Konten Media Partner

Cinta Pertama

27 April 2020 10:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Cinta Pertama
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Cerpen
Pertemuan itu, entah mengapa, berlangsung sangat biasa saja. Tahun-tahun sulit dan trauma sepertinya berhasil mengubur cinta mereka berdua.
ADVERTISEMENT
Oleh: Amal Taufik
JANUARI, 1995
Tiada rotan, akar pun jadi. Tiada Lekra, gambus pun jadi. Itu peribahasa yang dipegang Inor. Sejak Lekra diberangus tahun 1965, secara otomatis grup musiknya juga amblas. Tapi tidak dengan dirinya, bakatnya, dan cinta pertamanya: Sulistyowati. Setelah puluhan tahun mereka terpisah karena peristiwa berdarah itu, Inor kembali mengunjungi Banyuwangi dan tiba di stasiun Glenmore pada hari Selasa siang.
Ketika peristiwa berdarah itu terjadi Inor sedang di Yogyakarta belanja baju kebaya untuk ibu, adik, bibinya, dan Sulistyowati. Ia dan Sulistyowati sudah sepakat akan kawin lari bulan depan. Sebab ayah Sulistyowati yang seorang guru pesantren menolak anaknya dipinang seniman Lekra.
“Kau salat saja paling tak bisa, bagaimana mau jadi imam?!” kata Ayah Sulistyowati.
ADVERTISEMENT
“Dalam darah saya tertanam semangat revolusi proletariat. Saya bisa jadi imam yang revolusioner,” jawab Inor.
“Revolusi-revolusi dengkulmu! Kau balik ke orang tuamu sana! Minta carikan ustaz. Belajar ngaji. Kalau sudah bisa akan kurestui.”
Usai lamaran pertama itu, Masinor melamar lagi sampai tiga kali dan tiga-tiganya ditolak. Setelah lamaran ketiga itulah mereka akhirnya memutuskan kawin lari.
“Baik, kita benar sepakat? Kawin Lari?” tanya Inor.
“Ya. Aku tahu abahku. Bahkan sekalipun kau sudah bisa salat dan mengaji, ia tetap tak akan merestui. Sebab kau seniman Lekra,” kata Sulistyowati.
“Jika kau hengkang dari Lekra, baru abah akan menerimamu.”
“Walaupun tak salat dan mengaji?”
“Ya harus salat dan mengaji. Sedikit-sedikit. Masa kau tak bisa sama sekali?”
ADVERTISEMENT
“Bisa. Tapi saat aku salat, dalam hati aku mendendangkan Internationale.”
“Dungu.”
Di Yogyakarta ia mendengar berita dari radio bahwa Soeharto memberi perintah untuk menumpas komunis sampai akar-akarnya. Mendengar kabar itu, Inor mengurungkan niatnya untuk pulang. Untuk waktu yang tidak ditentukan, ia tinggal di Yogya dan menulis surat kepada teman-temannya di Banyuwangi. Di sana, ia bergabung dengan grup musik gambus.
Semua teman-temannya, baik Lekra atau bukan, ia kirimi surat. Berbulan-bulan kemudian ia mendapat balasan surat dari salah satu teman musisi keroncong Banyuwangi. Dalam surat itu si teman mengatakan agar Inor jangan pulang dulu. Si teman itu juga mengabarkan kalau semua teman-temannya di Lekra “hilang”. “Kau masuk dalam daftar,” tulisnya.
Keluar stasiun, Inor mencari ojek. Ia sebenarnya sudah tidak ingin pulang. Teman-temannya sudah tidak ada. Pulang ke desa seperti membuka catatan kelam sebuah zaman. Menengoknya kembali rasanya menyakitkan. Sejak di Yogyakarta Inor putus komunikasi dengan keluarga, saudara, dan siapa pun orang-orang di Banyuwangi yang pernah berhubungan dengannya.
ADVERTISEMENT
Tapi ia sangat ingin menemui Sulistyowati. Menebus janji puluhan tahun silam. Di dalam tasnya ia bawa kebaya yang ia beli saat peristiwa berdarah itu. Ia siap dengan segala yang terjadi: Sulistyowati mungkin telah menikah dengan laki-laki lain. Tapi janji tetaplah janji. Laki-laki yang layak dihormati adalah laki-laki yang menepati janji.
Saat mulai memasuki gapura desa, tukang ojek bertanya mana rumah yang dituju. Inor diam saja. Ia tenggelam dalam pemandangan petak-petak kebun jeruk dan wangi tembakau yang dijemur di hampir setiap halaman rumah. Suasana yang puluhan tahun telah ia tinggalkan. Banyak rumah-rumah baru. Beberapa kali ia melewati rumah-rumah temannya. Sebagian sepertinya masih ditinggali keluarganya. Sebagian lagi sudah dibongkar menjadi bangunan baru.
ADVERTISEMENT
Tukang ojek mengulang lagi pertanyaannya. Inor memberi arahan menuju rumahnya, meski tak ada niat untuk berhenti di rumahnya. Ia hanya ingin lewat saja. Melihat seperti apa rumahnya sekarang. Apakah keluarganya masih di sana; apakah adiknya, Ulid, juga masih di sana. Sebab dulu Ulid menikah dengan seorang pelukis Lekra. Suaminya itu pasti sudah lenyap, pikirnya.
Ketika lewat depan rumahnya, betapa kaget Inor melihat Yanto bertelanjang dada menjemur kopi di halaman bersama Ulid. Dari jauh Ulid terlihat makin tua. Inor ingat, dulu Yanto adalah pemuda yang tergila-gila pada Ulid. Berkali-kali Yanto menyatakan cinta pada adiknya namun selalu ditolak. Ulid justru jatuh hati pada seorang pelukis Lekra yang pernah menjadikannya itu sebagai model. Lukisan itulah yang kemudian dijadikan mas kawin.
ADVERTISEMENT
Ojek berhenti beberapa meter setelah melewati rumah Inor. Tukang ojek menoleh ke belakang.
“Kenapa kau berhenti?” tanya Inor.
“Sampeyan yang jelas mau ke mana! Saya bisa dapat penumpang lebih banyak kalau tidak nuruti sampean muter-muter,” si tukang ojek rupanya mulai kesal.
Inor membuka dompet lalu mengambil lembaran dua puluh ribu. Wajah tukang ojek itu berubah cerah.
“Nah! Kalau begini saya bisa antar sampean sampai Pelabuhan Ketapang.”
Perjalanan dilanjutkan. Sekarang menuju tujuan sebenarnya: rumah Sulistyowati.
Ia tidak tahu apakah Sulistyowati masih tinggal di sana atau tidak. Kalaupun tidak, setidaknya pasti ada salah satu keluarga atau kerabat Sulistyowati yang tinggal sekitar situ. Dan jika benar tidak ada, ia akan titipkan kebaya itu pada siapa pun di sekitar situ asalkan masih keluarga atau kerabat Sulistyowati.
ADVERTISEMENT
Rumah itu tertutup. Inor mengeluarkan lembar lima ribu lagi untuk tukang ojek.
“Kau tunggu ya. Aku tidak akan lama,” katanya.
Ia mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Seorang tetangga sebelah rumah celingukan lalu menghampirinya. Ia kenal wajah perempuan muda ini. Perempuan muda ini pasti Nurul, batinnya. Terakhir kali bertemu, Nurul masih berusia lima tahun. Nurul lalu berjalan ke belakang dan terdengar ia memanggil-manggil seseorang.
Tak lama kemudian terdengar suara engsel pintu dibuka. Lalu pintu kayu bercat kuning kusam itu terbuka. Seorang perempuan usia 50 tahunan berdiri di depannya. Perempuan itu tampak kaget tapi kemudian ia berusaha mengendalikan emosinya.
Ia merasa mengenali lelaki kurus berkumis putih di hadapannya. Kemudian ia melihat bekas jahitan di dagu lelaki itu. Benar! Ia mengenali lelaki itu.
ADVERTISEMENT
Tanpa berbicara Sulistyowati menggeret Inor masuk ke dalam. Mereka duduk di ruang tamu, tempat di mana dulu lamaran Inor ditolak 3 kali.
Sekarang di ruang tamu itu terpajang foto-foto keluarga. Termasuk foto Sulistyowati beserta suami dan anaknya.
Dua orang itu saling diam beberapa saat. Beku.
“Suamimu ke mana?” Inor memecah kebekuan.
“Ngajar,” jawab Sulistyowati singkat. Wajahnya menunduk. “Silakan diminum,” Sulistyowati mengeluarkan air putih kemasan dari kardus di bawah meja.
“Sisa-sisa kecantikanmu masih ada,” kata Inor.
Sulistyowati diam. Beberapa saat kemudian baru menyahut. “Jangan lama-lama di sini. Sebentar lagi suamiku datang.”
“Tidak. Tidak lama-lama. Aku hanya ingin memberikan ini,” Inor membuka tasnya lalu menyerahkan bungkusan berisi kebaya. Warnanya kumal. “Kau ingat kan? Dulu aku janji membelikanmu kebaya. Dan aku ke sini hanya untuk menepati janjiku.”
ADVERTISEMENT
“Omong-omong apa suamimu tahu? Tentang anak kita,” imbuh Inor.
“Tidak. Dan tidak akan pernah tahu,” Sulistyowati menggeleng. Matanya seolah menunjukkan penyesalan yang dalam.
“Syukurlah. Dia sudah besar ya, Sul,” Inor melihat foto anak perempuan berdiri di atas egrang. Sepertinya di sebuah acara festival kesenian. “Pasti itu dia ya? Cantik seperti kamu,” tambahnya sambil menunjuk foto itu, lalu terkekeh.
Sebenarnya waktu kali ketiga Inor melamar ke rumahnya, Sulistyowati sudah dalam keadaan hamil. Mengetahui itu Inor bertekad mengawininya bulan depan, apapun risikonya. Namun peristiwa berdarah ’65 menyebabkan tekad itu batal.
Karena takut aib, Sulistyowati pun meminta bapaknya agar mencarikannya jodoh. Entah bagaimana caranya, 3 bulan kemudian Sulistyowati menikah. Si lelaki itu, suami Sulistyowati, sampai sekarang menganggap perkakasnya istimewa. Sekali tembak langsung jadi.
ADVERTISEMENT
Di depan rumah melintas rombongan anak-anak sekolah. Hari hampir asar ketika Inor berjalan dua langkah melewati ambang pintu. Sulistyowati langsung menutup pintu, tanpa mengucapkan salam atau apapun sejenisnya. Pertemuan itu, entah mengapa, berlangsung sangat biasa saja. Tahun-tahun sulit dan trauma sepertinya berhasil mengubur cinta mereka berdua. Bahkan Inor tidak terpikir menanyakan nama anaknya.
Ia menghampiri si tukang ojek, minta diantar ke penginapan terdekat. Tukang ojek mengantarnya ke sebuah hotel yang tidak jauh dari stasiun. Merasa gerah, sampai hotel Inor langsung mandi. Di dalam kamar mandi ia mengulang-ulang menyanyikan lagu Gendjer-Gendjer karangan M. Arif, teman baiknya di Lekra dulu.