi (KBK), kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), Kurikulum 2013, dan yang terbaru Kurikulum Merdeka. Semua kurikulum yang ada itu sangat baik dari sisi konsep dan tujuan dikembangkannya kurikulum tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun lagi-lagi kurikulum yang satu belum selesai dipahami dan diterapkan oleh guru di sekolah sudah ada nama kurikulum baru dengan segala perangkat nya yang baru dan istilah-istilah baru. Guru sebagai ujung tombak kurikulum akhirnya menjadi bingung karena terlalu sering gonta-ganti nama kurikulum. Yang perlu dilihat lebih jauh adalah efek domino pergantian kurikulum karena pergantian nama kurikulum secara nasional berarti membawa banyak konsekuensi. Yang paling utama adalah kesiapan guru dalam menerapkan kurikulum dengan konsekuensi lanjutannya adalah perlunya mengadakan pelatihan dengan biaya yang besar dalam rangka implementasi kurikulum baru tersebut.
Meskipun telah ada pelatihan guru dampaknya selalu bisa ditebak, yakni menguap begitu saja setelah pelatihan kurikulum selesai apalagi jika sudah ganti kurikulum baru. Contoh terbaru program guru penggerak dalam rangka menerapkan Kurikulum Merdeka pun tidak jauh berbeda karena masih menimbulkan persoalan. Banyak guru-guru yang mengeluh karena beban administrasi yang berlebihan dan banyak waktu yang digunakan untuk mengerjakan tugas-tugas di platform digital.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, banyak guru lain merasa dianaktirikan karena bukan bagian dari peserta guru penggerak. Kenapa ada kecemburuan? Akar permasalahannya ternyata insentif berupa materi dan / atau jabatan bukan karena hal substantif yang menyasar tujuan utama pendidikan dan diadakannya kurikulum. Jadi kebijakan kita selalu jatuh pada hal-hal administratif dan struktural yang menyebabkan dampak kebijakan hanya menyentuh tataran permukaan bukan substansial. Sehingga semua menjadi serba formalistik dan pragmatis semata.
Selain persoalan kurikulum, telah banyak upaya dalam skala makro juga telah dilakukan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Misalnya, perbaikan fasilitas sekolah, pemberian biaya operasional sekolah (BOS), pelatihan guru, dan sertifikasi guru. Yang terbaru adalah usaha penuntasan tenaga honorer dengan skema pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), program pelatihan guru dalam jabatan dan prajabatan (PPG), program sekolah dan guru penggerak dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Pengalokasian 20% APBN untuk anggaran pendidikan demi meningkatkan kesejahteraan guru melalui sertifikasi guru, dan pelatihan guru secara nasional dengan biaya yang tidak sedikit pun telah dilakukan. Namun, sayangnya upaya tersebut belum dapat mendongkrak kualitas pendidikan di Indonesia.
Dengan indikator pencapaian skor PISA dan TIMSS, kemampuan literasi, numerasi, dan sains siswa kita masih di bawah rata-rata. Telah banyak penelitian mengkonfirmasi bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan tidak berdampak positif pada hasil belajar. Hal itu diungkapkan dalam penelitian oleh Bank Dunia (2015) dan beberapa penelitian lain yang juga menelisik dampak penerapan kebijakan pendidikan secara nasional (Kurniawati dkk, 2018).
Kurniawati dkk (2018) dalam laporan penelitiannya dari hasil tinjauan atas kebijakan utama pendidikan pemerintah pusat yang berjudul Education in Indonesia A White Elephant? Menunjukkan tingginya biaya, terutama untuk sertifikasi guru dan bantuan operasional sekolah yang hampir menyerap seluruh anggaran pendidikan.
ADVERTISEMENT
Namun, kebijakan ini belum menunjukkan dampak nyata pada peningkatan hasil belajar siswa, diduga karena minimnya akuntabilitas dan transfer dana yang tidak disertai syarat khusus bagi guru dan sekolah (de Ree et al., 2017; Bank Dunia, 2015). Meskipun studi-studi tersebut sudah lama dilakukan, kondisi pendidikan saat ini pun masih menunjukkan keterpurukan dengan hasil PISA 2022 dan Asesmen Nasional yang belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Akar Masalah

Lantas apa sebenarnya akar dari masalah tersebut dan bagaimana solusi jitu untuk mengatasi masalah pendidikan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia? Sangat sulit memang menjawab pertanyaan ini. Namun, penting kiranya melihat apa yang sudah dikerjakan di belakang terkait program dan kebijakan dan melihat dampaknya. Kemudian memetakan langkah-langkah ke depan untuk mencari solusi meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia yang lebih baik dengan melihat hasil studi-studi terkini.
ADVERTISEMENT
Masalah utama sebenarnya terletak pada kualitas guru dan kualitas pengajaran yang masih rendah. Tidak dimungkiri bahwa ada guru-guru yang berkualitas dan memiliki dedikasi dan jiwa pengabdian yang sangat besar. Tetapi tidak sedikit pula guru dengan kualitas yang masih rendah. Alat ukur kualitas guru yang masih rendah bisa dilihat dari hasil uji kompetensi guru (UKG) yang mengukur subject matter (pengetahuan materi) dan pedagogi pertama kali diadakan pada 2012 yang diikuti oleh 1 juta guru dengan hasil skor rata-rata 47 dari total 100 (Kurniawati, 2018).
Hasil UKG pada 2015 yang diikuti oleh 3 juta guru yang di antaranya ada 123,136 guru bahasa Inggris dianalisis oleh Hamied (2023) dengan hasil yang sama memperhatikan seperti UKG tahun 2012. 69,79% guru bahasa Inggris dengan kualifikasi S1 lulus UKG dan 30,21% gagal dalam tes karena tidak mencapai nilai minimal 55. Selain itu hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa ternyata tidak ada beda antara guru yang memiliki kualifikasi pendidikan S1 dengan yang belum memiliki kualifikasi pendidikan S1.
ADVERTISEMENT
Namun, hasil penelitian ini bukan berarti menganggap bahwa kualifikasi pendidikan itu tidak penting. Justru kita melihat bahwa yang sudah memiliki kualifikasi pendidikan S1 saja masih rendah kualitasnya apalagi yang belum memiliki kualifikasi S1. Oleh karena itu, upaya pemerintah dalam hal ini Kemendikdasmen yang akan kembali memberikan beasiswa bagi para guru yang belum memiliki kualifikasi pendidikan sebagaimana tertuang dalam undang-undang guru dan dosen menjadi hal yang patut diapresiasi.
Saat ini tentu ada hal yang perlu dibenahi dalam pendidikan calon guru yang ada di Lembaga Pendidikan Tenaga dan Kependidikan (LPTK) di kampus-kampus baik negeri maupun swasta. Bagaimana sebenarnya pola rekrutmen dan proses pendidikan dan pembelajaran di LPTK tersebut? Sehingga dengan adanya evaluasi terhadap kinerja LPTK selama ini bisa diketahui titik lemah program pendidikan dan pelatihan guru yang ada saat ini.
ADVERTISEMENT
Belum banyak studi yang menelusuri program pendidikan calon guru di Indonesia sampai saat ini. Namun ada beberapa studi beberapa tahun lalu yang bisa menjadi rujukan terkait program pendidikan calon guru yang ada di Indonesia. Misalnya, Sulistyo (2015) dalam studi doktoralnya di RMIT University Australia melakukan evaluasi program pendidikan guru bahasa Inggris di salah satu universitas di Jambi dengan menggunakan survei, analisis dokumen, serta wawancara dengan stakeholders.
Studi tersebut menunjukkan bahwa meskipun program pendidikan guru telah cukup membekali calon guru dengan penguasaan bahasa dan cara mengajar, masih ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan yakni pelatihan cara mengajar dan pengalaman praktik mengajar secara lebih baik. Sehingga perlu ada dukungan dan sumberdaya yang lebih dari para dosen pembimbing praktik mengajar.
ADVERTISEMENT
Kualitas pembelajaran juga menjadi sorotan dan penting untuk diketahui oleh para pemangku kebijakan dan para guru yang terlibat langsung dalam proses pembelajaran di kelas. Untuk itu perlu kiranya menilik hasil penelitian yang dilakukan oleh Irdiyanti dan Fadhila (2023) dalam salah satu bab nya yang berjudul Teaching Quality in Indonesia: What Needs to Be Improved?
Penelitian mereka mendukung bahwa kualitas guru merupakan faktor penting yang berkaitan langsung dengan hasil pendidikan dan pembelajaran. Dalam penelitian yang melibatkan 375 guru dan 6.410 siswa di 13 provinsi di Indonesia menunjukkan secara umum kualitas pengajaran dengan kriteria yang meliputi (1) Iklim belajar yang aman dan merangsang; (2) Manajemen kelas yang efisien; (3) Instruksi yang jelas dan terstruktur; (4) Pengajaran yang intensif dan mengaktifkan; (5) Instruksi yang terperinci; (6) Strategi pengajaran-pembelajaran. Dari enam ranah itu secara keseluruhan rata-rata skornya 2,83-3,05 dari total nilai 4 dan bahkan pada aspek pembelajaran berdiferensiasi dinilai masih rendah yakni dengan skor 1,74.
ADVERTISEMENT
Selain itu ada akar masalah dari krisis pembelajaran yang lebih mencengangkan dan perlu mendapat perhatian lebih. Menurut Rosser, King, dan Widoyoko (2022) dalam kertas kerjanya yang berjudul The Political Economy of the Learning Crisis in Indonesia akar permasalahan krisis pembelajaran ini sangat bersifat politis, berakar dari dominasi elite politik, birokrasi, dan korporasi yang predatoris, yang secara historis telah memanipulasi sistem pendidikan untuk keuntungan mereka sendiri, alih-alih berfokus pada menghasilkan individu yang terampil dan berpikir kritis.
Masih ada oknum pejabat yang menggunakan kebijakan dan program-program pendidikan untuk kepentingan individu, golongan. Misalnya untuk mempertahankan kekuasaan di pemerintah atau memanipulasi proyek bantuan untuk sekolah-sekolah.
Mereka menyimpulkan bahwa tanpa adanya rekonfigurasi mendasar dalam hubungan kekuasaan di antara kelompok-kelompok ini, berbagai inisiatif untuk meningkatkan pendanaan, memperbaiki manajemen, dan mengatasi kekurangan sumber daya manusia kemungkinan besar tidak akan menghasilkan peningkatan yang berarti dalam hasil pembelajaran.
ADVERTISEMENT

Tawaran Solusi

Melihat dari berbagai studi saat ini, ada beberapa rekomendasi yang mungkin dapat dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pengajaran sebagai upaya mengejar ketertinggalan pendidikan kita.
Pertama, perlu ditekankan bahwa alokasi anggaran pendidikan harus lebih efektif. Sebagian besar dana pendidikan saat ini digunakan untuk program sertifikasi guru dan bantuan operasional sekolah, yang tidak secara langsung meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karena itu, alokasi dana harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas pengajaran. Juga yang terpenting adalah pengawasan yang ketat untuk mencegah terjadinya korupsi.
Kedua, institusi pendidikan guru (LPTK) perlu melakukan perubahan mendasar untuk meningkatkan kualitas pengajaran. Persyaratan untuk menjadi guru harus lebih ketat, dan standar pendidikan guru harus ditingkatkan. Program pengembangan profesional guru harus dilakukan secara berkelanjutan dan mencakup evaluasi berkala terhadap pengetahuan dan pedagogi guru.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Pelatihan dan lokakarya yang disediakan oleh pemerintah harus memenuhi kriteria spesifik yang dibutuhkan oleh guru dan memberikan dampak positif pada implementasi pengajaran di kelas. Materi pelatihan harus dikembangkan berdasarkan observasi kelas untuk memenuhi kebutuhan guru. Termasuk di dalam nya adalah melatih guru untuk memiliki agensi dan kreativitas dalam mengembangkan pembelajaran yang sensitif terhadap kondisi lokal yang ada. Misalnya keadaan siswa dan sarana dan prasarana belajar yang ada.
Keempat, calon guru perlu lebih banyak dibekali dengan pengalaman langsung dalam mengajar di sekolah dengan mengikuti praktik mengajar di sekolah dengan program yang lebih terstruktur dan calon guru benar-benar terlibat secara aktif menganalisis kebutuhan siswa dalam belajar. para dosen pembimbing perlu lebih terlibat lagi dalam proses pembimbingan bukan sekadar formalitas. Para calon guru perlu dibekali dengan workshop atau pelatihan dalam menyusun pembelajaran yang mampu membuat para siswa terlibat aktif dengan materi yang sedang dipelajari.
ADVERTISEMENT
Kelima, program sertifikasi harus lebih menekankan pada praktik dan implementasi pengetahuan serta pedagogi, diikuti dengan supervisi yang berkelanjutan. Guru diharapkan dapat menunjukkan kemampuan mereka di kelas dan meningkatkan perilaku pengajaran mereka secara berkelanjutan.
Terikahir, peningkatan kompetensi guru dalam enam domain perilaku mengajar yang telah diidentifikasi dalam penelitian Irdiyanti dan Fadhilah (2023) yang mencakup iklim belajar yang aman dan stimulatif, manajemen kelas yang efisien, instruksi yang jelas dan terstruktur, pengajaran yang intensif dan aktif, strategi pengajaran, serta adaptasi pengajaran/diferensiasi.
Semoga dengan menerapkan langkah-langkah tersebut kualitas pendidikan kita akan lebih baik lagi. Sehingga harapan untuk mencapai SDM unggul dalam rangka menghadapi masa depan yang tidak menentu akan bisa tercapai.