Bulan di Pelabuhan Stockholm

Konten Media Partner
27 April 2020 10:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi. Source: PXhere.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Source: PXhere.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh: Alif Febriyantoro
DI SEBUAH taman di dekat pelabuhan Stockholm yang pendiam, akan selalu ada wanita-wanita yang menangis ketika memandang bulan. Bulan yang warnanya keperak-perakan, yang cahayanya jatuh dan membias di lautan, sehingga laut itu akan berkilau seperti hamparan berlian. Wanita-wanita itu akan sabar menunggu sampai air matanya menetes dengan sendirinya. Air mata yang jatuh satu demi satu tepat ketika kelopak matanya berkedip, yang kemudian membasahi sebentuk pipi yang penuh dengan bedak, yang selanjutnya akan mengalir ke bibirnya yang merah dan setengah terbuka. Semua wanita di taman itu tak akan pernah tahu kenapa mereka begitu mudah menangis hanya karena memandang bulan.
ADVERTISEMENT
***
“Datanglah ke sebuah taman di dekat Pelabuhan Stockholm, Anda akan sembuh dari semua peristiwa yang telah menyakiti Anda.”
Kalimat itulah yang diucapkannya kepadaku seminggu yang lalu, ketika ia menemukanku sedang merenung sendirian di sebuah meja bar. Tentu saja aku belum mengenalnya. Wanita itu tiba-tiba saja datang kemudian duduk di hadapanku. Aroma parfumnya dan aroma samponya menyeruak. Tetapi hidungku lebih fokus pada aroma samponya yang segar. Rambutnya pirang sepeti senja. Terurai sampai ke bahu. Wanita itu mengenakan kemeja putih dengan syal merah muda yang melingkar di leher. Aku menatap sepasang matanya, namun ia membalas dengan tatapan yang lebih tajam.
“Maaf, dari mana Nona yakin bahwa saya sedang bersedih?” Pertanyaanku terdengar kaku dan terlihat kacau. “Yang bilang Anda sedang bersedih siapa? Saya hanya menawarkan sebuah tempat yang baik untuk bersedih.”
ADVERTISEMENT
Nah. Jelas wanita selalu benar.
“Tapi, tawaran Anda itu seperti menyimpulkan bahwa orang-orang yang datang ke tempat itu adalah orang-orang yang sedang bersedih.”
“Benar sekali.”
“Itu berarti sejak awal Anda sudah menyimpulkan bahwa saya sedang bersedih!”
“Apa salahnya menyimpulkan? Jika Anda memang benar-benar bersedih, saya sarankan datang saja ke tempat itu.”
Nah. Jelas wanita tidak pernah bersalah.
“Saya harus pulang. Jika kita bertemu kembali, jangan panggil saya Nona, panggil saja Sofia.”
Wanita itu bangkit dari tempat duduknya. Kemudian lenyap ditelan ambang pintu dan, malam.
Jika kita bertemu kembali….
Entahlah kenapa pada saat itu kalimatnya membekas di kepalaku. Seakan-akan dalam ucapannya itu, ia telah menyimpulkan bahwa aku pasti akan datang ke sebuah taman yang katanya adalah tempat yang baik untuk bersedih. Aku akan datang dengan membawa segenggam kesedihan. Lantas aku akan melihatnya duduk pada sebuah bangku taman dengan wajah yang paling sendu. Pada titik itu, aku akan duduk di sampingnya. Dan aku akan berkata kepadanya, akhirnya kita bertemu kembali, Sofia. Sungguh nama yang indah.
ADVERTISEMENT
Tetapi ramalanku itu cukup buruk. Beberapa saat kemudian, wanita itu muncul kembali di hadapanku, masih dengan aroma samponya yang segar.
“Sudikah Anda temani saya ke taman itu malam ini?”
***
Ternyata Sofia adalah wanita yang menyukai malam. Ia hanya bisa ditemui saat malam. Sudah seminggu ini aku selalu menemaninya untuk memandang bulan. Setiap malam aku selalu menyempatkan diri duduk di sampingnya, hanya untuk melihat air matanya yang mengalir tanpa alasan.
“Apakah kau tak ingin menanyakan kenapa aku menangis?”
Pertanyaan itu, sungguh sentimentil.
“Bukankah semua wanita di sini menangis tanpa alasan?”
“Kau bodoh jika punya pemikiran seperti itu!”
“Kau tahu, aku pura-pura bodoh. Cerita saja.”
Sofia hanya mengembuskan napas. Mengalihkan pandangannya ke arah kapal pesiar yang baru saja menjauh dari pelabuhan.
ADVERTISEMENT
“Kau percaya, keberangkatan adalah kepulangan bagi yang lain?”
Lewat matanya yang basah, aku berusaha memahami. “Tapi kapal itu pasti akan kembali ke pelabuhan ini.”
“Sebelum kembali, kapal itu akan bersandar di pelabuhan yang lain, bukan?”
“O… itu pasti.”
“Kau mengerti maksudku?”
Tentu saja aku mengerti. Sebuah analogi sederhana dari peristiwa ditinggalkan. “Jadi, siapa yang meninggalkanmu?”
“Dia suamiku. Maaf, mantan suami,” katanya sambil memasukkan tangannya ke dalam saku dan mengambil selembar sapu tangan. “Sebenarnya dia tidak pergi. Dia kembali, bersama wanita lain yang menggendong bayi.”
Aku tidak terkejut. Itu sudah biasa.
Namun yang tak biasa adalah air mata. Kenapa wanita mudah menangis? Jika setiap malam semua wanita di taman ini menangis, maka kota ini akan menjelma seperti Kota Venesia yang penuh dengan air. Dan beberapa tahun kemudian, air mata itu akan menenggelamkan kota, beserta kenangan di dalamnya.
ADVERTISEMENT
“Kau berbohong?”
“Apa? Kau pikir air mata ini hanya ilustrasi?” Nada suaranya meninggi. Wanita memang makhluk yang sensitif.
“Bukan, bukan. Bukan itu maksudku. Ini tentang apa yang kau ucapkan pertama kali kepadaku.”
Sofia mencoba mengingat.
“Yang mana? Aku lupa.”
Nah. Kenangan memang membuat orang menjadi pelupa.
“Katamu, ketika berada di taman ini kau akan sembuh dari semua peristiwa yang menyakitimu. Jadi kenapa kau masih menangis?”
“Air mata itu menyembuhkan. Dan bulan di taman ini adalah pemicunya.”
Memang di taman ini bulan tampak indah sekali, menggantung di langit dengan bebas dan sempurna. Jauh berbeda dengan di pusat kota, gedung-gedung bertingkat yang dihiasi lampu merkuri akan mengalahkan cahaya bulan, atau jalanan di pusat kota yang dipenuhi lampu dari setiap kendaraan. Ketika malam, seluruh kota akan penuh dengan lampu-lampu. Barangkali itulah mengapa di taman ini adalah tempat yang cocok untuk memandang bulan. Tapi pertanyaannya adalah, kenapa hanya karena memandang bulan mereka mudah menangis?
ADVERTISEMENT
“Suatu saat kau pasti akan mengerti, kenapa di taman ini adalah tempat yang baik untuk bersedih.” Sofia menatapku. Seakan-akan ia bisa membaca pikiranku.
Tapi aku hanya diam. Dan tersenyum. Aku mencoba menikmati setiap keindahan yang ditangkap oleh mataku; pohon-pohon, lanskap pelabuhan dengan jajaran kapal pesiar yang mewah, sebuah dermaga yang murung, laut yang hitam namun bersinar, ombak yang tenang, mercusuar di kejauhan, dan tentu saja bulan yang menggantung di langit, yang cahayanya menyala bersama bintang-bintang. Dan keindahan yang lain ada di sepasang mata Sofia. Bulu matanya lentik. Jika berkedip, aku teringat istriku. Ya, istriku. Bukan mantan istri.
“Kalau boleh menebak, kau pasti sudah punya istri.” Lamunku pecah. Ia membaca pikiranku lagi. Apakah semua wanita memang terlahir dengan keahlian meramal?
ADVERTISEMENT
“Dari mana kau tahu?”
“Cincin itu. Mungkin kau lupa melepasnya.”
Aku hanya tersenyum.
“Aku sengaja tak melepasnya. Karena aku menduga kau sudah tahu hal ini sejak awal kita bertemu.”
“Malah aku berharap kau melepasnya. Sehingga pertemuan kita ini akan memunculkan kebohongan-kebohongan lain. Itu akan menjadi lebih seru, bukan?”
Apakah semua wanita yang pernah ditingalkan akan bersikap seperti ini, mencari pelampiasan lain untuk menyembuhkan hatinya, yang padahal pelampiasannya ini akan menjadi lebih pedih lagi jika ia mengetahui kebenarannya?
“Sepertinya semua ini hanya menjadi pelampiasanmu saja.”
“Maksudmu?” Sofia mengerutkan dahi.
“Pertemuan ini. Aku rasa semua ini hanya untuk mengurangi kesedihanmu saja.”
“Lagi-lagi kau bodoh jika punya pemikiran seperti itu!”
Namun kali ini aku tidak pura-pura bodoh. Tampaknya aku tak pandai meramal perasaan wanita.
ADVERTISEMENT
“Jadi kenapa kau masih ingin bertemu denganku, jika sejak awal kau telah mengetahui bahwa aku sudah punya istri?”
“Kenapa kau masih ingin bertemu denganku, jika kau sadar kau sudah punya istri?”
Aku tertawa.
“Kenapa kau tertawa?”
“Tidak apa-apa.”
“Bagaimana dengan istrimu, apakah tidak apa-apa?”
Kurasa aku tak perlu menjawabnya. Sebab aku menduga ia akan menjawab pertanyaannya sendiri.
“Pasti istrimu sedang pergi untuk waktu yang cukup lama.”
Nah.
“Sepertinya kau ahli menganalisa hubungan.”
Kali ini Sofia tertawa. Sepasang matanya menyempit. Sungguh, jika seperti ini aku benar-benar teringat dengan istriku. Aku memang mencintainya. Namun akhir-akhir ini, hubunganku dengannya sedang tidak akur. Itulah mengapa seminggu yang lalu Sofia menemukanku sedang merenung di sebuah meja bar.
ADVERTISEMENT
“Kalau aku jadi istrimu, aku pasti akan membunuhmu!”
Kami tertawa bersamaan. Ada sesuatu yang membuatku lebur bersama sisa air matanya. Perasaan ini. Percakapan-percakapan ini. Dan, tatapan ini. Sepertinya aku mulai tertarik kepadanya.
“Bagaimana soal anak. Kau sudah punya?” Aku membuka percakapan lagi.
“Aku tidak bisa hamil.”
“Jadi….”
“Ya. Itulah mengapa mantan suamiku mencari wanita lain. Laki-laki memang berengsek!”
Sepertinya aku salah bertanya.
“Tapi sudahlah, sebaiknya jangan bahas soal itu. Bagaimana denganmu?”
“Belum punya.”
“Apakah kau juga mandul?”
Sialan.
“Tidak. Tidak. Aku hanya bercanda. Tak usah pasang wajah seperti itu.”
“Kalau kau jadi istriku, aku pasti akan membunuhmu!”
Untuk kesekian kalinya kami tertawa bersamaan. Sepertinya kesedihan telah berubah menjadi kebahagiaan. Sementara bulan masih menggantung di langit. Masih bercahaya bersama bintang-bintang. Dan malam terlampau malam. Semua wanita di taman ini sudah puas mengeluarkan air matanya. Semuanya berangsur pergi meninggalkan taman. Dari kejauhan, sebuah kapal pesiar berlabuh. Orang-orang turun dari kapal dengan wajah lelah. Tatapan Sofia tertuju ke orang-orang itu.
ADVERTISEMENT
“Itu mantan suamiku,” ucap Sofia datar.
“Mana?”
“Yang mengenakan kemeja putih bergaris dan membawa koper ungu. Bersama seorang wanita dengan rambut tersanggul yang menggendong bayi.”
Kuperhatikan gerombolan orang itu dengan teliti. Dan, ketemu. Keluarga yang tampak bahagia itu semakin mendekat ke taman ini. Semakin dekat dan menjadi lebih dekat lagi. Laki-laki itu sepertinya adalah pekerja keras. Rambutnya beruban. Tak cocok dengan wajahnya yang terlihat masih muda. Sedangkan wanita itu hanya menunduk. Menimang-nimang bayinya yang terus menangis. Sesekali wajahnya terangkat. Ketika kedua mataku melihat dengan jelas wajah wanita itu, ada sesuatu yang membuat napasku menjadi tidak teratur. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
“Kau kenal wanita itu?” Sofia bertanya.
ADVERTISEMENT
“Tidak. Tapi bagaimana jika seandainya wanita itu adalah istriku?”
Sofia terdiam. Kemudian tertawa. “Ha-ha… itu berarti kau benar-benar mandul!”
Sepertinya wanita di sebelahku ini sudah berhasil melupakan kesedihannya. Namun udara dingin membuatku tak ingin tertawa. Sementara di kejauhan, keluarga yang berbahagia itu sudah hilang ditelan malam. Pandanganku beralih ke bulan. Cahayanya masuk ke dalam mataku.“Kau benar, Sofia. Barangkali aku memang mandul!”
Penulis kelahiran Situbondo, 23 Februari 1996. Cerpennya tersebar di berbagai media cetak dan online. Buku kumpulan cerpen terbarunya, Sebelum dan Setelah Hujan, Sebelum dan Setelah Perpisahan (2020).