Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
“Film Tilik bisa jadi representasi sebagian orang Indonesia (termasuk ‘kita’) yang kadang terlewat perhatian kepada sesama, hingga tak tahu batasan.”
ADVERTISEMENT
Oleh: Maya Rahma
BARU-baru ini, Film Pendek garapan salah satu rumah produksi di Yogyakarta menarik perhatian warganet. Alur cerita yang akrab dengan kehidupan sehari-hari, jadi salah satu penyebabnya.
Film ini bisa dibilang memiliki pelataran yang cukup sederhana. Namun, banyak makna yang terkandung di dalamnya. Tentu menyentil hampir sebagian warga Indonesia.
Sebut saja Bu Tejo. Perempuan ini bisa jadi sebagai pemeran utama dalam Film ini. Jika biasanya pemeran protagonis, agaknya sang penulis cerita tak ingin demikian. Tentu tak seluruhnya kelakuaan Bu Tejo terbilang buruk. Sebab, hampir setiap pemeran dalam film tersebut memiliki porsi sendiri-sendiri untuk baik dan buruknya.
Tilik atau Bahasa Indonesianya berarti menjenguk, bercerita tentang satu kampung, emak-emak yang akan mengunjungi Bu Lurah. Beliau sedang sakit dan dirawat di salah satu Rumah Sakit di Kota.
ADVERTISEMENT
Mereka rombongan menaiki truk dari kampung menuju Rumah Sakit tersebut. Tentu saja, selama perjalanan, ada saja yang jadi perbincangan emak-emak ini. Soal Dian, si Kembang Desa yang tak kunjung menikah.
Ya.. Bukan cerita baru memang pergunjingan “kapan kawin” bagi para perempuan yang belum menikah di usia pertengahan 20an.
Film ini penuh gossip. Ada Bu Tejo, Yu Ning, Bu Tri, Yu Sam yang fokus mempergunjingkan Dian dan orang-orang lainnya selama perjalanan ke Kota. Kata-katanya sungguh pedas. Mulai dari dugaan si Dian jadi pelakor, hingga hamil duluan. Semua dituntas habis dengan dialog jowoan yang khas.
Si Dian yang digosipkan dengan anak Bu Lurah, sering keluar masuk hotel, hingga punya pacar om-om. Emak-emak ini punya saja stok cerita, yang pemicunya karena Dian tak kunjung menikah.
ADVERTISEMENT
Dari semua dialog di film tersebut, penonton dibuat geregetan. Ya gimana nggak geregetan, emak-emak ini menggunjing tanpa berhenti. Tak ada bukti karena bersumber dari internet juga lambe masing-masing orang.
Seperti yang sempat disebut tadi, dalam Film tersebut, tak ditonjolkan siapa orang yang benar-benar baik. Seperti Yu Ning yang terlihat tak suka dengan pergunjingan Dian, namun Ia juga punya sisi sama dengan ibu-ibu yang lain. Meski kadang menyebalkannya hanya sekian persen.
Ada beberapa hal yang bisa dipetik dari Film ini. Baik sesuatu yang terpuji maupun tak terpuji.
Pertama soal tradisi adat istiadat. Tilik menggambarkan budaya warga yang masih menyempatkan menjenguk orang sakit meski harus rela naik truk dan ditilang polisi. Kekerabatan antar warganya mencerminkan ‘ini lho orang Indonesia’.
ADVERTISEMENT
Kedua, tradisi menggunjing dari A-Z. ya, sangking perhatiannya warga Indonesia ini, semua tak luput dari mata dan kuping tetangga. Mereka mengawasi detil pergerakan tetangganya sampai yang paling privasi sekalipun. Termasuk keseharian si Dian ini. Kemudian jadi perbincangan sepanjang perjalanan kampung menuju Rumah Sakit.
Ketiga, sadar tidak sih, sebagian dari ‘kita’ sebenarnya tergambar dalam Tilik ini. Ntah menjadi Bu Tejo, Yu Ning, Batrek (pemilik truk) hingga para figuran yang memilih diam dan tak ikut bergunjing di truk tersebut.
Bu Tejo, si nyinyir yang punya berbagai informasi akurat hingga tak akurat. Yu Ning si baik hati yang sebenarnya gak baik-baik banget apalagi kalau sudah berurusan dengan Bu Tejo. Batrek, lelaki yang jadi bapak-bapak pada umumnya. Tak ambil pusing dengan gossip, tapi tetap mengikuti alur dan sadar dengan kehadiran wanita cantik seperti Dian.
ADVERTISEMENT
Bedanya, pergosipan di truk ini sudah beralih di dunia maya juga. Semua orang punya jari sebagai pengganti mulut untuk membicarakan dari A-Z ini. Jujur saja, sebagian dari hati kecil bolo ada kan yang memiliki kenyinyiran model pemain Tilik ini?
Keempat, meski tak jadi Tilik karena dilarang masuk, ada sisi positif lagi yang bisa diambil. Meski sempat adu mulut dengan segala macamnya di truk, namun sikap saling menenangkan masih terpatri. Bu Tejo pun tak segan untuk ngadem-ngademi yang lain supaya tak kecewa. Masih sama, cerminan warga Indonesia banget. Bisa bersikap sesuai suasana.
Terlepas dari itu semua, Tilik memang layak mendapat apresiasi. Film berdurasi 30 menit ini mengajarkan kita bercermin dan menelaah kehidupan sebenarnya. Pantas saja jika Film yang rilis pada tahun 2018 itu mendapatkan tiga penghargaan bergengsi. Seperti Winner Piala Maya 2018 – Film Pendek Terpilih, Official Selection Jogja-Netpac Asian Film Festival 2018 dan Official Selection World Cinema Amsterdam 2019.
ADVERTISEMENT
Bolo sudah nonton Tilik?